Judul: Aswaja dan Marhaenisme: Titik Temu Politik Kebangsaan Islam Nusantara
Penulis: Yana Supriatna
Penerbit: Nurmahera
Tebal: 402 Halaman
Tahun, Kota: Desember 2019, Yogyakarta
Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19. Selama menghadapi pandemi tersebut, masyarakat bahu membahu menghadapi pandemi ini, seperti menyalurkan masker hingga paket sembako bagi yang membutuhkan.
Namun, di masa sulit ini, masih ada sejumlah pihak yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan kelompok yang tak berhubungan dengan keselamatan masyarakat menghadapi pandemi Covid-19.
Seperti, sikap DPR beberapa waktu lalu yang memaksa membahas RUU Omnibus Law di saat masyarakat berjuang bertahan hidup akibat sejumlah dampak Covid-19. Meski pembahasan RUU itu dibatalkan, hal tersebut menunjukan semakin kurangnya semangat nasionalisme anggota DPR.
Seharusnya elite politik mengedapankan semangat nasional guna memperkuat rasa solidaritas dan tanggung jawab bersama menghadapi pandemi Covid-19.
Meski gagasan nasionalisme berjalan dinamis karena perubahan zaman, tapi esensi nasionalisme itu tetap sama, yakni mementingkan kepentingan bersama ketimbang kelompok tertentu.
Dalam hal ini, Ben Anderson menekankan pentingnya semangat nasionalisme dalam pengertian tradisional. Ben menilai, pentingnya ditumbuhkan kembali semangat nasional sebagaimana yang hidup secara nyata di kalangan para pejuang pergerakan dan revolusi.
Ia mengusulkan dibinanya semangat nasionalisme kerakyatan yang sifatnya bukan elitis, melainkan memihak masyarakat luas, khususnya yang lemah dan terpinggirkan. Salah satu ciri pokok nasionalisme kerakyatan itu adalah semakin kuatnya rasa kebersamaan senasib dan sepenanggulangan sebagai bangsa (Anderson: 2001, hlm 214-215).
Dengan demikian, DPR perlu membaca kembali perjuangan para founding father bangsa Indonesia yang bersolidaritas dan berjuang melindungi keselamatan demi kesejahteraan masyarakat.
Beberapa dari mereka mencoba melepaskan kepentingan partai dengan harapan membangun semangat nasionalisme yang mampu memperbaiki kehidupan rakyat Indonesia.
Salah satunya ialah perjuangan kaum Aswaja dan Marhaenisme dalam membangun politik kebangsaan dengan tujuan kehidupan rakyat Indonesia yang lebih baik.
Keduanya saling bekerja sama untuk membuat sejumlah kebijakan demi kepentingan masyarakat. Pun berupaya membangkitkan sentimen nasionalisme rakyat supaya bersama-sama membangun kekuatan ekonomi, sosial, dan politik.
Peran kaum Aswaja dan Marhaenisme tersebut dijelaskan oleh Dosen Universitas Bung Karno Jakarta Yana Priyatna dalam bukunya berjudul Aswaja dan Marhaenisme Titik Temu Politik Kebangsaan Islam Nusantara.
Buku dengan tebal 402 halaman itu, menjelaskan pertemuan gagasan maupun tindakan kedua kaum tersebut dalam nation dan character building Indonesia. Keduanya berusaha membangun sentimen nasionalis sekaligus menekan usaha sejumlah pihak yang ingin menanamkan paham radikal (ektremis kanan dan kiri) di saat Indonesia baru mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia.
Sejumlah kebijakan seperti Nasionalisasi Perusahaan dan Land Reform menujukan kerja sama konkret antara Kaum Aswaja dan Marhaen. Kerja sama itu terus berlanjut hingga Soekarno meletakan jabatannya sebagai presiden.
Salah satu kerja nyata mereka dapat dilihat pada Kabinet koalisi antara PNI-Masyumi-NU (Ali-Roem-Idham). Kabinet koalisi tersebut menjadi kabinet yang paling tegas membatalkan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Mereka bersatu menetapkan UU Pembatalan Perjanjian KMB dan Perjanjian Uni Indonesia-Belanda.
Dengan adanya UU itu, mereka menolak membayar beban hutang 3.661 miliar Gulden dengan alasan nilai itu adalah biaya perang Belanda untuk menentang Revolusi Kemerdekaan Indonesia (hlm.327).
Menurut kabinet koalisi tersebut, hasil perjanjian KMB sangat merugikan rakyat Indonesia. Pun sangat menekan sentimen nasionalisme seluruh komponen bangsa.
Tak hanya itu, kabinet koalisi ini juga merupakan pendukung utama dalam upaya pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda. Kedua golongan itu menyepakati UU No. 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda saat Belanda tak berniat menyerahkan Irian Barat (hlm.194).
Kerja sama kaum Aswaja dan Marhaen tak akan bisa terlaksana dengan baik, bila tak memiliki pemahaman yang sama terkait politik kebangsaan dalam membangun Indonesia.
Titik Temu Politik Kebangsaan Kaum Aswaja dan Marhaen
Titik temu politik kebangsaan antara kaum Aswaja An Nahdliyah dengan Marhaenisme bisa ditarik dari sejarah perjuangan mereka menghadapi penindasan kolonial Hindia Belanda. Rakyat menderita secara spritual dan material akibat sistem eksploitasi pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Kaum Aswaja dan Marhaenisme berjuang melepaskan penghisapan tersebut dengan harapan lahirnya keadilan dan kesejahteraan rakyat. Kemerdekaan bangsa adalah salah satu menuju kebebasan rakyat.
