Akhmad Faozi Sundoyo Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tren Program Tahfidz di Sekolah dan Maklumat Nyanyian Bebas (1)

2 min read

Ketika saya di pesantren, saya mendapati para pengahafal Alquran, memang memiliki energi ekstra. Mereka konsisten, persisten, betah kangelan.

Beberapa dari mereka, dengan modal tekad diri dan pengaturan waktu yang baik, bisa rampung dalam tempo tidak berapa lama, sekitar 1,5 sampai 2 tahun, telah rampung, hatam 30 juz Alquran dengan lancar. Sedemikian sudah terbilang cepat dan kilat.

Beberapa lebih panjang, bahkan sangat panjang, sampai tak jarang nyaris 10 tahun. Itupun baru tahap mula, tahap “mendapatkan hafalan”. Belum tahap selanjutnya, tahap “menjaga” (merawat) hafalan yang justru lebih penting, sekaligus lebih berat prosesnya.

Tentu ada banyak alasan, ada banyak premis dan faktor, bagi seorang penghafal Alquran bisa rampung, dengan baik.  Tetapi dua hal utama dari keberhasilan itu didapatkan melalui ‘kontrol waktu’ dan fokus intensi pikiran.

Alquran, memiliki sejarah panjangnya sendiri. Selain sebagai sumber rujukan hukum agama dan sumber energi batin, kitab ini juga membawa misi penting yang lain: yaitu keterjagaan keaslian teks dan (lantunan) tutur bacaan. Jadi, ketika seseorang berkersa menghafalkannya, dia setidaknya mengupayakan penguasaan ‘ilmu tata baca’ atau Tajwid Al-Qur’an terlebih dahulu, sebelum yang lain-lain. Ini standar minimal.

Mungkin karena posisi penghafal Alquran yang banyak mendapat privilese—semacam penghormatan—di tengah masyarakat, dan alasan-asalan lain yang butuh diteliti lebih serius dan sungguh-sungguh, muncul satu tren di lingkungan dunia pendidikan kita. Khususnya di dalam lingkup madrasah dan sekolahan yang membawa nama “Islam” sebagai cover lembaganya. Yaitu tren program tahfidz sebagai bagian dari kurikulum pengajaran.

Program Tahfidz di Sekolah dan Beberapa Masalah di Dalamnya

Saya belum sempat meneliti, kapan persisnya mula munculnya program tahfidz ini. Yang saya tahu persis, dunia pendidikan kita saat ini sedang gandrung pada (trend) tahfidz sebagai program unggulan. Sekolahan-sekolahan di sekitar kita, nampak saling berlomba menghadirkan program tahfidz. Hafalan ini naik berjenjang sesuai dengan tingkat sekolah: mulai hafalan surat-surat pendek, juz (30) amma, sampai juz-juz lainnya dalam Alquran.

Baca Juga  Seni Musik dan Spiritualitas Islam

Secara umum, fenomena ini bagus-bagus saja. Setidaknya anak didik memiliki bekal hafalan beberapa ayat atau surat Alquran yang kelak dapat digunakannya untuk praktik sholat sehari-hari. Atau bila diandaikan lebih tinggi lagi, anak didik kelak akan punya bekal ayat Alquran, yang (diandaikan) siap pakai dan bisa memandunya dalam melakoni kehidupan.

Namun masalah yang sering luput disadari adalah adanya “penyakit akut” dalam banyak lembaga pendidikan kita, yaitu: kebutuhan menjaga pride dan prestasi lembaga yang kadang dilakukan secara shortcut. Lembaga pendidikan yang tidak mampu menghasilkan siswa bernilai (prestasi teks) baik, akan dianggap sebagai lembaga yang gagal. Jalan pintas diambil. Nilai murid dikatrol sedemikian sehingga rata-rata nilai nampak baik di rapor pembelajaran. Walaupun faktanya seringkali tidak se-mem-bang-ga-kan itu.

Setelah beberapa kesempatan mengikuti praktik pendidikan—saya sendiri adalah seorang pengajar PAI di satu SMAIT, istri saya pengajar Tahfidz di satu MTSN—ada satu hal yang menurut saya perlu segera digaris-bawahi: yaitu, banyaknya pencanangan dan penyelenggaraan program tahfidz Alquran (sebagai program unggulan) tanpa disertai perangkat dan proses terstruktur terkait pemenuhan pra syarat pokok yang dibutuhkan.

Peserta didik (kelas tadfidz) dikejar target untuk dapat menguasai hafalan sekian dan sekian. Masalah yang kemudian muncul, ternyata banyak dari para murid ini yang belum fasih membaca Alquran. Artinya, kemampuan membaca saja belum punya, tetapi sudah “diharuskan” menghafal. Lantas, pada praktiknya, yang terjadi  adalah bukan setor hafalan, tapi setor ‘nyanyian’ (bernada) bebas yang syairnya diambil dari ayat-ayat Alquran. Saya kira ini cukup miris. Lebih dari itu, bahkan bisa jadi sangat fatal.

Siswa diharuskan ‘menghafal’ Alquran tanpa mengetahui dan menguasai tata baca (tajwid dan makharijul huruf) sebelumnya. Membaca Al-Fatihah saja belum beres benar, sudah digeber (di-pressure) untuk menghafalkan surat-surat lain.

Baca Juga  Dalam Islam, Apakah Peperangan Menjadi Media Dakwah?

Di luar sekolah yang berafiliasi dengan pesantren, bahkan beberapa kasus malah di pesantren sendiri, kemampuan baca rata-rata murid masih pateng plethot, banyak kesalahan di sana-sini terkait tata Tajwid al-Qur’an. Kesalahan ini bersifat mendasar, bukan kesalahan yang dikarenakan silap atau lupa, tetapi karena “memang belum paham sama sekali”. Saya menggunakan kata “paham” karena beberapa sudah pernah mengetahui dan mengajikannya di TPA/TPQ (Taman Pendidikan al-Qur’an) di dekat rumah mereka, tetapi masih saja “nol” dalam praktiknya.

Selanjutnya: Tren Program Tahfidz… (2)

Akhmad Faozi Sundoyo Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta