Menjelang bulan Ramadan, masyarakat pedesaan, khususnya di Jawa, biasanya akan beramai-ramai berziarah ke makam leluhur. Kebiasaan ini—paling tidak—di daerah saya kenal dengan istilah “Nyadran.” Tradisi merupakan realitas sosial masyarakat kita yang yang sudah berlangsung berabad-abad.
Bagi masyarakat yang mempraktikkan tradisi Nyadran, mereka meyakini bahwa selain sebagai cara untuk menghaturkan doa, itu adalah sebuah bentuk penghormatan kepada arwah nenek moyang. Sebab, mereka meyakini bahwa roh para leluhur masih memiliki pengaruh bagi mereka yang masih hidup di dunia. Hal itu pula yang kemudian memunculkan istilah ngalap berkah (mengharap keberkahan), khususnya dari leluhur atau figur seorang tokoh penting yang semasa hidupnya banyak berjasa bagi masyarakat.
Sejauh pengetahuan saya, Nyadran sebenarnya bermula sejak masa Hindu-Buddha, yang pada waktu itu menjadi agama mayoritas di Jawa. Hal ini dibuktikan dengan saat zaman kerajaan Majapahit yang memiliki tradisi Sraddha yang merupakan akar dari tradisi Nyadran saat ini. Sraddha bertujuan untuk memulihkan arwah leluhur dengan cara mengirim sesaji melalui ritual sesembahan.
Setelah agama Islam yang dibawa oleh Walisongo masuk ke tanah Jawa, dalam praktiknya, tradisi Nyadran lambat laun mulai berubah sebab disesuaikan dengan ajaran agama Islam.
Dalam berdakwah, Walisongo menggunakan berbagai kebudayaan dan tradisi lokal yang dikemas dengan nuansa keislaman. Sehingga lambat laun, masyarakat Jawa pada saat itu, dengan tanpa adanya pemaksaan, berkenan untuk memeluk agama Islam. Strategi dakwah inilah yang sekarang dikenal sebagai strategi dakwah kultural. Melihat latar sejarahnya ini, tak heran jika tradisi Nyadran saat ini dipraktikkan menggunakan berbagai ritual berdasarkan ajaran Islam.
Realitas ini dapat dipahami karena memang Islam hadir bukan di tengah masyarakat yang tidak berbudaya. Ia datang dan bersinggungan dengan adat istiadat yang ada dan mengakar di masyarakat. Dalam banyak kasus, kehadiran agama dan budaya justru seringkali melahirkan satu kondisi yang saling tarik-menarik antara kepentingan agama dan kepentingan budaya setempat. Oleh karenanya, dibutuhkan sebuah strategi dan proses dakwah kultural yang moderat dan fleksibel terhadap budaya lokal setempat.
Kondisi yang demikian sangat disadari dan menjadi perhatian khusus bagi Walisongo sebagai penyebar ajaran Islam saat itu. Sehingga, dalam dakwahnya, ketika mereka mendapati budaya dan tradisi lokal yang tidak sesuai ajaran agama Islam, mereka tidak serta merta menghapusnya. Namun, meluruskan dan menyesuaikan praktik-praktik kebudayaan tersebut dengan ajaran Islam.
Walisongo tidak merusak dan menghancurkan tradisi yang telah berlaku di masyarakat. Namun, justru sebaliknya, mereka mengembangkan kearifan dan nilai-nilai tradisional yang sesuai dengan ajaran Islam. Melalui cara ini, Islam kemudian bisa diterima dengan suka cita karena masyarakat tidak melihat Islam sebagai ancaman bagi kebudayaan dan identitas mereka sebagai masyarakat Nusantara.
Menurut Agus Sunyoto, dalam buku Atlas Walisongo (2014:122), dalam menyampaikan ajaran agama Islam Walisongo menggunakan pendekatan yang bersifat sosiokultural–religius lewat asimilasi dan akulturasi dengan adat budaya dan tradisi keagamaan yang sudah ada dan berkembang di Nusantara. Sehingga, Islam yang ada di Indonesia kemudian mempunyai bentuk yang amat spesifik, berbeda dengan Islam yang ada di negara lain. Bahkan berbeda dengan Islam yang berkembang di kawasan tempat kelahirannya sendiri, Jazirah Arab.
Pada konteks tersebut, tradisi Nyadran tak pelak merupakan salah satu “hasil manis” dari kerja keras Walisongo dalam mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat melalui proses asimilasi dan akulturasi budaya. Sehingga, Islam di Indonesia bisa berdampingan dengan tradisi dan budaya lokal beserta bentuk-bentuk keyakinan lainnya hingga saat ini. [AA, MZ]