Tulisan ini adalah semacam upaya membangun “epistemologi” kecil-kecilan, berbasis pengalaman-pengalaman negatif yang sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Saya menyebutnya sebagai “ngelmu syahadat” — sebuah jalan pengetahuan yang ditempuh justru bukan melalui momen yang membahagiakan dalam hidup, “momen turistik”, tetapi pengalaman yang menyakitkan, momen negatif.
Gagasan ini tentu saja bersumber dari syahadat yang setiap hari kita lafalkan saat salat, kita wiridkan usai salat, bahkan kita batinkan secara tak sadar dalam kehidupan sehari-hari di luar salat. Ia, karena itu, telah menjadi “ngelmu”, pengetahuan yang (istilah kerennya dalam antropologi kontemporer) telah mengalami proses “performatif-ikasi”, ilmu yang sudah dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai “lakon kolektif” (misalnya wiridan bareng-bareng), maupun penghayatan batin pada tingkat orang-perorang.
Apa yang saya sebut sebagai “ngelmu syahadat” ini bisa menggambarkan bagaimana suatu pemahaman, pengetahuan, dan kesadaran baru terbentuk, baik pada tingkat individu masyarakat, atau bangsa. Ngelmu syahadat bisa kita pandang sebagai sebentuk epistemologi: bagaimana sebuah pengetahuan dan pemahaman lahir. Ia juga semacam paradigma, cetakan yang menjadi model bagaimana kita mengalami segala sesuatu, lalu membentuk pengetahuan (baik pengetahuan sehari-hari yang pra-analisis, atau pengetahuan yang sudah distrukturkan dalam diskursus ilmiah) mengenai sesuatu itu.
Pada dasarnya, “ngelmu syahadat” terbentuk dari dua momen penting; saya ingin menyebutnya sebagai momen kesadaran, bahkan momen kognitif, momen ketika seseorang pelan-pelan memperoleh pengertian dan pemahaman dalam hidup. Yang pertama adalah momen “nafi”, yakni saat kita berhadapan dengan pengalaman-pengalaman yang tidak sesuai dengan apa yang ada dalam gambaran yang ada di pikiran; saat kita menjalani pengalaman yang menyakitkan. Inilah momen negatif yang dialami oleh setiap orang ketika berhadapan dengan hal ‘asing’, yang aneh.
Contoh momen negatif yang sederhana adalah manakala kita bertemu orang yang tak kita kenal. Pertemuan semacam ini kadang, atau malah sering menimbulkan pengalaman yang tak nyaman pada diri kita. Saat sedang “ngobrol-gayeng” bersama teman-teman yang kita kenal baik, lalu datang orang “asing” yang tak kita kenal, dan ikut bergabung — ya, pada saat itu kita akan berhenti sejenak, merasakan suasana yang agak aneh, kikuk, karena ada orang tak dikenal ikut bergabung dalam sebuah percakapan yang akrab. Kehadiran orang asing dalam sebuah percakapan adalah sejenis “conversation stopper”, penghenti obrolan. Itulah momen negatif.
Ketika kaum imigran datang dan membentuk “koloni” yang kian membesar di Eropa seperti terjadi pada saat ini, masyarakat “pribumi” di sana akan mengalami momen nafi/negatif semacam itu. Mereka kaget, merasa tidak nyaman gara-gara hadirnya “elemen demografis” baru yang tak mereka kenal. Ini berlaku bukan saja di Eropa, tetapi juga di mana-mana. Setiap komunitas yang berhadapan dengan “pendatang”, umumnya akan mengembangkan respons berjaga-jaga: bertanya-tanya tentang pendatang baru ini; siapa mereka; apakah tujuan mereka datang bergabung dengan komunitas “kami”; mereka akan menjadi ancaman atau tidak, dst. Momen negatif ini biasanya ditandai oleh sikap resisten: menolak, mencurigai.
