Alkisah, ada miliarder dan juragan tanah yang punya proyek perkebunan kurma. Dia membeli berhektar-hektar tanah untuk proyeknya itu, namun proyek itu tidak mulus sebagaimana yang direncanakan. Pasalnya ada rumah atau tepatnya gubuk 6×5 meter yang dihuni seorang kakek, dan dia tidak mau dijual.
Sang juragan berkali-kali meminta anak buahnya untuk mendatangi si Kakek, agar rumah itu mau dijual. Harganya pun dinaikkan dua kali lipat dari semestinya, tetapi si Kakek tetap bersikukuh tidak mau menjualnya. Alasannya simpel, gubuk itu adalah rumah kenangan bersama mendiang istrinya. Kemudian anak buah itu datang lagi, sampai berkali-kali, dan harga yang ditawarkan bisa sampai berlipat-lipat. Hasilnya sama. Kakek tidak tergiur.
Siang-malam si juragan dan tuan tanah itu hanya memikirkan gubuk reot itu, sampai tak enak makan, tak enak tidur. Tiap saat ketika ketemu anak buahnya, bisanya hanya memarahi mereka, sebab dianggap tidak becus. Akhirnya, ia sendiri yang harus datang ke gubuk reot itu.
Persis ia datang pagi hari saat waktu duha. Sebelum mengetuk pintu, hati si juragan tergetar mendengar si kakek dari dalam rumah yang sedang bermunajat. “Alhamdulillah ya Allah atas semua karuniamu. Alhamdulillah atas rasa lapar ini, lapar yang kurasakan berhari-hari. Sekiranya tidak ada lagi apapun yang bisa saya makan tiga hari lagi ke depan, maka aku akan shalat sebanyak seribu rakaat.”
Mendengar munajat ini, si juragan tergetar hatinya dan makin heran. Kemudian ia mengetuk pintu…
Si Kakek terus mengucapkan alhamdulillah. Kemudian si juragan mengucapkan salam.
Si Kakek yang di dalam rumah langsung menyahut “Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh. Alhamdulillah Ya Allah…”
Begitu bertemu dan bersalaman, si Kakek tersenyum bahagia dan terus mengucapkan alhamdulillah. Si juragan makin bingung, bagaimana orang dalam keadaan lapar, tapi wajahnya sumringah dan bibirnya terus mengucapkan rasa syukur. Kemudian ia beranikan bertanya.
“Bukannya engkau lapar. Kenapa saat saya mengetuk pintu, engkau lansung menyahut dengan alhamdulillah dari dalam…”
Si Kakek menjawab. “Alhamdulillah atas nikmat Allah, telinga saya masih bisa mendengar dengan normal. Bukannya di tempat lain, banyak yang bermasalah pendengarannya.”
“Lalu kenapa engkau menyambutku dengan senyuman, hangat, bahkan seperti saudara jauh, bukannya engkau tahu, saya tidak membawa sepotong roti pun..”
“Pun demikian, alhamdulillah atas karunia Allah, engkau bertamu dan dengan ucap salam, engkau telah mendoakan keselamatanku. Ini sudah lebih dari cukup. Selain dari itu alhamdulillah, mataku masih diberi karunia Allah bisa melihat dengan normal, jantungku pun normal. Masya Allah nikmat-nikmat inilah sehingga saya kuat menyambutmu seperti ini…”
Singkat cerita si juragan itu langsung menangis tersadar. Betapa limpahan materi yang kumpulkan selama ini tidak membuat hatinya tenteram dan bahagia. Setiap saat yang ia pikirkan hanya keinginan yang belum tercapai, bukan kenikmatan yang sudah ia miliki. Ia pun belajar dari si kakek untuk syukur nikmat apapan kondisi, dan bukannya kufur nikmat yang membuat dia tersiksa sepanjang hari. [MZ]
(Kisah ini disadur dari syarah al-Hikam, sebagaimana dikisahkan oleh ‘Atha al-Silmi)