Dalam perjuangan tersebut, kaum Aswaja dan Marhaenisme memiliki pemikiran yang sama. Jika ingin lepas dari belenggu penindasan kolonial, maka tiap elemen harus bersatu, besolidaritas, dan gotong royong.
Hal tersebut yang membuat kedua kaum tersebut menggemakan Nasionalisme sebagai bentuk aktualisasi perjuangan menghadapi kolonialisme. Meski tak ada kesepakatan tertulis antara keduanya, baik Aswaja dan Marhaenisme menanamkan semangat persatuan tersebut dalam perjuangan mereka.
Berdasarkan catatan sejarah, pertama kali kaum Aswaja menanamkan semangat nasionalisme, bisa dilihat dari pembentukan Nahdlatul Wathan pada 1914 (disahkan 1916). Pendirinya, KH Abdul Wahab Hasbullah, menyatakan dasar perjuangan bukan hanya mengembangkan Islam, tetapi membangun dasar-dasar nasionalisme dalam melawan penjajah. (hlm.130).
Terkait hal itu, kaum Aswaja membangun konstruksi nasionalisme dari sudut pandang ketuhanan. Dalam Islam, kebangsaan adalah sesuatu yang sudah diberikan tuhan karena merupakan kodratnya (hlm.132). Kebangsaan sudah menjadi tabiat Islam.
“Aswaja An Nahdliyah membangun konstruksi nasionalisme Berdasarkan Hubbul Watan Minal Iman, cinta Tanah Air sebagian dari Iman,” kata KH Abdul Wahab (hlm.278).
Oleh karena itu, Islam tidak melanggar dan memperkosa paham kebangsaan. Islam mengingatkan, nasionalisme jangan sampai melupakan persaudaraan antarmanusia. Jadi, Islam hanya membatasi saja nasionalisme menjadi suatu yang luhur sehingga tidak menjadi Chauvinistik (hlm. 133).
Kemudahan menerima paham nasionalisme, tak terlepas dari cara Aswaja An Nahdilyah meramu nilai-nilai tradisi nusantara dengan Islam. Islam berakulturasi dengan budaya lokal nusantara sehingga melahirkan karakter Islam yang moderat (tawassuth), toleransi (tasāmuh), seimbang (tawāzun), dan tegak lurus (i‘tidāl) dalam memandang soal agama dan sosial politik. (bab 4).
Karakter tersebut yang mempertemukan gagasan nasionalisme Aswaja dengan Marhaenisme. Lantaran, kaum marhaenisme membangun paham nasionalisme berakar dari realitas sejarah berdasarkan kehidupan kultural rakyat nusantara. Dalam hal ini, kaum marhaen menemukan semangat gotong royong dan musyawarah menjadi katakter masyarakat nusantara.
Kaum Marhanen sadar kehidupan masyarakat nusantara tak bisa dipisahkan dari kehidupan spiritual. Ketuhanan berjalan beriringan dengan mereka.
Kaum Marhaen tidak membuang nilai tradisi masyarakat nusantara, kemudian menggantikanya. Marhanisme mencoba menemukan titik persamaan di antara keduanya.
Nasiolisme Marhaen berakat dari nilai tradisi dan pengalaman masyarajat menghadapi kolonialisme Hindia Belanda. Marhaenisme bukan dimiliki kaum Marhaen saja, siapapun yang mengalami penindasan dan berupaya untuk merubahnya merupakan bagian dari kaum Marhaen.
Oleh karena itu, kaum Aswaja, yang sebagian besar massanya berasal dari kaum petani merupakan massa kaum marhaen pula.
Dari sudut pandang itu, tiga poin penting yang dipegang kaum Marhaenisme bisa menjelaskan maksudnya. Kaum marhaenisme memiliki prinsip sosio nasionalisme, sosio demokrasi, dan ketuhanan.
Sosio nasionalisme adalah sebauh paham kebangsaan berdasar asas kemasyarakatan. Kebangsaan tumbuh dari persamaan nasib, sejarah, kepentingan dan kehidupan bersama (hlm 291).
Sementara sosio demokrasi berupaya mengangkat kehidupan rakyat di berbagai dimensi dengan tujuan beremansipasi membangun kehidupan politik demokrasi dan ekonomi demokrasi. Rakyat berperan pemegang aktif sebagai pemegang kedaulatan. Terakhir, ketuhanan menunjukan jiwa dari rakyat Indonesia dalam berjuang untuk kehidupan lebih baik.
Buku yang merupakan hasil riset Yana saat menempuh S2 Program Pascasarjana Studi Islam Nusantara di UNUSIA ini, harus dibaca masyarakat dari kalangan mana pun guna menumbuhkan kembali semangat nasionalisme. Bahasa dan struktur penulisannya mudah dimengerti.
Sayangnya, dalam analisisnya, Yana kurang menjelaskan peran kaum Aswaja maupun Marhaen di gerakan akar rumput. Yana menempatkan terlalu besar porsi elite politik dalam membangun politik kebangsaan. Peran gerakan akar rumput menjadi penting untuk melihat dinamika dan proses internalisasi nilai-nilai kebangsaan tersebut. [MZ]