Siti Aminah Tardi Feminis dan Komisioner Komnas Perempuan

Presiden Oleng di Persimpangan Jalan Otoriter, Oligarki dan Negara Hukum-Indonesia (1)

2 min read

Saya bersukacita mendapatkan kiriman buku: Goro Goro Menjerat Gus Dur: Marah, Sedih, Tawa, Rindu dari panitia Tunas GusDurian 2020. Sayangnya, saya belum membaca buku Menjerat Gus Dur (Virdika Rizky Utama, 2019) yang menginspirasi lahirnya buku ini. Namun, suasana dan latarbelakang pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, dapat kita temukan dalam buku-buku yang telah diterbitkan jauh hari sebelumnya.

Diantaranya yang sudah saya baca: Hari-hari terakhir Gus Dur di Istana Rakyat (Andreas Harsono:2010), Melawan Skenario Makar: Tragedi 8 Perwira Menengah Polri di Balik Kejatuhan Presiden Gus Dur (Edy Budiyarso,2009) dan Biografi Gus Dur (Greg Barton,2003).

Membaca buku yang oleh editornya Ahmad Zainul Hamdi disebut dapat dibaca per judulnya dengan “sehelaan napas” (hlm 6) ini, nyatanya tidak demikian buat saya. Saya terlempar ke masa lalu, menelusuri dimana dan bagaimana perasaan saya pada saat peristiwa itu berlangsung.

Tahun 2001, saya tengah mengandung, sementara pasangan saya malah ditahan polisi atas upaya mendampingi nelayan di pesisir Kota Semarang. Para nelayan mengklaim kembali sungai yang ditutup pengusaha seijin pemilik kuasa, yang kemudian didirikan bioskop di atasnya. Tuntutannya sederhana: bangunan dibongkar, kapal nelayan bisa melintasi untuk berlayar ke laut.

Saya mengingat suasana ‘panas’ saat itu. Di satu sisi masyarakat menuntut negara mengembalikan sumber daya alam yang telah dirampas orde baru. Di sisi yang lain, agenda reformasi belum terkonsolidasi dengan baik, yang menjadi pertarungan tersendiri sekaligus menimbulkan kekhawatiran rezim akan kembali.

Maka, untuk memahami konteks buku ini, kita juga harus kembali pada situasi politik, ekonomi, dan sosial Indonesia pada 2000-2001. Khawatir, marah, takut juga masih semangat untuk memperjuangkan kebebasan yang sudah diraih adalah asmosfir yang saya ingat, termasuk aksi penolakan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (2000). Secara pribadi saya juga mengalami ketakutan, khawatir sekaligus bahagia menunggu persalinan dan peran sebagai ibu. Peristiwa pemakzulan Gus Dur nampaknya jauh, walau sebenarnya dekat karena nasib masyarakat miskin juga dipertaruhkan.

Baca Juga  Merangkul Keberagaman Agama: Menumbuhkan Toleransi dan Pemahaman

Ketika Marah, Sedih, Tawa dan Rindu

Tulisan-tulisan dalam buku ini mengambil perspektif, pengalaman dan perasaan individu terhadap sekitaran satu peristiwa dan tokoh yang sama yaitu Gus Dur. Menyajikan 17 tulisan, terbagi dalam empat bagian: marah, sedih, tawa dan rindu. Sayangnya dari 17 penulis, hanya satu penulis perempuan yang menuliskan kerinduan pada sosok Gus Dur. Pada bagian marah terdapat enam tulisan seputar latarbelakang dan analisa pemakzulan Gus Dur.

