Dr. Imron Rosidi, M. A Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Istithaah Haji Perspektif Sosiologis

3 min read

Ibadah haji merupakan ibadah yang unik karena memerlukan ekstra energi dan materi dibandingkan ibadah-ibadah lainnya. Setiap calon jamaah haji yang akan melaksanakan ibadah haji harus memenuhi standard atau kriteria istithaah. Konsep istithaah dalam konteks ini merujuk pada kemampuan finansial dan kemampuan kesehatan semua calon jamaah haji. Kemampuan finansial merupakan keharusan karena perjalanan ke tanah suci membutuhkan biaya, termasuk juga kebutuhan untuk tinggal selama pelaksanaan ibadah haji dan biaya-biaya lainnya.

Kemampuan finansial mengandaikan setiap calon jamaah haji melaksanakan ibadah haji dengan nyaman karena biaya ibadah haji membutuhkan materi yang tidak sedikit. Pengorbanan materi atau keuangan tersebut mendorong setiap calon jamaah haji untuk bersungguh-sungguh mempersiapkan diri secara maksimal. Kesiapan yang matang disertai pengorbanan finansial yang tidak sedikit sebanding dengan kepuasan spiritual yang diperoleh. Ibadah haji menjadi ibadah yang sempurna ketika mereka menggapai level istithaah yang ditunjukan oleh upaya yang sungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah haji.

Di samping itu, ibadah haji membutuhkan kekuatan fisik yang memadai. Jarak yang cukup jauh dan intensitas ibadah yang harus dilakukan di tanah suci menuntut kesehatan yang prima dari setiap jamaah haji. Dalam setiap pelaksanaan ibadah, kesehatan fisik yang unggul akan menghasilkan ibadah yang berkualitas, termasuk ibadah haji. Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Agama selalu mendorong kepada calon jamaah haji untuk memenuhi syarat kemampuan kesehatan (istithaah kesehatan) dalam rangka meningkatkan kualitas ibadah haji.  Selain kesehatan fisik, konsep istithaah kesehatan juga mengacu pada kemampuan kesehatan non-fisik (mental). Mereka yang akan melaksanakan ibadah haji harus berjiwa sehat yang didukung oleh semangat untuk meningkatkan spritualitas dan mencari keredhaan illahi.

Kesehatan mental seringkali tak terdeteksi sebab orang yang secara fisik sehat belum tentu mencerminkan jiwa yang sehat. Jiwa yang sehat mendorong praktik ibadah haji yang bermakna sebab niat yang ditanamkan mengakar kuat dalam jiwa atau mental calon jamaah haji. Hal ini berbeda dengan calon jamaah haji yang tidak memiliki mental atau jiwa yang sehat. Mereka bisa saja memiliki niat yang tidak berbanding lurus dengan spirit religiusitas. Di tengah-tengah budaya konsumerisme yang tinggi, gejala percampuran antara niat untuk beribadah secara tulus dan upaya untuk melampiaskan hasrat kepuasan duniawi menguat di kalangan masyarakat Muslim.

Baca Juga  Membincang Jaringan Ulama Indonesia dan Makkah (1)

Ibadah haji memerlukan perjalanan yang tidak pendek sehingga ada nuansa bahwa perjalanan ibadah haji memiliki kedekatan dengan perjalanan wisata. Hal ini memicu kekhawatiran terhadap berkurangnya semangat beribadah yang berorientasi pada penguatan spritualitas dan religiusitas bagi calon jamaah haji. Mental atau jiwa yang sehat niscaya akan memperkuat niat calon jamaah haji untuk konsisten menjalankan ibadah haji berbasis nilai-nilai spritualitas dan religiusitas. Semangat beragama yang lurus dan tulus tumbuh dari jiwa dan mental yang sehat. Kemampuan atau istithaah kesehatan mental berkontribusi pada lahirnya pribadi-pribadi Muslim yang melaksanakan ibadah haji secara professional dan proporsional sehingga mereka tidak lagi mementingkan pemuasan hasrat duniawi.

Istithaah Sosiologis

Namun demikian, sebagian masyarakat Muslim di Indonesia seringkali mengabaikan konsep istithaah. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa konsep tersebut adalah konstruksi sosial yang memiliki relasi dengan kondisi geografis, kultural dan sosial masyarakat. Sebagian masyarakat Muslim di Indonesia memiliki kemampuan finansial ketika masa-masa senja. Kemampuan finansial diperoleh melalui akumulasi materi yang disimpan secara periodik sehingga pada masa senja akumulasi materi tersebut menjadi biaya yang dibayarkan untuk mendanai perjalanan ibadah haji.

