Setiap terjadi wabah atau bencana, perempuan selalu menempati posisi yang sangat vital dalam membangun benteng ketahanan keluarga dan masyarakat. Meski begitu, perempuan pula yang selalu menampati posisi paling rentan mengalami eksploitasi dan kekerasan. Fakta ini pula yang terjadi di dalam pengalaman masyarakat menghadapi pandemi Covid-19.
Meski menempati posisi yang paling vital dan krusial di tengah situasi pandemi, akan tetapi isu ini cenderung lebih sering diabaikan. Hal ini misalnya dibuktikan dengan sedikitnya pengakuan dan apresiasi atas kerja keras perempuan yang terbukti menjadi faktor kunci dalam melindungi keluarga dan komunitasnya. Sepinya diskursus publik atas isu ini juga menjadi salah satu indikatornya.
Berpijak pada keresahan seperti ini, Perempuan Penghayat Kepercayaan Indonesia (Puanhayati) Nasional menggelar Sarasehan vitual bertajuk bertaruk “Silaturahmi Kebangsaan Perempuan Lintas Iman”. Acara ini menghadirkan semua tokoh perempuan lintas agama/kepercayaan untuk membincang isu “Ketahanan Perempuan dan Keluarga Secara Spiritual di Tengah Wabah Pandemi Covid-19”. Acara berlangsung pada Selasa, 26 Mei 2020, 14.00-16.00 WIB.
Atas dukungan Yayasan Satunama Yogyakarta dan Lakpesdam NU, Puanhayati akhirnya sukses melibatkan semua representasi agama/keyakinan di dalam sarasehan tersebut. Hadir sebagai pembicara dalam Sarasehan tersebut, Dian Jennie Tj., inisiator sekaligus mewakili Perempuan Penghayat Kepercayaan, Ketut Rohani (Hindu) Lucia Herawati (Konghucu), Agustina Manik (Kristen), Karolina R. (Katolik), Tri Wahyudiyati (Budhha), Anggia Ermarini (Fatayat NU), dan Diyah Puspitarini (Nasyiatul Aisyiyah). Selain itu, hadir juga Ufi Ulfiah (Lakpedam NU) dan Bhudhis Utami (KAPAL Perempuan) sebagai penanggap.
Secara umum, semua narasumber yang berlatar belakang sebagai tokoh agama, menyampaikan pengalaman komunitas masing-masing dalam mengambil prakaras-prakarsa positif dalam menyelamat keluarga dan komunitasnya. Pengalaman yang dilakukan oleh Fatayat NU dan Nasyiatul Aisyiyah misalnya, menjadi bukti yang sangat penting bahwa, tokoh-tokoh perempuan terbukti yang selalu berada di garda depan upaya penanggulangan wabah.
Dalam konteks pandemi Covid-19 ini juga, perempuan kembali terbukti menjadi aktor yang mengambil inisiatif paling cepat, di dalam upaya pencegahan, penanggulangan, dan membangun ketahanan keluarga dan komunitas. Anggia Ermarini dan Diyah Puspitarini mencontohkan, bagaimana dalam situasi bencana ini, perempuan selalu paling cepat bergerak dalam kerja filantropi dengan membagi-bagikan masker, bantuan sembako, dan sosialisasi pencegahan agar mata rantai penularan virus bisa dihentikan.
Pengalaman ini pula yang disampaikan oleh Ketut Rohani, Luci Herawati, Karolin R., mewakili pengalaman komunitas agamanya masing-masing. Korlina R. mewakili Katolik juga menunjukan bagaimana di dalam institusi keluarga, pada akhirnya perempuan juga yang memainkan peran-peran vital melingkupi ketahanan dan kelestarian keluarga, di tengah situasi himpitan ekonomi dan kesulitan hidup selama masa pandemi.
“Perempuan telah menjadi sumber kehidupan dan paling tahu bagaimana merawat kehidupan bahkan ketika wabah begitu mengancam keberlangsungan hidup manusia,” kurang lebih begitulah Dian Jennie mencoba memberikan bahasa konseptual yang merangkum seluruh pengalaman perempuan-perempuan tokoh agama/kepercayaan.
Paradoksnya, meski menempati posisi vital dalam menjaga ketahanan keluarga, perempuan juga yang pada akhirnya menempati posisi paling rentan di tengah keluarga dan masyarakatnya. Dalam hal ini, Pdt. Agustina Manik membeberkan tentang fakta bagaimana perempuan selalu mendapatkan beban ganda yang lebih berat dalam kehidupan domestik, tanpa pernah mendapatkan apresiasi yang sepadan.
Lebih Lanjut ia membeberkan pula tentang meningkatnya fakta kekerasan terhadap perempuan selama masa pandemi. Tekanan sosial dan ekonomi yang sangat berat, bercampun dengan kejenuhan dan kepanikan sosial, telah meningkatkan ragam kekerasan verbal, fisik, dan seksual yang dialami oleh perempuan di dalam keluarga. Fenomena ini menurut Pdt. Agustina Manik sekaligus menggambarkan bahwa kultur patriarki yang masih begitu mengakar baik dalam institusi keluarga maupun masyarakat.
Seperti yang juga disorot oleh Budhis Utami, perempuan memang sumber kehidupan dan memiliki jasa sangat besar dalam merawat kehidupan, tetapi di dalam kultur patriarki yang dipenuhi dengan kekerasan, perempuan pula yang akhirnya dikorbankan dan dieksploitasi karena lemahnya kesadaran dan komitmen untuk mewujudkan tata kehidupan yang lebih adil bagi mereka.
Dalam pandangan Budhis Utami, negara juga sudah bersikap sangat tidak adil terhadap perempuan, karena tidak memberikan akses kesehatan dan perlindungan rasa aman bagi perempuan di tengah situasi krisis yang diciptakan oleh pandemi. Sampai saat ini misalnya, data yang dilansir oleh pemerintah juga tidak akuntabel dalam membeberkan fakta jumlah korban perempuan akibat keterbatasan akses kesehatan dan jaminan rasa aman selama periode pandemi.
Melampaui semua itu, “Silaturahmi Kebangsaan Perempuan Lintas Iman” telah menjadi momentum yang sangat berharga bagi perempuan untuk saling bertukar informasi dan saling menguatkan. Pokok pembicaraan lain yang sangat penting dalam Sarasehan tersebut adalah, kesadaran bersama bahwa pandemi bukanlah sekadar fenomena bencana, tetapi juga terkait dengan kehidupan spiritual.
Dengan diksi konseptual yang berbeda-beda, semua tokoh perempuan lintas agama/kepercayaan meyakini bahwa fenomena wabah juga terkait langsung dengan ketentuan Tuhan, takdir, atau diwakili bahasa konseptual yang berbeda-beda dengan makna yang sama. Dalam konteks ini, Dian Jennie—dalam kapasitasnya sebagai wakil Penghayat Kepercayaan, mencoba mengaitkan wabah dengan tiga konsep spiritual yang diyakini oleh kalangan Penghayat kepercaya, sangkan paran dumadi; manunggaling kawula-Gusti, dan; memayu hayuning bawana.
Wabah dalam bentuk apapun, diyakini sebagai tanda-tanda ketidakseimbangan kosmologis akibat ulah yang diciptakan oleh manusia sendiri. Dalam periode yang sangat panjang, manusia sudah lupa asal-usul dan tujuannya hidup di dunia (sangkang paran dumadi). Eksploitasi atas alam merupakan buktinya. Dalam di titik ekstrem kepongahan manusia, mereka lupa pula terhadap misi hidup yang diembannya, yakni menciptakan keseimbangan dan kesentosaan (memayu hayuning bawana).
“Pandemi adalah tanda bahwa alam sedang sakit, dan butuh me-recovery dirinya sendiri,” tegas Dian Jennie. Dalam bahasa spiritual, ini sekaligus tanda bahwa alam mengingatkan manusia akan misi suci hidupnya. Melalui pandemi pula, manusia diingatkan untuk selalu memiliki sarana mengingat kembali pada ajaran luhur, kemenyatuan dirinya dengan sumber kehidupan, manunggaling kawula-Gusti.
Dalam kesadaran bahwa pandemi Covid-19 merupakan gejala spiritual, pada akhirnya perempuan pula yang mengambil peran sangat menentukan dalam tugas sosialisasi dan pembelajaran kepada anak-anak mereka, bahwa di balik fenomena pandemi ada tanda-tanda ke-Tuhan-an di dalamnya. [MZ]