
Sebelumnya: Presiden Oleng di Persimpangan…(1)
Presiden Oleng di Persimpangan Jl. Otoriter, Oligarki dan Negara Hukum-INDONESIA
Bagi Orang Jawa begitu mendengar kata goro-goro akan dengan sendirinya memahami maksudnya. Namun, mengharuskan saya menonton babak ‘goro-goro’ dalam perwayangan. Sayangnya, buku ini tidak memberikan penjelasan awal apa yang dimaksud dari goro-goro, agar yang non-Jawa bisa lebih memahaminya.
Garo-goro kurang lebih kondisi yang ditandai dengan situasi yang kacau, serba kontradiksi, yang benar dikatakan salah, yang salah dikatakan benar dan berhentinya kekacauan bersamaan dengan munculnya rakyat kecil Seamar, Gareng, Petruk, dan Bagong (Tubiyono,2011).
Sebutan Presiden Oleng yang digunakan M.Faizi dalam tulisannya, menurut saya sangat pas untuk menggambarkan situasi dan kondisi Gus Dur dalam memimpin negara ini. Faizi berhasil mengajak kita membayangkan Gus Dur sebagai sopir truk oleng yang harus membawa muatan penuh yang di dalamnya masih berantakan, masih bertengkar satu dengan yang lain dan masih terbius orde baru. “Ia menjadi presiden dan negara ini dibawanya melaju goyang ke kanan dan ke kiri…Gus Dur mengemudikan negara di jalan yang rusak penuh cekungan, bukan sedang membuat pertunjukkan” (hlm 133). Penggambaran juga bisa kita tambahkan, sambil menyetir Gus Dur juga harus menghadapi kemungkinan begal atau bajing lompat menjarah muatan truk.
Dalam buku ini, baik yang khusus membahas latarbelakang pemakzulan Gus Dur maupun tema lainnya, setidaknya dapat diidentifikasikan tiga issu yang muncul ke permukaan yaitu Buloggate, Bruneigate dan pemecatan Kapolri Komjen S Bimantoro. Namun, dari issu yang muncul di permukaan, Marzuki Wahid menyebutnya dengan Oligark Melawan Balik (hlm 69) dan tulisan Gus Dur,Megawati dan Jeratan Oligarki (hlm 99-102) menjadi simpulan kekuatan dan kepentingan siapa yang memakzulkan Gus Dur.
Buloggate diawali niatan Gus Dur untuk meminjam dana Yanatera Bulog untuk membangun Aceh. Namun, Gus Dur urung karena Sultan Brunei memberikan dana bantuan yang dimasukkan dalam kas negara tanpa dilaporkan. Dua hal ini dijadikan dasar tuduhan korupsi, –yang saat itu menjadi isu untuk mengatakan sebagai anti reformasi- mendorong dibentuknya Pansus Buloggate dan Bruneigate (hlm 18-23).
Pansus mengundang Gus Dur untuk memberikan penjelasan dan Gus Dur menolak menjawab pertanyaan Pansus.”Saya ingin mendapat penjelasan, apakah forum ini forum politik atau forum hukum?” meninggalkan pertemuan tanpa mendengarkan penjelasan Pansus sampai selesai (hlm 23). Hal ini juga dikonfirmasi oleh Luhut MP Pangaribuan yang menjadi pengacara Gus Dur saat itu yang mempertanyakan: “Sejak kapan DPR dan MPR menjadi lembaga pemeriksa yang berusaha membuktikan kesalahan orang karena diduga melanggar hukum?” (Hukum Online,17/10/2014).
DPR mengeluarkan Memorandum I dan II yang menilai Gus Dur: “sungguh-sungguh melanggar haluan negara, yaitu UUD 1945 Pasal 9 tentang sumpah jabatan dan melanggar Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme” (hlm 27). Padahal penyelidikan Kejaksaan Agung menyimpulkan bahwa tidak ditemukan alat bukti yang mengindikasikan Presiden Gus Dur dapat diproses secara hukum (hlm 29).
Saya sepakat bahwa ini bukanlah penegakan hukum tetapi kesewenang-wenangan politik dengan menggunakan celah kekosongan hukum mekanisme pemakzulan Presiden. Dalam konteks ketetanegaraan pemakzulan ini mendorong amandemen ke 3 yang melahirkan alasan dan prosedur pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden.
Kini pemakzulan presiden tidak lagi semata-mata merupakan proses dan keputusan politik, tetapi harus melibatkan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji apakah pendapat DPR bahwa Presiden melanggar konstitusi sebagai alasan pemakzulan terbukti atau tidak secara yuridis (hlm 57). Perubahan lain adalah amandemen bahwa “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR” sebagai akibat dekrit Presiden Gus Dur yang saat itu membubarkan DPR sebagai bentuk terakhir perlawanannya.
Sedangkan pemecatan Kapolri Komjen S Bimantoro menurut buku ini karena ia masuk ke permainan politik, mengadu domba Gus Dur dengan Megawati, keenganan untuk menangkap Tommy Soeharto dan tindakan represif terhadap demonstran (hlm 34). Hal terakhir yang saya rasakan yaitu penangkapan terhadap petani, nelayan, miskin kota maupun para pengacara public yang memperjuangkan hak atas sumber daya alam.
Pemecatan ini terjadi dalam masa transisi pemisahan Polri dari TNI dan belum adanya UU Kepolisian. Saya membaca buku Melawan Skenario Makar, sambil mendampingi pemeriksaan Mas Bambang Widjojanto di Bareskrim Polri. Kami ada di ruangan terpencil, Mas BW menunggu dengan membaca Alquran, dan ketika melihat judul buku yang saya baca, kami berpandangan dan tersenyum kecut.
Gus Dur dalam kurun pemerintahan yang pendek mengganti tiga Kapolri yaitu dari Jenderal Pol Roesmanhadi ke Jenderal Pol. Rusdiharjo, selanjutnya ke Surojo Bimantoro. Gus Dur mengganti Surojo kepada Chaeruddin Ismail sebagai Plt. Muncul penolakan sejumlah jenderal polisi terhadap pengangkatan Plt, yang dibalas oleh perwira di bawahnya yang menilai polri harus profesional dan tidak menjadi alat politik. Delapam Pamen yang mengeluarkan pernyataan sikap ditangkap dan dituduh akan melakukan makar, karena dinilai mendukung Chaerudin.
Megawati kemudian mengangkat kembali Bimantoro sebagai Kapolri, tentu setelah Gus Dur dimakzulkan.
“Mas Bim, ini toh tongkat yang kemarin diributkan?” Kata Megawati sambil menyalami Bimantoro.
Tongkat pun diserahkan kepada Megawati dan setelah mengamati tongkatpun dikembalikan kepada Bimantoro. Ia tersenyum bangga menerima tongkat itu. Ia seperti menemukan kebahagiaan kembali. Lalu ia mencium tongkat komando
“Ini wangi Bu. Terbuat dari kayu cendana” ujar Surojo Bimantoro (Edy Budiyarso, 2009, hlm 43).
Dada sayapun terasa sesak.
Membaca buku ini sejatinya kita diingatkan agenda reformasi yaitu mengadili Soeharto dan kroni-kroninya, amandemen UUD 1945, penghapusan Dwi Fungsi ABRI, pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya, menegakkan supremasi hukum, dan menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN. Refleksinya apakah agenda reformasi telah dilaksanakan sesuai yang diharapkan atau belum? (mmsm)
Feminis dan Komisioner Komnas Perempuan