Mochamad Nur Safi'i Alumnus Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Salafisme dan Ide Menjadi Mazhab Islam Dunia

3 min read

Sebagai gerakan Islam global, perkembangan Salafisme akhir-akhir ini telah menunjukan pengaruhnya yang luas bagi perubahan sosial masyarakat di beberapa negara di dunia.

Banyak akademisi yang mengulas dinamika pemikiran dan gerakan salafisme pada era 1990-an. Kajian para akademisi tidak hanya pada eksistensi mereka di level lokal, tapi juga kontribusi mereka pada level global.

Sisi lain dari banyaknya kajian Salafisme adalah jika salafisme dipadupadankan dengan gerakan radikalisme. Alkisah pasca-tragedi 11 September semuanya berubah. Insiden yang melahirkan asusmsi bahwa Islam adalah agama yang akrab dengan kekerasan menjadi simbol identik, dimana para author banyak menggagas tentang relasi Salafisme dan Wahabisme. Adapula yang menyamakan Wahabisme dan kekerasan. Akan tetapi tidak semua kajian akademik tersebut bersifat netral pada hipotesis utama tentang Salafi.

Roel Meijer, dalam buku Global Salafism: Islam’s New Religious Movement, secara umum membahas tentang berbagai sudut Salafisme serta penyebarannya di berbagai negara yang telah terangkum dengan beragam sudut pandang, baik secara mikro maupun makro. Dalam catatannya, Meijer memberikan kajian-kajian yang komprehensif mengenai paham Salafisme gelobal menjadi gerakan Islam kontemporer.

Tema-tema yang diambil ke dalam buku tersebut memfokuskan pada wacana salafi dengan beragam aktivisme Islam pada interaksi antara global dan lokal. Salafisme pada saat ini harus disambungkan dengan klaim untuk kepastian agama (Claim to Religious Certainty) yang dibantu oleh pembacaan otoritatif kitab suci.

Para pengikut Salafi ini mengklaim bahwa mereka merupakan satu-satunya kelompok yang selamat di akhirat (al-Thāifah al-Manshūrah atau al-Firqah al-Nājiyah). Global Salafism memberikan catatan antara lain seperti masuknya konsep Salafisme ke belahan dunia hingga tersebarnya dasar-dasar ajarannya yang berpusat pada keesaan Allah atau juga disebut dengan ajaran tauhid, bidah (inovasi dalam urusan agama), takfir (eks-komunikasi), syirik (menyekutukan Allah), taklid serta ijtihad (interpretasi independen dan mengikuti secara membabi buta salah satu mazhab hukum), manhaj (metode/jalan), dan al-wala’ wal’bara’ (loyalitas dan disloyalitas).

Baca Juga  Tafsir QS. al-Baqarah Ayat 216 : Pentingnya Mengambil Sikap Sewajarnya dalam Mencintai dan Membenci

Dalam konteks di Indonesia, Noorhaidi Hasan memberikan catatan serius dalam Ambivalent Doctrines and Conficts in The Salafi Movement in Indonesia tentang dakwah Salafi sebagai gerakan transnasional Islam yang tidak monolitik dan ambigiu dalam doktrin-doktrinnya bila diterapkan ke dalam konteks di Indonesia.

Selain itu, Hasan juga menjelaskan bagaimana Saudi Arabia memainkan peran penting dalam memberikan pelajar Indonesia beasiswa agar bisa belajar di berbagai universitas Islam ternama yang ada di Saudi, yang mana nanti para lulusanya tersebut dijadikan agen-agen yang berperan penting dalam penyebaran dakwah salafi di Indonesia.

Sambil membenarkan dalam melacak munculnya Salafisme di Indonesia melalui para lulusan Saudi, Hasan tidak menjelaskan bagaimana Salafisme menemukan penerimaan di antara segmen-segmen tertentu dalam masyarakat Indonesia.

Namun demikian, Hasan menguraikan secara lebih sempurna di dalam penelitiannya yang lain berjudul Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia tentang genealogi gerakan Salafi di Indonesia dan dinamikanya dalam ruang publik Indonesia yang pada tataran tertentu.

Gerakan ini telah melampaui batas-batas budaya dan politik di Indonesia. Hal ini ditandai dengan ekspansi gerakan ini didukung dengan kekuatan finansial Saudi dengan cepat menyebar hampir di seluruh pelosok Indonesia.

Para pengikut Salafi tersebut melihatkan diri dengan menggunakan simbol-simbol identitas yang sangat mencolok ke ruang publik dan selama ini pada budaya Muslim Indonesia masih belum dikenal luas, seperti laki-lakinya yang memakai jalabiyah (jubah panjang), imamah (serban), isbāl (celana panjang yang hanya sampai mata kaki), dan lihyah (jenggot), serta kalangan wanitanya yang memakai niqāb (cadar).