Momen negatif tidak saja terjadi dalam kasus-kasus di atas. Ia bisa mengambil bentuk pengalaman tak nyaman ketika pendapat kita dikritik. Saat pendapat kita disanggah orang lain, kita, secara otomatis, akan merasakan pengalaman tak nyaman. Inilah yang menjelaskan kenapa al-Ghazali, dalam Ihya’, mengemukakan ajaran penting, yaitu “zero-tolerance” terhadap apa yang ia sebut tindakan mira’ dan jidal — yaitu menyangkal (i‘tirad) dan secara serampangan mendebat apapun yang dikatakan oleh orang lain. Dalam bahasa yang sederhana, mira’ dan jidal adalah sejenis “debat kusir” (meskipun, biasanya, kusir tidak suka berdebat).
Kita akan mengalami momen negatif yang sama sekali tak menyenangkan manakala ada orang lain yang melakukan konfrontasi verbal, menyankal apa yang kita katakan. Bahkan koreksi kecil yang dilakukan oleh pihak lain sekalipun, akan mencetuskan pengalaman kurang nyaman semacam itu. Ketika disanggah, kita mengalami momen serupa yang dialami oleh binatang yang sedang mengendus kedatangan predator asing. Pada binatang itu akan langsung muncul refleks “berjaga-jaga”, sikap awas yang intens. Ia merasa sedang diancam oleh unsur asing.
Meskipun, sikap mencurigai “yang asing” ini secara oral-etis tidaklah diajarkan oleh Islam, atau agama manapun. Islam mengajarkan agar kita menerapkan “ethics of generosity”, akhlak kemurah-hatian kepada orang asing; akhlak-mengulurkan-tangan-perkenalan dan persahabatan kepada mereka. Islam mengajarkan agar melihat orang-orang yang sama sekali tak kita kenal sebagai sumber “ma’rifah” atau pengetahuan (alami Qur’an disebut: li-ta‘arafu; agar saling mengenal satu dengan yang lain), sebagaimana termuat dalam sebuah ayat dalam Surah al-Hujurat.
Momen negatif juga kita alami saat kita sedang melihat pemandangan yang menyedihkan. Ketika melihat orang yang sakit, ringan atau berat, misalnya, kita akan merasakan momen negatif. Rasa tak-nyaman akan muncul dalam diri kita. Pangkal perasaan in boleh jadi berasal dari pemikiran bahwa kita pun, suatu waktu, bisa mengalami sakit yang sama. Saat melihat orang sakit, kita diingatkan pada “finitude”, keterbatasan tubuh kita — ujung tubuh kita adalah kematian. Itulah sebabnya, sebuah hadis Kanjeng Nabi menyebut kematian sebagai “hadzim al-lazzat”, pemutus rasa nyaman dalam hidup — sebut saja semacam “body stopper”. Agar kita tidak merasa “aman” dan lalu bersikap sembrono dalam hidup, kita dianjurkan untuk terus mengingat kematian. Tujuannya agar kita mengalami momen negatif, momen nafi ini.
Momen nafi juga terjadi manakala kita menghadapi kegagalan dalam hidup. Saat seseorang terbantun, gagal menjalankan rencana-rencana hidupnya, ia sudah tentu akan mengalami kesedihan yang luar biasa, tergantung derajat besar-kecilnya rencana itu dalam gambar besar hidup seseorang. Kegagalan dalam berinvestasi keuangan yang melibatkan sebagian atau malah seluruh tabungan seseorang, akan mendatangkan pengalaman menderita yang luar biasa.
Ada momen-momen negatif yang sifatnya eksistensial: artinya menyangkut kelangsungan masa depan hidup seseorang. Tetapi ada juga momen negatif yang biasa, yang sifatnya “transient”, cepat berlalu, tidak meninggalkan jejak kesedihan yang panjang. Yang terakhir ini tidak akan mendatangkan kesedihan yang akut. Kesedihan karena dompet kita dicopet akan cepat berlalu, meski ia tetap merupakan pengalaman nafi/negatif.
Momen negatif adalah momen yang krusial, kadang menjadi semacam “change changer”, mengubah arah hidup seseorang. Pada momen inilah biasanya terjadi perubahan-perubahan penting dalam hidup seseorang. Inilah momen yang transformatif (al-lahdzah al-taghyiriyyah) — momen yang mengubah keadaan. Pandemi yang dihadapi oleh manusia pada hari-hari jelas merupakan momen negatif dalam skala kolosal. Ia merupakan momen yang mengubah cara hidup manusia modern. Ia adalah momen “game changer”. Pandemi ini tidak sekadar merupakan pengalaman negatif yang membawa kesedihan, tetapi juga pengertian baru tentang banyak hal.