Mulai dari “Perspektif Politis dan Yuridis” (Tohadi), sebagai “Kecelakaan Politik Ketatanegaraan” (Hufron), “Resiko Presiden Anti Kompromi” (Marzuki Wahid), “Kebenaran Tertunda” (Moh.Syaeful Bahar), “Mihnah Gus Dur” (Aksin Wijaya) dan “Gus Dur, Megawati dan Jeratan Oligarki” (Ahmad Zainul Hamdi). Mungkin karena ditulis setelah 19 tahun, saya tidak merasakan emosi marah dalam tulisan-tulisan bagian ini, lebih kepada lesson learned yang tentunya berdasarkan pengalaman dan pengendapannya. Tulisan emosional bisa kita dapati di “Kemarahan yang Indah” (hlm 1) yang menjadi prolog buku ini.

Bagian sedih menggambarkan kesaksian kesedihan dan tangisan santri dan kyai yang akhirnya patuh untuk pulang mengikuti komando Gus Dur. Dari pandangan Fawaizul Umam sebagai anak terhadap kesedihan Ayahnya, kyai kampung yang tetap memasang foto Gus Dur di ruang tamu rumahnya. Digambarkan secara sederhana tapi mampu memberikan rasa kepedihan sekaligus kecintaan para pengikutnya, dalam “Luka itu Bukan Dikalahkan, tapi karena Dikhianati”’ (Fawaizul Umam). Juga bagaimana pers tidak memberikan pembelaan, padahal Gus Dur menjadi salah satu pembela kemerdekaannya melalui “Sang Pembela yang Tak Dibela” (M.Said Hudaini).

Membaca bagaimana pers ‘membangun narasi’ untuk menghilangkan dukungan public sekaligus tidak menginformasikannya apa yang sebenaranya terjadi, mengingatkan saya pada sebuah pernyataan: “kesalahan yang dinyatakan sebagai kebenaran secara terus menerus akan dianggap sebagai kebenaran itu sendiri”. Demikian sebaliknya.

Baca Juga  Membahagiakan Kedua Orang Tua untuk Meraih Surga

Di bagian tawa, tentu berisi humor yang menjadi ciri khas Gus Dur, dan bagaimana kita bisa menertawakan diri sendiri. Di bagian ini kita akan menemukan cerita tentang “I’m sorry” dari orang Madura dalam “Kisah Sebuah Joke di Istana Negara Menjelang Pelengseran Gus Dur” (Moh. Syaeful Bahar), penggambaran sarkas Gus Dur sebagai “Presiden Oleng” (M.Faizi), respon Gus Dur terhadap pembencinya, khususnya jurnalis yang dinilai Gus Dur juga mencari nafkah, dapat kita jumpai dalam “Terhadap Para Pembencinya, Gus Dur Bilang: “Gitu Saja Kok Repot!” (Rijal Mumazziq). Serta bagaimana Gus Dur menghadapi berbagai tantangan dalam “Gus Dur yang Memang Woles” (R.N Bayu Aji).

Sedangkan di bagian rindu, adalah bagaimana kerinduan terhadap karakter Gus Dur seperti “Merindukan Gus Dur, Manusia Mulia Potret Ramah Tanpa Amarah (Anis Hidayatie) yang judulnya mengingatkan saya pada ujaran yang kerap disampaikan Gus Dur yaitu “Islam Ramah Bukan Islam Marah”.

Penggambaran nilai-nilai indepedensi dan humanisme yang diwariskan Gus Dur secara apik ditulis dalam “Becik Ketitik, Olo Ketoro: Menafsiri (Presiden) Gus Dur” (Listiyono Santoso), pembelaan Gus Dur kepada kepentingan manusia sekaligus pengingat bahwa “Bukan tentang Jabatan, Politik adalah tentang Kemanusiaan” (Ferhadz A Muhammad), semangat mempertahankan keutuhan bangsa walau dengan mengorbankan jabatan diri dalam “Gus Dur Teladan Politik Nir-Ego” (Fahrul Muzaqqi) dan heroik, berani  laksana sherrif dalam “Gus Dur, Sheriff dan High Noon in Jakarta” (Ahmad Hakim Jayli).

Selanjutnya: Presiden Oleng di Persimpangan…(2)

Siti Aminah Tardi Feminis dan Komisioner Komnas Perempuan