Musyfiqur Rozi Mahasiswa Pasca-Sarjana UIN Sunan Ampel

Bulan Sya’ban yang Dicintai Nabi

3 min read

Sya’ban berasal dari kata al-Syi’bu (dengan kasrah pada syin), yang bermakna jalan di  gunung, yang tidak lain adalah jalan kebaikan. Sedangkan pendapat lain berasal dari kata al-sya’bu (fathah pada huruf syin) yang bermakna menambal atau mengobati patah hatinya hamba di bulan Sya’ban.

Dalam kitab Kasyf al-Sutur ‘an usami al-Ayyam wa al-Syuhur disebutkan bahwa makna Sya’ban adalah pisahan. Hal ini tidak lepas dari masyarakat arab yang berpencar dan berpisah dalam rangka mencari air. Salah satu ulama ahli hadits, Ibn Hajar al-Asqalani menyebutkan dalam kitab Fathul Bari bahwa penamaan bulan Sya’ban lantaran masyarakat Arab yang berpencar hingga naik gunung dalam rangka mencari sumber mata air. Kondisi masyarakat yang cukup sulit untuk mendapatkan air, hingga mereka diharuskan mendaki gunung untuk mencari sumber mata air. Islam kemudian memanfaatkan bulan ini sebagai waktu untuk menemukan banyak jalan demi mencapai puncak kebaikan. Puncaknya adalah bulan berikutnya, bulan Ramadhan.

Di bulan Sya’ban umat Islam mulai mempersiapkan diri menyambut bulan suci Ramadhan. Bulan termulia dan penuh suka cita. Karenanya, pada bulan ini dianjurkan memperbanyak amalan, memperbanyak dzikir, mohon ampunan. Ini adalah latihan sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Menambah rutinitas agar terbiasa setelah memasuki bulan ramadhan.

Salah satu kitab klasik menyebutkan bahwa pada bulan Rajab dianjurkan memperbanyak bacaan istighfar untuk menghapus segala dosa yang telah diperbuat sepanjang tahun. Setelah bersih dari kotornya dosa, kita memperbanyak kalimat tauhid pada bulan berikutnya (Sya’ban) dengan harapan agar kita semakin kuat iman menuju bulan suci ramadhan. Pada bulan suci Ramadhan, kita benar-benar suci dari dosa dan siap menjalankan ibadah puasa sebulan penuh. Tidak mudah menjalankan ibadah puasa. Kita dituntut menahan lapar dan hawa nafsu. Meski secara hukum fikih puasa kita tidak batal, namun nilai di dalamnya kadang berkurang karena kita tidak bisa menjaga dan mengendalikan lisan, ghibah dan semacamnya.

Baca Juga  Strategi Dakwah Walisongo dalam Menyebarkan Ajaran Islam

Bila ditinjau dari segi amaliyah, termaktub beberapa hal yang lazim dilaksanakan pada malam Nisfu sya’ban,  yakni membaca surah Yasin tiga kali dan diakhiri do’a bersama. Pembacaan Yasin tiga kali bukan tanpa alasan. Pembacaan surat Yasin yang pertama dengan harapan diberi umur panjang dan sehat, pembacaan kedua dengan harapan dijauhkan dari hal-hal buruk atau yang tidak diinginkan dan pembacaan Yasin yang ketiga adalah dengan harapan wafat dalam keadaan iman.

Tradisi ini sudah berkembang di nusantara dan menjadi amalan yang dilaksanakan setiap tahun di masjid, mushalla atau langgar. Ini tidak lepas dari hadits nabi menyebutkan bahwa ada lima malam yang do’anya tidak tertolak, makbul. Malam pertama bulan Rajab, malam Nishfu Sya’ban, malam Jum’at, malam dua ied (Fitri dan Adha).

Bulan sya’ban merupakan bulan yang banyak mengandung peristiwa sejarah. Pertama, peristiwa peralihan kiblat dari masjidil aqsha di Palestina ke Masjidil Haram di Mekah. Sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Baqarah : 144 dan al-Dhuha : 5. Dalam kitab Madza Fi Sya’ban Hatim al-Busti menyebutkan bahwa setelah 17 bulan tinggal di Madinah pasca hijrah, umat muslim mendapat wahyu shalat menghadap masjidil haram.

