Judul Buku: Nyai Madura: Modal dan Patronase Perempuan Madura
Penulis: Tati Hidayati
Penerbit: IRCiSoD
Cetak: Cetakan Pertama, September 2022
Tebal: 372 Halaman
ISBN: 978-623-5348-17-9
Di tengah masyarakat patriarkal, komunitas perempuan memiliki ciri yang unik dan langka. Ditempatkan dalam posisi kelas kedua. Aktivitasnya sering dianggap sebagai tempelan dan pelengkap. Di sisi lain, secara intelektual, nyai dalam konteks pesantren Madura menjadi kelas sosial yang unik untuk diselidiki lebih lanjut. Lebih-lebih kemampuan pengelolaan komunitas masyarakat, pengalaman pendidikan, serta dalam mengelola kapasitas dan kapabilitas dirinya di pusaran patriarkal.
Kehadiran buku Nyai Madura: Modal dan Patronase Madura menjadi bagian penting mengisi ruang kosong peran nyai dalam komunitas pesantren. Absennya sosok nyai dalam wacana perkembangan pesantren memantik Tatik Hidayati menyilami lebih jauh peranan nyai dalam lingkaran komunitas pesantren. Sejauh mana nyai terlibat dalam menyebarkan dakwah di masyarakat pedesaan, kontribusi sosial-keagamaan dan menjadi tokoh penting bagi perempuan desa.
Sebagaimana diketahui, bahwa nyai dalam masyarakat Madura berpijak pada akar tradisi pesantren. Karena keterkaitannya dengan tradisi masyarakat, membuat nyai memiliki legitimasi simbolik, terutama ia merupakan bagian dari trah kekiaian yang diperkuat lewat pernikahan (hlm. 24). Keterlibtan nyai pada kegiatan masyarakat pedesaan memberi peta relasi yang erat dan berkembang pada relasi antara nyai dan pengikut (followers). Oleh karenanya, patron-klien dapat terjadi pada hubungan sosial yang mengikat orang yang mempunyai status sosial yang lebih tinggi dengan orang yang memiliki status sosial lebih rendah.
Pesantren menempatkan nyai bukan pihak kedua, ia diberi tempat sendiri dalam komunitas masyarakat. Salah satu contohnya, nyai seringkali datang pada kegiatan pernikahan, upacara syukuran kelahiran anak, kematian, dan mengisi pengajian di kampung. Nyai memiliki spirit dalam merekatkan hubungan sosial dengan masyarakat.
Bahkan, nyai salah satu elit keagamaan yang memiliki peran strategis dalam transformasi kultural, sosial-keagamaan, dan politik pada masyarakat Madura (hlm. 33), di sini perannya cukup sentral. Nyai adalah pelita yang menerangi seluruh kehidupan pedesaan dan mungkin juga kota dalam konteks hari ini. Pada komunitas perempuan dengan tradisi keagamaan yang sangat ketat, nyai menjadi pemimpin, guru, dinamisator, dan katalisator organisasi perempuan. Mereka terlibat secara langsung dalam berbagai aktivitas keagamaan masyarakat.
Melihat peranan perempuan dan nyai dalam keberagamaan di Madura, Tati Hidayati dalam bukunya menyinggung pola relasi patronase nyai dengan perempuan Madura, setidaknya ada lima hal penting. Pertama, kekerabatan sebagai modal bagi eksistensi nyai. Kedua, pola-pola kemampuan intelektual nyai melalui penguasaan ilmu pengetahuan, terutama ilmu agama. Ketiga, status sosial yang terbentuk dari dinamika dan latar belakang budaya masyarakat Madura yang mengagungkan nyai dan keluarga.
Keempat, pola pengaruh kekuasaan. Di sini pola kekuasaan memiliki posisi urgen dalam kaitannya dengan akses politik yang lebih terbuka bagi nyai dan keluarga baik skala pedesaan maupun nasional. Kelima, berdasarkan pada kekayaan dan kemampuan nyai hang tersebar melalui jaringan-jaringan kekerabatan dan relasi ekonomi (hlm. 44).
Dari lima pola relasi patron-klien dalam nyai dan perempuan Madura terjadi hubungan tumpang-tindih, serta melalui jaringan yang rumit pada relasi dan kepentingan ekonomi melalui kerja-kerja sosial, kebudayaan, dan tradisi keagamaan, serta turut memberi pengaruh pada kekuasaan struktural.
Lebih jauh, menurut Engels, dalam masyarakat tradisional, bentuk awal dari masyarakat adalah matriarkal, di mana perempuan lebih berpotensi daripada laki-laki. Tentu potensi yang dimiliki nyai tidak boleh dipisahkan dari masyarakat tradisional Madura, di mana elit keagamaan menjadi penting proses dan perkembangan masyarakat Madura sendiri (hlm. 46). Lagi-lagi, sosok nyai ini aktif dalam aktivitas sosial-keagamaan, seperti pemberdayaan perempuan, pertumbuhan ekonomi kerakyatan, kajian-kajian keagamaan dalam kompolan, dan tentu hal semacam ini menguatkan peran nyai sebagai perempuan yang karismatik.
Bentangan dinamika nyai di Madura menemukan kebuntuan ketika dalam relasi yang ketat dan mengakar kuat pada budaya Madura, terjadi proses pengaburan identitas perempuan, di mana perempuan kerap kali dianggap subordinat dari aktivitas laki-laki. Kita tahu bahwa masyarakat Madura adalah entitas yang taat beragama dan teguh memegang tradisi keagamaan. Segala aktivitas senantiasa dilakukan dan disandarkan kepada nilai-nilai keagamaan. Termasuk relasi antarperempuan.
Di tengah kurangnya kajian tentang nyai dalam wacana pesantren, buku Tati Hidayati penting untuk dibaca dan ditelaah lebih jauh. Setidaknya, perempuan dan nyai yang menulis kehidupannya sendiri perlu diapresiasi. Buku ini tentu memberi banyak sumbangan pengetahuan baru tentang kehidupan nyai pesantren, lebih-lebih perempuan dan nyai Madura.