Ketika itu saya masih di semester IV atau V (sekitar tahun 2000). Saya bersama beberapa teman kuliah mengikuti kelas KWG (Kritik Wacana Gender) yang diadakan oleh LKiS, Yogyakarta. Di kelas ini saya bertemu dengan fasilitator keren, Mbak Farha Ciciek. Gayanya yang lembut dan ngemong, saat itu mampu memikatku untuk tenggelam mengaguminya. Dengan sosoknya yang keibuan, ia selalu melayani kegalauan saya melalui pertanyaan-pertanyaan kritis di forum itu. Bahkan saat istirahat makan siang atau makan malam, sering saya mendekatinya dan mengajaknya bincang-bincang.
Kegelisahanku saat itu berangkat dari bacaan saya sejak di kelas dua Madrasah Aliyah tentang Hak-hak Reproduksi Wanita dalam Islam. (Terima kasih buat pak Dhe Ulil Abshar Abdalla yg sudah menghadiahiku buku ini). Buku kecil ini ditulis dengan bahasa pesantren yang khas oleh Pak Masdar F. Masudi. Dengan menggunakan model dialog antara bunyai dan seorang santri putri, buku ini seperti memberikan hentakan yang luar biasa pada diri saya saat di bangku aliyah itu. Pertanyaan di benak pikiranku saat itu yang belum sempat saya kemukakan kepada siapapun, karena takut melawan tradisi, seperti tertumpahkan saat saya menyelami dunia mahasiswa di ibu kota.
Bagaikan tumbu ketemu tutup ketika saya berkenalan dengan mbak Cicik saat itu. Bahkan di forum itu kemudian saya dikenalkan pula dengan Kiai Husein Muhammad sebagai salah satu narasumber. Cerita Kiai Husein selama di forum tentang turats fiqh dan ushul fiqh yang mampu menjadi pintu masuk dalam membaca teks-teks yang adil gender, membuat dadaku semakin berdegup kencang. Tak sabar saya ingin segera menyerap semua yang disampaikan oleh Pak Kiai. Rasanya saat itu menjadi momentum yang mampu menjawab keresahan saya bahwa Islam tidak sebagaimana yang ada dalam tafsir dan fiqh-fiqh bias itu.
Sebagai anak santri yang sejak kecil dijejali kitab-kitab kuning, tentu tidak mudah bagi saya untuk meninggalkan warisan besar itu. Meski saya menyadari adanya “kesalahan-kesalahan” dalam sejarah yang mengakibatkan pada produk hukum, tafsir, hingga praktik beragama yang “galak pada perempuan”, tapi ada kejanggalan di dalam hati kecilku saat itu.
Saya meyakini bahwa Islam sebenarnya bukan seperti itu. Tapi dengan keterbatasan ilmu dan pengetahuanku saya hanya bisa diam sambil selalu ragu dan ingin tahu. Saya terkadang merasa teriris perih saat mendengar kritikan pedas para aktivis ‘sekuler’ ketika membicarakan tradisi Islam dan pesantren. Tapi saya hanya bisa diam membisu karena memang kenyataannya seperti itu.
Tetapi pertemuan singkat di Jogja saat itu memberikan harapan yang luar biasa padaku. Karena mbak Cicik dengan wajah penuh bangga menjanjikan kepadaku ruang diskusi khusus buat menjawab pertanyaan dan kegalauanku. Dia bilang dengan meyakinkan. “Oke nanti di Jakarta kamu silahkan diskusi tentang ushul fiqh di Rahima. Saya akan bantu memfasilitasi dan mencarikan narasumber yang bisa menemani.” Rasanya malam itu saya ingin loncat memeluk fasilitator idolaku itu.
Entah bagaimana lanjutannya. Saya tidak tahu. Tiba-tiba saya dikontak oleh mbak Dani, kalau tidak salah, yang menanyakan keseriusan saya untuk diskusi tema-tema perempuan dalam bingkai wacana ke-Islam-an. Lalu saya diminta untuk mengorganisir teman-teman mahasiswa di ciputat yang berminat. Saat itu saya langsugn kerahkan teman-teman kajian di Seroja yang digawangi oleh Dhea Dahlia untuk ikut dalam forum diskusi tersebut.
Itulah kali pertama saya berkenalan dengan Rahima. Diskusi kemudian digelar sebulan sekali dengan ditemani narasumber super keren, Kiai Husein Muhammad, Mas Faqihuddin Abdul Kodir, dan Mbak Cicik sendiri. Salim takzim untuk para guru yang telah mencerahkanku.
Di forum tersebut saya dikenalkan wacana-wacana Islam yang membebaskan dan berkeadilan. Saya diajak mengkaji karya Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhūm al-Nash, bab per bab. Karena setiap pertemuan mendiskusikan buku itu. Dikenalkan kumpulan hadis dari Abu Syuqqah yang berjudul Tahrīr al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan), mendiskusikan teori-teori ulumul quran, ushul fiqh, dan lain-lain.
Ternyata, belakangan saya baru tahu bahwa forum diskusi inilah yang menginspirasi lahirnya kelas Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) Rahima yang berlangsung hingga sekarang. Lalu kelas inilah kemudian yang menjadi benih lahirnya wacana tentang ulama perempuan hingga berhasil digelar kongresnya pada April 2017 di Pesantren Kebun Jambu, Cirebon.
Meski ruang diskusi yang sempat saya ikuti hanya berkisar selama setahun, tetapi pancingan-pancingan berpikir “nakal” dari para narasumber di ruang itu, mampu membuat saya semakin menemukan arah dan jawaban atas kegalauan yang menggelayut dalam pikiran saya.
Setelah forum itu, saya resmi menjadi salah satu mitra Rahima. Sehingga sering dilibatkan dalam bagian-bagian program dan menulis di beberapa rubrik Swara Rahima. Pernah juga sebentar menduduki meja redaksi Swara Rahima sebagai Redpel. Tapi kemudian tidak bisa istikamah, karena keburu dipinang suami dan kebetulan harus berbagi dengan lembaga lain.
Perjumpaan yang sangat indah itu hingga kini masih membekas dan menjadi semangat dalam mendakwahkan Islam yang berkeadilan di manapun dan kapanpun. Rahima telah berjasa menyemaikan benih-benih keadilan ke dalam rahim-rahim para santri, nyai, kiai di lingkungan pesantren. Ini persis dengan nama yang disandangnya.
Layaknya rahim dan seorang perempuan, cara kerjanya sering tidak terdengar oleh banyak orang, bahkan kadang dilupakan oleh khalayak ramai, tapi hasilnya mampu mengagetkan dunia, dengan lahirnya Kongres Ulama Perempuan! Selamat HUT ke-20, Rahima-Ku. Tetaplah menjadi ibu bagi pergerakan perempuan dengan selalu setia menebarkan benih keadilan buat perempuan dan alam semesta. Big hug to Rahima. [MZ]