Ini tidak lepas dari permintaan para sahabat agar arah kiblat diubah karena mirip dengan kiblat kelompok penentang Islam. Kelompok tersebut menganggap ajaran agama Islam sama dengan mereka karena arah dan cara ibadah serupa. Juga, agar tidak terjadi sengketa antara kaum muslim dengan agama samawi lainnya yang katanya adalah sebagai tanah yang dijanjikan.

Kedua, dalam haditsnya, Nabi lebih sering dan senang memperbanyak puasa sunah di bulan Sya’ban kemudian menyambungnya dengan puasa bulan Ramadhan. Nabi pernah ditanya, puasa apa yang paling utama setelah Ramadhan. Nabi menjawab puasa sunah di bulan Sya’ban. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh sayidah ‘Aisyah bahwa nabi jarang sekali tidak puasa di bulan sya’ban, bisa dikatakan puasa penuh. Bahkan, bersambung dengan bulan suci Ramadhan.

Baca Juga  Nasionalisme Menurut KH Bisri Mustofa dalam Tafsir al-Ibriz

Sahabat Usamah pernah bertanya kepada Nabi. Wahai Rosulullah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa seperti bulan Sya’ban di bulan bulan lainnya. Nabi menjawab, Bulan Sya’ban adalah bulan yang sering dilupakan oleh orang-orang sebab diapit dua bulan mulia. Bulan Sya’ban adalah bulan terangkatnya amal manusia selama satu tahun. Dan aku senang amalku diangkat sementara aku dalam keadaan berpuasa.

Nabi ingin tercatat sebagai ahli puasa. Tercatat sebagai orang yang menghabiskan waktunya dengan berpuasa. Meski nabi sendiri ma’shum -terpelihara dari perbuatan yang tidak baik- beliau ingin menjadi  hamba yang bersyukur. Juga, sebagai contoh kepada umatnya bahwa Nabi yang sudah maksum, dijamin masuk surga, tetap beribadah seabrek mungkin. Bersusah payah melawan rasa malas dan melakukan ibadah sebanyak dan sebaik mungkin. Selalu melewatkan waktu dengan nilai yang mengandung ibadah.

Ketiga, pada bulan ini turunnya ayat tentang perintah bershalawat kepada Nabi (al-ahzab : 56). Bagi mereka yang senang dan mencintai Nabi, senang membaca ayat ini. Dengan bershalawat, timbul rasa cinta. Dengan cinta, kita akan berusaha mengikuti jejak dan sunah beliau hingga mengantarkan kita ke jannah-Nya.

Ke empat, bulan Sya’ban adalah bulan pergantian buku catatan amal kita. Apakah kita akan menutup buku catatan amal dengan hitam, dosa dan keburukan atau sebaliknya. Maka, dalam bulan ini dianjurkan memperbanyak amalan baik yang sekiranya mengurangi dosa dan menutup buku catatan amal kita dengan baik. Menurut imam as-Sindi dalam kitab Syarah Sunan an-Nisa’i menyebutkan bahwa laporan tentang amal manusia setiap hari dan laporan amal manusia setiap minggunya pada hari Kamis sore. Sementara laporan amal manusia setiap tahunnya terjadi pada malam Nishfu Sya’ban.

Tak heran masyarakat perkampungan mempunyai tradisi setiap malam Nishfu Sya’ban berkumpul di langgar, mushalla atau masjid dan mengaji bersama. Lalu ditutup dengan bersalam salaman antar sesama, orang tua ke anak, yang muda ke yang tua dan seterusnya. Saling memaafkan dan kembali putih.

Baca Juga  Hingga Ujung Nyawa [2]: Secercah Sinar Harapan

Terakhir, bulan ini adalah bulan al-Qur’an. Sulamah bin Kuhail menyebutkan bahwa bulan Sya’ban adalah bulannya para qurra’. Suatu waktu Sya’ban berkata dan mengadu pada Tuhannya, wahai tuhanku, kau menjadikanku berada di dua bulan yang sama agungnya (Rajab dan Ramadhan). Lalu, aku? Allah menjawab, aku mejadikanmu bulannya para pembaca al-qur’an. Dalam hadits Nabi menyebutkan, “Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulannya ummatku.” Dengan ini, sya’ban dimuliakan karena bulan yang dicintai Nabi. Wallahu a’lamu.

 

 

Musyfiqur Rozi Mahasiswa Pasca-Sarjana UIN Sunan Ampel