Sepertinya tema poligami adalah bahasan yang menarik di manapun berada. Di tempat ngopi hingga majelis pengajian. Bahasan yang disukai kaum Adam namun tidak sepenuhnya disukai kaum Hawa. Para ibu merasa ngeri-ngeri sedap jika mendengar kata poligami.
Mengingkari ayat poligami (termasuk ayat al-Qur’an yang lain) adalah kekufuran namun tafsir ayat poligami selalu debatable (beragam tafsir). Ada yang memahami bahwa ruh dari ayat poligami pada dasarnya memiliki semangat monogami dan ada pula yang memahami secara tekstual sebagaimana ayat dan sisi historis bahwa rasulullah memang berpoligami.
Agaknya saya cenderung memahami bahwa ayat tentang poligami memiliki maqashid syariah (tujuan syariah) monogami. Ini bisa direkam dari sejarah hidup rasulullah bahwa beliau tidak menikah lagi kecuali saat sayyidah sudah wafat.
Menikahnya rasululah lebih dari satu istri adalah proses pembatasan hukum dimana saat masa jahiliyah, kepemilikan istri tidak dibatasi sehingga rasulullah memberikan batasan dengan menikahi beberapa wanita saja, kemudian Islam memberikan batasan untuk umatnya empat wanita.
Ditambah lagi syarat poligami yang sangat ketat dengan konsep keadilan. Dalam sejarahnya, rasulullah menikahi para wanita lansia yang memiliki anak sehingga beliau bisa menyantuni anak yatim. Kecuali sayyidah Aisyah, rasulullah menikahinya saat perawan diusia muda. Wanita cerdas sehingga mampu merekam segala aktivitas rumah tangga nabi. Sayyidah Aisyah satu-satunya wanita yang banyak mengkodifikasi hadis. Jelaslah pernikahan rasulullah dengan istri lebih dari satu bukan berarti beliau hiperseks. Tidak seperti yang dituduhkan kaum orientalis.
Ruh dari rumah tangga nabi yang monogami, diperkuat dengan pendapat Syaikh Wahbah Az-Zuhayli:
إن نظام وحدة الزوجة هو الأفضل وهو الغالب وهو الأصل شرعاً، وأما تعدد الزوجات فهو أمر نادر استثنائي وخلاف الأصل، لا يلجأ إليه إلا عند الحاجة الملحة، ولم توجبه الشريعة على أحد، بل ولم ترغب فيه، وإنما أباحته الشريعة لأسباب عامة وخاصة
“Monogami adalah sistem perkawinan paling utama. Sistem monogami ini lazim dan asal/pokok dalam syara’. Sedangkan poligami adalah sistem yang tidak lazim dan bersifat pengecualian. Sistem poligami menyalahi asal/pokok dalam syara’. Model poligami tidak bisa dijadikan tempat perlindungan (solusi) kecuali keperluan mendesak karenanya syariat Islam tidak mewajibkan bahkan tidak menganjurkan siapapun untuk melakukan poligami. Syariat Islam hanya membolehkan praktik poligami dengan sebab-sebab umum dan sebab khusus,” (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 7, halaman 169).
Keluarga ideal yang paling fundamental adalah monogami sehingga poligami bukanlah tujuan syariah yang pokok, sebagaimana pendapat Syeikh Khudhari Beik:
وليس تعدد الزوجات من الشعائر الأساسية التي لا بد منها في نظر الشارع الإسلامي بل هو من المباحات التي يرجع أمرها إلى المكلف إن شاء فعل وإن شاء ترك ما لم يتعد حدود الله
Poligami bukan bagian dari syiar prinsipil yang harus dipraktikkan dalam pandangan Allah dan Rasulullah sebagai pembuat syariat Islam. Poligami bagian dari mubah yang pertimbangannya berpulang kepada individu mukallaf. Jika seseorang mau, ia dapat berpoligami. Jika ia memilih monogami, dia boleh mengabaikan poligami sejauh tidak melewati batas,” (Tarikh al-Tasyri‘ al-Islami, [Beirut, Darul Fikr: 1995 M/1415 H], halaman 43).
Jelaslah bahwa keluarga ideal adalah monogami sedangkan poligami hanyalah kebolehan dengan syarat-syarat yang ketat, bukan tujuan ideal dalam berkeluarga.
Pemahaman ini kontras dengan apa yang dipahami oleh kelompok muslim pendatang baru yang muncul saat ini. Di mana mereka memahami Islam seolah melulu syahwat dan selangkangan. Poligami tidak lagi hanya dipahami sebatas kebolehan, namun menjadi kebutuhan sehingga perlu adanya pelatihan bagaimana cara cepat memperoleh istri empat. Luar biasa. Bagaimana caranya ya?
Islam tak sebatas urusan selangkangan. Begitulah yang saya pahami. Berbeda dengan kaum pendatang baru yang mendadak hijrah, menjadi muslim kaffah syaratnya poligami, sehingga poligami menjadi kebutuhan. Hingga para akhwat pun bergentayangan, terus menerus menaklukkan hati para kaum pria beristri.
Apakah ini tanda rusaknya konsep agama sehingga agama tak lagi sakral karena dipahami sebatas syahwat, ataukah tanda kegembiraan para kaum pria karena akan mendapatkan jatah istri lebih dari satu. Bagaimana menurut Anda? Apa tetap istikamah dengan satu istri sebagaimana pendapat saya ataukah perlu segera nambah? Para istri, apakah sudah siap dipoligami dan para suami, sudah siapkah tambah istri? [MZ]