Catatan pendek ini saya tulis untuk mengenang persahabatan saya dengan seorang Yahudi “ateis” perempuan dari Boston, Amerika Serikat. Sosok ini, bagi saya, sangat spesial karena ia telah membawa saya kepada, dan berkenalan dengan komunitas Kristen yang disebut Unitarian-Universalis, sebuah mazhab Kristen liberal yang melihat semua agama sebagai sumber kebajikan/kebenaran, serta menolak doktrin trinitas.
Ia bernama Hanna Papanek, istri seorang ekonom yang tulisan-tulisannya banyak dipublikasikan di jurnal Prisma pada tahun-tahun 70an dan 80an, yaitu Gustav Papanek. Suami istri yang tinggal di kawasan Lexington, Boston, ini, saya kenal dengan baik.
Hanna adalah Yahudi Jerman yang melarikan diri dari kekejaman Nazi, dan kemudian terdampar di Amerika Serikat. Ia meraih gelar doktornya di bidang antropologi dari Universitas Harvard. Ia banyak melakukan penelitian di Pakistan, dan mengenal dengan baik komunitas Muslim. Di ujung karirnya, ia mengajar di Universitas Boston, kampus tempat saya kuliah dulu.
Saya sudah lupa bagaimana ia bisa menemukan saya di Boston. Tetapi yang jelas, pada suatu hari, ia pernah meminta saya untuk memberikan ceramah tentang Islam di gereja tempat ia biasa “kumpul-kumpul” di kawasan Bedford – sebuah kecamatan yang terletak jauh dari pusat kota Boston.
Dengan senang hati, saya memenuhi permintaan ini. Saya datang bersama istri dan dua anak saya. Saya sampai di gereja Unitarian itu pada suatu pagi yang amat dingin, dan salju terhampar di mana-mana.
Istri saya, dengan memakai jilbab, berbaur dengan jemaat yang lain. Mereka menerima isteri saya dengan sangat bersahabat, tanpa ada mata kecurigaan sama sekali. Saya sendiri membayangkan, ini adalah pemandangan yang ganjil: seorang perempuan berjilbab berada di tengah-tengah jemaat Kristen yang sedang beribadah.
Belakangan saya baru mengenal, apa kelomok bernama Unitarian-Universalis ini. Mereka ini adalah gereja yang sangat terbuka kepada semua agama. Yang hadir dalam ibadah Minggu itu, di luar dugaan saya, adalah orang-orang dari berbagai agama. Sebagian besar tentu saja orang-orang Kristen. Tetapi ada juga seorang Hindu dan Yahudi.
Selesai ibadah (tentu saja kami tidak ikut beribadah; kami hanya berada di tengah-tengah orang-orang beribadah, dan menyaksikan mereka melaksanakan ritual), saya diajak oleh Bapak Pendeta yang memimpin gereja ini. Hanna Papanek menyertai kami menuju ruangan kerja pendeta itu.
Kami ngobrol “ngalor-ngidul” tentang apa yang akan saya presentasikan kepada jemaat gereja. Di tengah-tengah percakapan inilah Hanna bercerita banyak hal mengenai perjalanan hidupnya dan karir akademiknya. Ia mengaku bahwa dirinya adalah seorang ateis. Dia tidak percaya Tuhan.
Saya kaget. “Jika tidak percaya Tuhan, kenapa Anda ikut beribadah di gereja ini?” Jawabannya di luar dugaan saya. “Saya tidak percaya Tuhan, tetapi saya menyukai orang-orang beragama. Saya datang ke sini untuk menikmati kehangatan komunitas, bertemu dengan orang-orang yang menyenangkan.”
Kemudian saya bertanya kepada Bapak Pendeta, “Bagaimana gereja Anda bisa menerima seorang ateis?” Ia menjawab: gerejanya terbuka kepada siapa saja yang ingin mencari kebenaran. Di gereja ini, kata pendeta itu, kami memandang sosok-sosok seperti Buddha, Yesus, Muhammad, dan tokoh-tokoh besar semua agama dunia lain sebagai sumber kebenaran bagi kami. Orang-orang yang tak percaya pada Tuhan, kami terima dengan tangan terbuka jika hendak menyertai kami untuk bersama-sama mencari kebenaran.
Saya sungguh tercenung mendengar penjelasan pendeta itu. Sekarang, saya menjadi paham kenapa, dalam ibadah tadi, saya melihat beberapa orang dari agama lain. Saat itu, isu mengenai invasi di Irak menjadi tema yang hangat di Amerika. Dalam khutbahnya, pendeta itu menegaskan komitmen gerejanya untuk menentang perang di Irak, mendukung bangsa Palestina dalam perjuangannya melawan ketakadilan, seraya menekankan pentingnya membangun kultur perdamaian.
Usai saya menyampaikan ceramah, semua jemaat menikmati makanan sederhana. Saya melihat Hanna Papanek di dapur, melayani semua anggota jemaat yang antre untuk mendapatkan makan siang. Setelah selesai melaksanakan tugasnya, ia bergabung dengan kami (saya, istri dan kedua anak saya) yang sedang menikmati makanan siang di tengah udara yang amat dingin. Kami makan ramai-ramai di sebuah halaman di belakang gereja, di tengah matahari yang terik, dan udara yang menggigil.
“Saya suka sekali berada di tengah-tengah jemaat ini. Saya senang sekali melayani mereka,” kata Hanna Papanek. “Saya menemukan kehangatan komunitas.” Kami kemudian berdiskusi lebih lanjut tentang pelbagai perkembangan di dunia Islam, terutama di Pakistan dan Indonesia.
Ibu Papanek menaruh simpati besar kepada para aktivis Muslim di seluruh dunia, terutama di kawasan Asia, yang sedang bergulat untuk merumuskan “penafsiran Islam baru” untuk menghadapi keadaan yang berubah. Dia sangat prihatin dengan maraknya fundamentalisme agamad di mana-mana. Dia mengkritik kebijaksanaan pemerintah AS di Irak. Dia sangat tidak suka dengan Presiden Bush (ketika itu, Bush masih menjabat sebagai presiden).
Pada Ibu Papanek ini, saya tidak melihat sama sekali sinisme dan sikap “ngenyek” terhadap agama. Walau mengaku sebagai seorang ateis, ia sangat menaruh simpati yang besar kepada orang-orang beragama. Saya melihat pada wajah Ibu Papanek ini ketenangan “spiritual” yang saya lihat pada orang-orang beragama yang menghayati iman dengan intens.
Saya melihat pada ibu yang sudah mulai sepuh ini rasa simpati kemanusiaan yang begitu mendalam. Bukan hanya itu; pada dia, saya melihat semangat religiositas. Saya memandang dia sebagai seorang ateis-yang-religius. Bagi sebagian orang, sebutan “ateis-religius” ini mungkin suatu konsep yang musykil, ndak masuk akal. Oksimoron.
Saya tak ada masalah sedikitpun dengan seorang ateis seperti ini. Bahkan, bagi saya, ia lebih menyenangkan sebagai sahabat sesama “truth seekers”, pencari kebenaran, ketimbang seorang beragama yang mau menang sendiri, sombong, pongah.
Masalah saya adalah dengan orang-orang ateis yang memusuhi dengan sengit agama dan orang-orang beriman; mereka melihat agama sebagai sejenis kepercayaan kanak-kanak yang menggelikan dan harus ditinggalkan setelah sains hadir dengan seluruh kedigdayaannya. Sebagaimana saya juga memiliki masalah yang sama dengan orang-orang beragama yang sombong dan merasa paling benar sendiri.
Hanna Papanek meninggal pada 2017. Saya begitu sedih mendengar kabar itu. Ia seorang ateis, tetapi ia saya anggap sebagai sahabat yang amat menyenangkan.
Sekian.