Enam puluh lima tahun setelah H. Agus Salim meninggal dunia, tepatnya pada tanggal 4 November 1954, banyak pemikirannya yang masih relevan terhadap persoalan-persoalan yang sekarang dihadapi oleh bangsa Indonesia, terutama persoalan demokrasi, dinamika Islam, serta persoalan relevansi Islam dan negara. Hal itu dibuktikan dengan ceramah-ceramahnya di samping opini-opininya yang dimuat dalam surat kabar atau media massa.
Salah satunya yaitu dalam penerbitan ceramahnya tentang Islam di Universitas Cornell (1953). Pada tahun ini, oleh perguruan tinggi papan atas Amerika Serikat dan pernah menjadi pusat kajian terbaik tentang Indonesia yang berada di Ithaca itu menambah satu lagi atribut bagi Bapak Bangsa ini: perintis pemikiran neomodernisme Islam di Indonesia yang lazim dianggap Sang Inisiator dalam neomodernisme Islam Indonesia.
Kemudian hari lahirlah generasi setelahnya yang mengembangkan gagasan-gagasan beliau terkait mordernisme Islam, yaitu seperti Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid (Gusdur). Mengutip dari pendapat Emil, yang juga merupakan keponakan dari H. Agus Salim, meringkas tiga hal dari pemikiran H. Agus Salim yang beresonansi dengan kehidupan partai di Indonesia (politisi).
Sampai saat ini tidak beranjak dari keadaan di tahun 1950-an dan pemikiran-pemikiran neomodcrnisme Islam yang kini digagas oleh beberapa tokoh muda dalam gerakan Islam liberal di Indonesia, seperti Ulil Abshar-Abdalla, Luthfi Assyaukanie, Hamid Basyaib, dan Ahmad Sahal. Ketiga hal itu menyangkut demokrasi, dinamika Islam, serta Islam dan negara. H. Agus Salim memiliki komitmen tinggi terhadap demokrasi an sich.
Komitmennya terhadap demokrasi diungkapkan oleh Emil Salim secara gamblang: Agus Salim menolak permintaan pemimpin kongres Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Maret 1950, supaya mau menjadi ketua umum partai tersebut. Alasan pertamanya, seperti dalam suratnya kepada M. Zein Arief tanggal 26 Maret 1950, ia menuturkan dalam suratnya bahwa ia merasa ngeri menyaksikan partai politik menggunakan jumlah anggota untuk memperoleh kursi di kabinet, seperti realitas di era saat ini. (Agus Salim, 1953: 436-444).
Partai-partai menuntut bagian dalam kabinet agar memberikan dukungan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanpa memandang kecakapan dan pengalaman mereka. Tuntutan itu sering disertai dengan demonstrasi, rapat raksasa, atau tekanan politik lain. Keberataan H. Agus Salim ialah mengapa tuntutan partai ditekankan kepada jumlah anggota, bukan usaha menaikkan mutu atau kualitas anggota. Ia tidak melihat pengurus mendidik ranting, pemimpin cabang, atau pemimpin daerahnya.
Jumlah anggota, bagi pemimpin partai, adalah alat merebut jabatan (moral hasrat). H. Agus Salim tidak sepakat dengan hal tersebut, karena dengan hal itu rakyat tidak jelas mau diapakan dan demokrasi mau dikemanakan. Hal ini juga sependapat dengan beberapa tokoh nasionalis seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir menekankan partai yang berbasis kaderisasi, bukan partai massa.
Baginya, demokrasi adalah suara rakyat, sehingga partai politik jangan sampai berpikir untuk kepentingan kelompoknya saja. Maka dari itu, pendidikan bagi rakyat dan penggalian pemahaman terkaiat politik sangat dibutuhkan, supaya aspirasinya tersampaikan ke atas, yaitu kepada pihak pemerintahan yang diamanahkan oleh masyarakat. Bukan sebaliknya, seperti yang saat itu−─anehnya, masih berjalan sampai sekarang−─berlangsung di PSII maupun partai lain. (Agus Salim, 2004: 113)
Para pemimpin partai selalu menggunakan dalih disiplin partai untuk memecat anggota yang ingkar terhadap keputusan pucuk pemimpin tanpa mengindahkan hak anggota menyatakan pendapat dan aspirasi, yang ada justru bukan wakil rakyat, bukan pendapat dan aspirasi rakyat, yang ada malah justru visi dan misi partai (petugas partai) yang diperjuangkannya dalam roda pemerintahan. H. Agus Salim berpendapat, dalam negara demokratis, paham politik mesti disosialisasikan di kalangan masyarakat.
Salah satunya untuk menampung berbagai ragam paham ini, di sini partai berlaku sebagai pelopor dalam mewujudkan cita-cita rakyat, karena Indonesia baru mengembangkan demokrasi, dan arah demokrasi tersebut, rakyat sangat perlu memperoleh pemahaman dan pencerahan yang mendidik tentang kehidupan demokrasi. Tugas tersebut tentu tak mungkin dikerjakan oleh seseorang yang bergabung dalam partai dan cenderung hanya memperjuangkan kepentingan partainya.
Alasan berikutnya, berkaitan dengan paham inklusifnya. Meski sebagian besar rakyat memeluk agama Islam, baginya tidak perlu semua partai bersifat Islam. Soalnya telah terbukti, kebanyakan anggota masyarakat Islam yang masuk partai nir-Islam tetap berpegang pada keyakinan agamanya. (Agus Salim, 2004: 114) Atas pertimbangan itu, H. Agus Salim merasa lebih tepat berada di luar struktur kehidupan partai supaya lebih leluasa mengusahakan pencerahan masyarakat lewat pemahaman Islam dan pengembangan kehidupan demokrasi bangsa.
Sejak dasawarsa 1930-an, ketika ia aktif terjun dalam gerakan politik, ujung tombak kegiatannya mengutamakan pemberdayaan rakyat kecil. Ketika ia dipisahkan dari Partai Syarikat Islam dan membentuk Partai Penyadar (1936), misi partai ini adalah menyadarkan umat manusia untuk berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunnah Rasul, memberdayakan kelompok masyarakat untuk membangkitkan kemampuannya melalui Persatuan Pedagang Pasar, Perkumpulan Buruh Batik, dan seterusnya. Tidak kata Islam di sini.
Penulis menilai dari pandangan-pandangannya tersebut, H. Agus Salim seolah ingin mengatakan partai politik harusnya dapat menjadi pendorong sekaligus katalisator pergerakan kerakyatan. Jika kita tarik benang merah dari pandangan H. Agus Salim tentang demokrasi, maka akan memiliki korelasi positif dengan pemikiran mantan Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln, yang mengatakan bahwasanya demokrasi adalah dari, oleh, dan untuk rakyat. (Budi Prayitno, 2004: 185-186).
Selain itu, apa tidak membuat Persatuan Perdagangan Islam, Persatuan Buruh Batik Islam, misalnya, sebab baginya “Penyerahan diri secara total pada kehendak Allah” menjiwai usaha-usaha membangkitkan kemampuan rakyat. Jadi, isi lebih penting daripada botol. Sikap inilah kira-kira yang paralel dengan Hatta dan Sjahrir. Hasrat memberdayakan anggota masyarakat sebagai perwujudkan demokrasi, dihayatinya sebagai bagian integral dari pengembangan kehidupan Islam. (Agus Salim, 2004: 115). [AH].