Sebagai bangsa, kita pernah mengalami momen semacam ini saat melalui masa transisi dahulu pada 1998. Pengalaman-pengalaman represi politik yang kita alami pada era Orde Baru adalah momen negatif yang pada akhirnya mengubah jalan hidup kita sebagai sebuah bangsa. Pengalaman negatif pada masa lalu itu, bagaimanapun, berperan penting dalam memfasilitasi proses lahirnya pengalaman dan pemahaman baru; bahkan lahirnya era baru.
Begitulah, ketika seseorang mengalami kegagalan dalam hidup, lalu berhasil bangkit dari sana dan “move on”, berhasil mentransendir momen negatif itu, ia akan mendapatkan pemahaman baru tentang kehidupan yang akan membawa perubahan menuju tahap yang lebih kualitatif dalam hidupnya.
Dan demikianlah seterusnya. Setiap momen negatif menjadi semacam “bidan” yang memfasilitasi lahirnya pemahaman dan pengetahuan baru bagi seseorang, bangsa, bahkan umat manusia. Dengan kata lain, setiap momen negatif bersifat “produktif”, mampu menghasilkan hal baru yang secara substantif lebih baik dan berkualitas. Inilah “momen syahadat” (kesaksian) yang amat penting. Ketika seseorang menderita penyakit, ia pada dasarnya adalah “syahid”; ia menyaksikan momen negatif yang, jika disikapi dengan tepat, bisa mengubah dirinya.
Karena itu,dalam ajaran Islam, seseorang yang meninggal karena penyakit-penyakit tertentu, misalnya wabah, ia dipandang sebagai “mati syahid”: karena ia menyaksikan (syahid) momen penting yang bisa mengubah perjalanan hidup manusia dalam masa mendatang. Konon wabah Covid saat ini menandai lahirnya zaman baru!
Pemahaman baru yang lahir dari rahim momen nafi atau negatif itu bisa kita sebut “momen positif” — momen itsbat. Tetapi tidak semua momen negatif akan membawa seseorang kepada pemahaman baru, kepada momen positif. Tidak setiap momen negatif bersifat transformatif. Malahan ada momen-momen negatif yang benar-benar menghancurkan hidup seseorang, masyarakat, atau bangsa. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi agar momen negatif bisa produktif, menghasilkan pengetahuan dan perubahan ke arah yang lebih baik.
Syarat yang utama: sikap membuka diri untuk diubah oleh pengalaman negatif itu. Seseorang harus menerima momen negatif itu sebagai hal yang secara faktual terjadi, dan ia harus merumuskan sikap yang tepat terhadapnya. Kendala paling berat persis ada di sini. Banyak orang yang gagal melampaui fase ini, karena ia tidak mau membuka diri; ia menolak momen negatif itu. Dengan kata lain, ia menyangkal bahwa dirinya menghadapi atau memiliki masalah.
Dalam bahasa agama, sikap membuka diri ini disebut rida; dalam bahasa Indonesia menjadi: “rela”. Kerelaan adalah sikap mental yang amat penting yang membantu seseorang memperoleh pengetahuan, pemahaman baru dari momen nafi/negatif.
Dalam “ngelmu syahadat” ini, proses terbentuk dan lahirnya pengetahuan bukan saja terjadi karena kita secara induktif melihat, mengobservasi, dan mengalami hal-hal baru yang menyenangkan. Tentu saja, saat kita menjadi turis di negeri asing dan dengan gembira melihat hal-hal baru di sana, kita, pada momen “turistik” yang menyenangkan itu, bisa saja memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru. Tetapi, momen-momen yang menyenangkan seperti ini biasanya akan segera berlalu, dan cenderung tidak transformatif.
Momen-momen yang mengubah kehidupan seorang atau bangsa biasanya bukanlah momen turistik yang menyenangkan, melainkan momen negatif yang dialami dengan kesakitan, bahkan penderitaan. Dengan kata lain, yang mengubah seseorang, masyarakat, atau bangsa adalah pengalaman syahadat yang di dalamnya terkandung dua momen nafi/negatif dan momen itsbat/positif.
Sekian.
Jatibening, 28/6/2020