Secara sosiologis, masyarakat Muslim di Indonesia memiliki keimanan yang cenderung menguat ketika seseorang memasuki masa-masa tua. Hal yang terakhir ini menjadi perhatian khusus kita sebab orang ketika memasuki masa-masa tua cenderung kemampuan fisik mulai menyusut. Walaupun hasrat duniawi berkurang seiring dengan bertambahnya usia, masa-masa tua adalah masa yang rentan terhadap penyakit. Dengan demikian, kemampuan finansial dan kemampuan fisik (kesehatan) acap tidak sinkron dalam konteks masyarakat Muslim di Indonesia.

Kemampuan fisik yang tidak baik akan berkontribusi terhadap berkurangnya spirit spritualitas dan kualitas ibadah haji. Namun demikian, Muslim yang memasuki masa senja, sebagaimana disampaikan sebelumnya, memiliki kecenderungan untuk mendekat kepada Allah SWT.  Hal ini seharusnya diimbangi dengan kemampuan kesehatan atau fisik yang memadai.  Untuk menyiasati ini, perlu kebijakan yang memungkinkan calon jamaah haji fokus pada penguatan kesehatan fisik tanpa mengabaikan kesehatan finansial.

Baca Juga  Menyikapi Radikalisme Agama dengan Kacamata Kemanusiaan Ala Gus Dur (2)

Salah satu cara yang memungkinkan calon jamaah haji fokus pada istithaah fisik atau kesehatan, perlu kiranya diperketat konsep istithaah finansial. Hal ini karena konsep kemampuan finansial bisa dire-konstruksi tergantung pada kebutuhan sosial dalam mencapai keteraturan sosial (maslahah) dalam masyarakat. Mungkin, dengan meningkatkan biaya perjalanan ibadah haji akan mendorong calon jamaah haji untuk memperkuat istithaah finansial mereka. Ada beberapa alasan, mengapa peningkatan biaya perjalanan ibadah haji bisa berkontribusi pada penguatan keteraturan sosial dan kemaslahatan umat.

Pertama, kenaikan biaya perjalanan ibadah haji akan mendorong lahirnya pemikiran di kalangan calon jamaah haji tentang pentingnya beribadah haji sesuai standard ‘mampu’ yang sebenar-benarnya. Hal ini karena konsep istithaah dalam masyarakat Muslim, khususnya di pedesaan, belum dipahami secara utuh. Sebagian calon jamaah haji di pedesaan, karena mementingkan religiusitas dan spiritualitas, mau mengorbankan asset yang menopang kehidupan mereka untuk melaksanakan ibadah haji. Tidak heran jika pasca pelaksanaan ibadah haji, mereka mengalami problem ekonomi.

Kedua, kenaikan ibadah haji akan mengurangi daftar tunggu atau waiting list yang panjang. Secara sosiologis, menunggu merupakan fenomena yang membosankan di kalangan masyarakat. Daftar tunggu yang lama akan memicu pandangan negatif seperti prasangka buruk terhadap pemerintah. Dengan bertambahnya biaya haji, setiap calon jamaah haji yang merasa belum memiliki kecukupan finansial akan secara sukarela mengundurkan diri dari daftar tunggu.

Ketiga, kenaikan ibadah haji memiliki kewajaran jika pelayanan dan fasilitas ditingkatkan mutunya. Sebuah keharusan bagi setiap institusi atau lembaga, dalam rangka meningkatkan mutu layanan, melakukan upaya meningkatkan biaya atau cost tertentu. Hal ini penting karena tanggung jawab sebuah institusi akan bertambah ketika biaya dinaikan. Konsumen memiliki hak menuntut pelayanan yang lebih baik seiring dengan kenaikan biaya haji yang dibebankan kepada calon jamaah haji. Hal ini pada gilirannya, pemerintah akan lebih fokus meningkatkan mutu layanan dalam pelaksanaan ibadha haji.

Baca Juga  Pembacaan Komparatif terhadap Estetika Islam dan Barat

Sebagai penutup, konsep istithaah perlu selalu direkonstruksi sehingga ia relevan dengan kondisi saat ini. Peningkatan biaya perjalanan ibadah haji merupakan bagian dari upaya rekonstruksi tersebut.

Dr. Imron Rosidi, M. A Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau