Sudah sejak zaman purba, era pra-sejarah, manusia mengaitkan (sejumlah) batu, baik yang berukuran besar maupun kecil, dengan kesucian (kesakralan) maka tak perlu heran jika ada batu-batu tertentu yang menyandang status suci/sakral, dan karena itu mereka hormati.
Sebetulnya bukan hanya batu, manusia purba juga mensakralkan sejumlah objek kasatmata lain seperti gunung, pohon, air, api, matahari, bulan dlsb. Karena topik utama tulisan ini tentang batu, maka saya akan fokus pada batu.
Di zaman kuno prasejarah pula, sekelompok umat manusia di berbagai kawasan bumi ini bahkan ada yang langsung “menyembah batu” atau menjadikan batu sebagai pusat “objek ibadah ritual”.
Sekelompok manusia lain sebatas mensakralkannya (tidak sampai “menyembahnya”) karena ada asumsi di sejumlah batu tertentu itu, para dewa atau “danyang” di Jawa atau apapun namanya “Zat Supranatural” bersemayam.
Cara mensakralkan batu-batu tersebut beraneka ragam disesuaikan dengan tradisi dan kebudayaan masing-masing suku dan etnis (misalnya dengan menaruh makanan/minuman atau setelah ditemukan dupa, kemudian mereka memakai dupa plus bunga biar tambah wangi.
Apapun tata caranya tetapi substansinya sama: respek, baik karena menghormati atau karena takut mendapat bencana kalau tidak melakukan “ritual penghormatan” tersebut.
Sisa-sisa warisan leluhur purba itu masih bisa kita saksikan hingga saat ini. Sebagian masih menjalankan apa adanya warisan kuno itu, sebagian lain memodifikasinya dengan perkembangan baru.
Hampir setiap tradisi agama atau kepercayaan lokal memiliki kisah-kisah tentang fenomena batu sakral dan sebagian lain masih mempraktikkan “ritual pensakralan”, meskipun kelompok konservatif dan puritan agama selalu gigih menyerang karena dianggap sesat dan menyesatkan.
Umat Yahudi masih mempraktikkan ritual, berdoa dan menangis di “Tembok Ratapan” (umat Islam menyebutnya “Tembok Buroq”), sisa dinding “Bait Suci” yang dibangun oleh Raja Herodes di kota tua Yerusalem. Bait Suci (Bayt Allah) ini turut hancur ketika umat Yahudi melawan tentara Kerajaan Romawi. Umat Yahudi percaya kalau berdoa di “Tembok Ratapan” itu akan dikabulkan doa-doa mereka karena disitulah Tuhan bersemayam (sakhinah).
Mungkin karena alasan inilah kenapa dulu kiblat salat umat Islam itu menghadap Yerusalem sebelum akhirnya “direvisi” menghadap Makkah/Kabah setelah Nabi Muhammad berkonflik dengan sekelompok suku-suku Yahudi.
Umat Yahudi yang mensakralkan dan meratapi di “Tembok Ratapan” Yerusalem itu sebetulnya 11-12 dengan umat Islam yang mensakralkan dan meratapi Kabah dan Hajar Aswad (Batu Hitam) di Makah. Para ilmuwan ada yang menganggap Hajar Aswad sebagai pecahan meteor, lava atau basal (batuan beku berwarna gelap).
Bukan hanya umat agama Timur Tengah saja, Bangsa Yunani Kuno dan Eropa Kuno juga mengenal batu-batu sakral. Orang Inggris misalnya mengenal “Stone of Destiny” yang konon dipercayai bisa mengerti dan mengenali orang baik dan buruk. Itulah sebabnya batu ini dijadikan tempat untuk pembaiatan raja-raja Inggris.
Sejak zaman Megalitikum, sekitar 5000 SM, umat manusia memulai menjadikan tempat-tempat sakral tertentu (tempat ibadah, kuburan dlsb) yang dibangun dari – atau ditandai dengan – tumpukan/kumpulan batu-batu berukuran lebih besar.
Itulah sebabnya kenapa kita menyaksikan situs-situs kuno seperti Stonehenge di Inggris, Newgrange di Irlandia, Beforo di Republik Afrika Tengah, Tatetsuki di Jepang, atau situs Gunung Padang di Jawa Barat. Peradaban Mesir Kuno, Inca di Amerika Tengah, atau Mycenaean di Yunani juga ditandai dengan pembangunan tempat-tempat sakral dari bebatuan ini.
Di kampungku juga ada batu besar disebut “Watu Semar” (Batu Semar) karena bentuknya seperti Semar yang masih disakralkan dan dikeramatkan oleh sebagian penduduk lokal.
Di Tol Cipali, ada “Batu Bleneng” yang juga dianggap memiliki aura magis. Di daerah-daerah lain, saya yakin dan percaya pasti juga ada batu-batu yang dianggap sakral dan keramat oleh masyarakat setempat. Kunjunganku ke Palangkaraya, Sulawesi Utara, Sumatra Utara dan lainnya juga selalu menemui kisah-kisah batu keramat.
Saya sendiri tidak percaya kalau ada batu yang secara “intrinsik/inheren” itu sakral/suci. Batu apapun, termasuk batu ginjal, adalah “objek profan”. Umatlah yang mensakralkan/mensucikan atau menjadikannya suci dan sakral.
Tetapi saya menghormati kepercayaan setiap individu yang mempercayai kesakralan/kesucian sebuah batu tertentu. Mereka mensucikan, mensakralkan, atau mengeramatkan batu-batu tertentu itu tentu saja dan sudah pasti ada konteks sejarahnya.
Apapun keyakinan Anda atas batu, kita harus menghindari sikap norak dan arogan: mengeramatkan dan mensakralkan batu-batu yang dianggap suci dalam tradisi agamanya sendiri sementara pada saat yang sama melecehkan, menghina dan menyesatkan umat lain yang menganggap sakral dan keramat atas batu-batu suci mereka atau yang mereka sucikan/sakralkan. [MZ]