Puncak dari gerakan ini pasca-lengsernya rezim Soeharto dengan memanfaatkan peluang tersebut dan mengunakan aksi-aksi mobilisasi yang dilakukannya, seperti Laskar Jihad yang beroperasi di bawah payung organisasi Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah (FKAWJ).

Baca Juga  Catatan Hari Keluarga Nasional: Pendidikan Anak Bukan Sekadar Urusan Kognitif-Akademik

Aksi mobilisasi mengatasnamakan misi berjuang di jalan Allah di Maluku yang di komnadoi tokoh kalangan Salafi berpengaruh, Ja’far Umar Thalib tersebut terbilang waktu yang singkat mampu mendapatkan respons dan simpati masyarakat Muslim Indonesia dari semua kalangan dengan berbagai latar belakang yang berbeda.

Disadari atau tidak, dengan terbukanya berbagai akses dalam penerimaan dakwa oleh berbagai lapisan sehingga hal ini dapat melambungkan ke popularitas para dakwah serta nama gerakan Salafi ini. Merasa memperoleh legalitas normatif generasi salaf al-shaleh, kelompok ini meneguhkan dirinya sebagai gerakan Islam murni, untuk memurnikan keberislaman masyarakat.

Tidak heran jika dalam praktiknya, kelompok ini mengusung apa yang disebut Charlene Tan sebagai sectarian brand of wahabism untuk purifikasi dan menegasikan pola keberagamaan kelompok lain.

Globalisasi dan modernisasi telah memberikan ruang kesempatan yang cukup bagi terbukanya akses interaksi dengan dunia luar yang global tersebut untuk terciptanya identitas-identitas baru.

Bahkan, keduanya merupakan faktor kuat bagi setiap perkembangan dan artikulasi bentuk-bentuk baru dari identitas tanpa ruang dan waktu.

Masuknya Salafisme menunjukkan bagaimana politik transnasional telah melampaui batas-batas budaya dan menembus lingkungan budaya.

Dengan mengambil keuntungan dari struktur peluang politik lokal maupun internasional yang ditawarkan, para pengikut Salafi ini secara bebas dan kolektif mampu mengekspresikan simbol-simbol identitas mereka yang secara umum belum pernah dikenal sama sekali dalam budaya Muslim Indonesia, seperti terlihat dari laki-lakinya yang memakai pakaian gamis, berjenggot, dan celana di atas mata kaki, serta wanitanya memakai pakaian lebar, berwarna gelap, dan bercadar.

Kemunculannya di ruang publik telah menciptakan sebuah identitas baru dengan sebutan global Salafisme. Dengan mengantongi keyakinan dan segala manifestasi Muslim Indonesia yang sejalan dengan para Muslim Arabia di tiga generasi awal (al-salaf al-shalih), mereka menyebarluaskan pesan-pesan Islam dan berhasil menjaganya sambil beradaptasi diri dengan konteks-konteks lokal.

Baca Juga  "Qutbisme" dan Kepongahan Saintifik: Mengapa Pemikiran al-Ghazali Masih Relevan Hingga Kini

Din Wahid menulis disertasi dengan mengambil sisi lain dari Salafisme berupa peran pesantren Salafi dalam dakwah di Indonesia.

Dalam penelitiannya tersebut, Wahid menjelaskan bahwa pesantren Salafi bukan sekadar mengajarkan tentang Salafisme kepada para santrinya, melainkan juga membiasakan para santri menerapkan serta mempraktikkan metode (manhaj) ke dalam kehidupan sehari-hari.

Wahid menjelaskan bahwa pada fase periode awal perkembangannya, Salafisme mengalami berbagai hambatan yang cukup berat dari masyarakat sekitar atas keberadaan pesantren Salafi ini dikarenakan doktrin yang telah diajarkan serta perilaku para pengikutnya terkesan memiliki sifat arogan serta sangat eksklusif dalam melakukan interaksi sosial.

Namun pada fase selanjutnya, masyarakat sekitar sudah tidak asing lagi dengan hadirnya pesantren Salafi. Ia pun menegaskan dalam penelitiannya tersebut bahwasannya pesantren Salafi ini sangat berperan penting dalam menyebarkan Salafisme, seperti dengan mengoganisir berbagai pusat pengajaran Salafi di kampus, channel-channel televisi maupun radio serta masjid-masjid warga.

Editor: MZ

Mochamad Nur Safi'i Alumnus Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya