Andri Rosadi Dosen Antropologi UIN Imam Bonjol, Padang

Mampukah Agama Mereduksi Ketakutan Akibat Covid-19?

3 min read

Kita hidup di zaman dengan perkembangan teknologi dan sains yang sangat pesat. Tak heran, ada yang kemudian menganut saintisme: kebenaran hanya berdasarkan sains. Di luar itu hanyalah mitos, khayalan belaka. Namun, pada sisi lain, kita juga harus mengakui bahwa perkembangan teknologi dan sains ternyata tetap menyisakan “fenomena” yang berada di luar kontrol manusia, seperti badai, banjir, gempa bumi dan yang paling terbaru, pandemi Covid-19.

Jenis bencana mendatangkan respons dan dampak yang berbeda-beda. Badai, sebagai contoh, sudah bisa dideteksi melalui satelit sehingga memungkinkan dilakukannya mitigasi. Fenomenanya nampak jelas sehingga kita bisa escape dari bencana itu. Sebaliknya, gempa bumi masih belum mampu diprediksi oleh sains. “Fenomenanya” hanya bisa dirasakan, tapi tidak bisa dilihat. Datang secara tiba-tiba pada suatu waktu, menyisakan reruntuhan dan puing, bahkan mayat yang bergelimpangan.

Sebagai masyarakat modern, kita memiliki perangkat masyarakat maju: pemerintah yang concern dengan warganya,organisasi bantuan, infrastruktur yang memadai dan pengetahuan modern yang memungkinkan kita untuk melakukan mitigasi. Namun, sekali lagi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa bencana tetap mendatangkan kerusakan dan problem sosial ekonomi, terkadang juga menimbulkan krisis.

Lantas, apa sebenarnya yang kita sebut dengan bencana alam?

Untuk konteks Eropa, hingga Abad Pertengahan, belum ada dikotomi antara bencana alam dan bencana akibat perbuatan manusia. Pada masa itu, gempa bumi dan peperangan berada dalam kategori yang sama: kesengsaraan (tribulation). Konsep bencana alam (natural disaster) adalah konstruksi modern, baru muncul pada pertengahan abad ke-18. Muncul pertama kali dalam sebuah ensiklopedi yang terbit di Leipzig pada tahun 1740 dengan entri natur ubel, merujuk pada kerusakan yang disebabkan oleh ketidaksempurnaan manusia. Contohnya: polusi udara, bencana alam, penyakitepidemik, gagal panen, kelaparan, peperangan, kebakaran, pencemaran air, dan sebagainya.

Baca Juga  Didi Kempot, Sobat Ambyar, dan Wajah Diri

Walaupun demikian, aspek teologis dan moral tetap menjadi salah satu elemen penting dalam pendefinisian bencana alam, terutama di kalangan agamawan dan konservatif. Oleh sebab itu, agama menjadi salah satu elemen penting dalam menghadapi dan menjelaskan bencana alam. Maka, hingga saat ini, dalam setiap bencana, kita bisa melihat komentar para agamawan, keterlibatan organisasi keagamaan dalam proses bantuan, dan bimbingan/nasihat rohani untuk menenangkan para korban yang selamat.

Bencana, di satu sisi, seringkali menimbulkan krisis sehingga mendorong masyarakat untuk mencari keamananan ontologis, baik dalam tradisi ataupun agama. Di sisi lain, ia juga menjadikan masyarakat curiga terhadap kelompok budaya lain. Di India, persebaran Covid-19 berjalan seiring dengan meningkatnya Islamofobia, dengan tuduhan kaum Muslim adalah biang yang menjadi penyebar penyakit menular tersebut. Sikap seperti ini bukanlah hal baru. Di Eropa pada Abad Pertengahan, kaum Yahudi pernah menjadi korban pembakaran karena dituduh menjadi penyebab terjadinya bencana alam. Pada saat itu, masih jadi pandangan umum bahwa bencana berkaitan erat dengan dosa. Yahudi, dalam pandangan mereka, adalah pendosa dan oleh sebab itu, layak menjadi tertuduh.

Krisis dan konflik sosial di atas adalah efek dari munculnya fear, rasa takut, sebagai reaksi atas bencana alam yang dirasakan oleh para korban yang selamat. Kekuatan alam, hingga saat ini adalah sumber ketakutan dominan yang kerapkali membawa kepanikan. Ketika manusia dihadapkan pada keterbatasannya sendiri, atau bahkan ketidakmampuannya dalam menghadapi bencana yang terjadi, disitulah jalan masuknya pintu agama; melalui agama, manusia berpaling kembali ke Tuhan untuk mencari perlindungan diri. Maka, agama menjadi salah satu elemen penting dalam proses fightingsurviving, dan explaining bencana.

Baca Juga  Islam dan Politik: Bayang-bayang Monarki Masa Lalu dan Masa Depan Demokrasi

Lalu bagaimana masyarakat memahami bencana?

Berkaitan dengan Covid-19, ada tiga kategori umum yang bisa kita jelaskan. Pertama, penjelasan rasional yang murni berdasarkan sains, terlepas dari aspek moral dan keyakinan agama sama sekali. Kedua, teori konspirasi yang berusaha mencari kambing hitam yang harus bertanggungjawab terhadap pandemi ini. Ketiga, penjelasan teologis yang mengkaitkan persebaran penyakit ini dengan dosa dan kesalahan manusia.

Bagaimanapun,tiga kategori di atas menyisakan pandangan dan keyakinan personal yang berbeda antara satu individu dengan yang lain. Kasus Covid-19 saat ini secara jelas menunjukkan bagaimana masyarakat merespons secara berbeda. Sebagian masih tetap beraktivitas seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa, sebagian masih ada yang “ngopi” di warung-warung, sebagian lagi membatasi diri di rumah secara ketat. Memahami feeling dan pandangan personal masyarakat ini sangat penting, sehingga respons berskala kolektif bisa diputuskan dan diterapkan.

Sebagai contoh, abainya sebagian kaum Muslim pada maklumat MUI agar mengurangi kontak langsung, termasuk berjemaah di masjid berkaitan erat dengan pandangan dan keyakinan mereka yang berbeda mengenai pandemi ini. Dari media sosial, bisa diketahui bahwa salah satu pandangan berbeda itu berkaitan dengan adanya persepsi bahwa pelarangan salat berjamaah di masa pandemi koronovirus ini berkaitan dengan konspirasi Yahudi untuk menjauhkan kaum Muslim dari masjid. Dalam tataran ini, tampak jelas bahwa titik berangkat pemahaman MUI dengan mereka yang menolak fatwa itu berbeda jauh: MUI berangkat dari sains, sementara mereka dari teori konspirasi.

Salah satu hal penting yang harus diperhatikan adalah agama dengan seluruh institusinya merupakan elemen of resilience yang penting pada berbagai kelompok budaya. Oleh sebab itu, dalam suasana bencana, yang harus dilakukan adalah revitalisasi peran agama yang dikombinasikan dengan sains secara harmoni. Seharusnya kaum Muslim lebih mengedepankan maslahat kolektif daripada kesalehan personal dengan cara lebih aktif dalam relief work, charity, dan volunteer aid sesuai dengan kapasitas masing-masing.

Baca Juga  Bangkitnya Era Mitos dan Matinya Intelektualitas

Pada tataran personal, seorang pribadi yang religius akan selalu berpandangan bahwa alam is never only natural, tapi bagian dari ciptaan Tuhan. Maka, kondisi normal dan bencana juga tidak pernah terlepas dari peran Tuhan. Ini saatnya untuk kembali bagi yang sadar dan untuk merenung bagi yang lalai. Peran penting agama saat ini adalah untuk mereduksi ketakutan dan kepanikan dengan menawarkan penjelasan yang lebih berimbang antara aspek divinity dan sains modern. [AS, MZ]

 

* Dosen antropologi UIN Imam Bonjol, Padang

Andri Rosadi Dosen Antropologi UIN Imam Bonjol, Padang

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *