Syifa Fauzia Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya, tertarik pada sastra, budaya, serta isu sosial

Rasisme dan Silogisme: Perilaku Rasisme Adalah Kesalahan Penyimpulan

2 min read

Indonesia dikenal dengan keanekaragamannya yang mencakup agama, ras, suku, bahasa, budaya, adat istiadat, dan lain sebagainya. Kemudian perbedaan ini menyatu dalam bingkai bhinneka tunggal ika, yang artinya meskipun banyak perbedaan di antara masyarakatnya tetapi dapat bersatu menjadi suatu bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur.

Keadilan dijanjikan tanpa memandang dari golongan mana ia berasal, sebagaimana tertuang dalam sila kelima yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Semboyan bhinneka tunggal ika yang menyuarakan persamaan dan kesatuan  tersebut, apakah sudah dapat mewakili seluruh kalangan masyarakat Indonesia?

Nyatanya perilaku memojokkan suatu golongan atau kerap disebut dengan rasisme masih sangat banyak ditemui di lingkungan sekitar. Belakangan ini jagat maya ramai dengan istilah atau celetukan-celetukan pada kolom komentar yang menyudutkan suatu kalangan, misalnya “aura maghrib”, “tebak pulau”, “tebak pakan”, “the Nuruls”, “orang kabupaten”, “blok M”, dan masih banyak istilah lainnya yang mencerminkan perilaku rasisme.

Oliver Cromwell Cox yang merupakan sosiolog asal Amerika mendefinisikan  rasisme atau rasialisme sebagai peristiwa atau situasi yang menilai berbagai tindakan dan nilai dalam suatu kelompok berdasarkan pada perspektif kulturalnya yang memandang sosial masyarakat lain di luar diri mereka itu salah dan tidak dapat diterima.

Definisi tersebut dapat dipahami bahwa perilaku rasisme merupakan suatu sikap stereotipe, yakni konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka subjektif yang tidak tepat.

Sikap penilaian subjektif dapat dipicu dari suatu kondisi atau peristiwa yang pernah dialami pelaku rasisme dengan oknum suatu kelompok/golongan, yang kemudian dari peristiwa tersebut pelaku mengambil kesimpulan secara umum atas perilaku oknum suatu golongan tersebut.

Hal ini mengakibatkan pelaku rasisme akan menilai setiap orang yang datang dari suatu golongan bersifat sama. Tak jarang rasisme bukan hanya berupa hinaan verbal, melainkan bahkan sampai pada perilaku diskriminasi dan pembatasan hak-hak suatu golongan.

Baca Juga  Menjawab Kesalahpahaman Publik Mengenai Sertifikasi Ulama

Dalam ilmu logika, tepatnya pada pembahasan silogisme, diterangkan cara penalaran atau cara berpikir untuk menarik suatu kesimpulan. Pengambilan kesimpulan secara subjektif merupakan salah satu cara penalaran kurang tepat, karena termasuk ke dalam kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Suatu kesimpulan bisa diambil jika sesuai dengan hukum-hukum yang terdapat dalam silogisme.

Jika pandangan seorang pelaku rasisme dianalogikan ke dalam teori silogisme dengan dua premis sebagai berikut:

Sebagian orang Sunda memiliki sifat pemalas. (premis mayor)

Si S adalah orang Sunda. (premis minor)

Maka, kedua hal tersebut tidak bisa diambil kesimpulan secara sah, karena kedua premis tersebut bersifat partikular. Adapun kesimpulan yang dihasilkan hanyalah sebuah kemungkinan atau dugaan.

Misalnya, kesimpulan yang diambil dari dua premis tersebut adalah “si S mungkin pemalas karena dia orang Sunda,” tetapi bisa jadi si S adalah orang yang rajin dan pekerja keras meskipun dia orang Sunda. Hal ini hanya akan menjadi asumsi yang tidak bisa digeneralisasikan. Dalam silogisme juga terdapat suatu hukum yang menyatakan bahwa jika term penengahnya tidak tentu, maka tidak dapat diambil kesimpulan secara sah.

Contohnya adalah jika premis pertama (mayor) menyatakan “pelit merupakan ciri orang Padang,”  dan premis kedua (minor) menyatakan, “Bintang adalah orang Padang,” maka dari kedua premis tersebut tidak dapat ditarik kesimpulan karena term penengahnya kurang tentu.

Dalam contoh di atas yang menjadi term penengah adalah “orang Padang”. Adapun jika ditarik kesimpulan, maka kesimpulannya tidak valid, yakni “Bintang adalah orang yang pelit”, sedangkan bisa saja Bintang adalah orang yang dermawan meski ia berasal dari Padang. Orang yang berasal dari suku atau daerah lain pun dapat memiliki sifat pelit, karena sifat pelit tidak dapat mencerminkan suatu suku/ras.

Baca Juga  Mampukah Agama Mereduksi Ketakutan Akibat Covid-19?

Penyimpulan yang salah tersebut akan menjadi cikal bakal sikap stereotipe. Kemudian sikap stereotip akan menghasilkan prejudice atau prasangka yang akan menimbulkan perasaan negatif terhadap suatu kelompok tertentu.

Jika sikap stereotipe, prasangka negatif, dan fanatisme terhadap budaya sendiri sudah berkolaborasi, maka akan timbullah perilaku rasisme  di mana pelaku akan memandang rendah budaya atau bahkan individu yang berasal dari golongan lain.

Diambil dari pengamatan pribadi, ketika tinggal dan mengenyam pendidikan di salah satu kota Jawa Timur, beberapa suku ataupun orang dari daerah tertentu termasuk suku Madura mendapatkan perilaku kurang menyenangkan bahkan diskriminasi dari lingkungan sekitarnya. Sehingga, kadang mereka (suku Madura dan lain sebagainya) merasa enggan atau bahkan tidak percaya diri untuk mengakui identitas dari mana ia berasal.

Yang terjadi dari fenomena rasisme adalah krisis identitas yang kini banyak dialami anak muda. Krisis identitas dapat memicu pergeseran budaya hingga dengan kemungkinan terburuknya adalah hilangnya budaya, adat istiadat, bahkan bahasa tradisional dalam suatu wilayah, disebabkan oleh anak muda sebagai pewaris budaya tidak lagi melestarikan budaya nenek moyangnya karena merasa kurang percaya diri jika harus mengakui suku atau dari daerah mana dia berasal.

Maka, hendaknya sebagai individu yang tinggal dan tumbuh di tengah-tengah masyarakat multikultural ini berlatih untuk memandang sesuatu secara objektif, berlatih untuk menghargai budaya orang lain, dan menerima perbedaan yang ada di sekitar kita. Sebab, itulah Indonesia dengan semboyan bhinneka tunggal ika, karena berbagai budaya menjadi satu dalam wadah Nusantara, Indonesia. [AR]

Syifa Fauzia Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya, tertarik pada sastra, budaya, serta isu sosial