
Di tengah maraknya pembicaraan tentang kecerdasan emosional (EQ), banyak orang mulai menyadari bahwa memiliki empati, pengendalian diri, dan kesadaran sosial adalah keunggulan yang penting dalam hidup. EQ dianggap sebagai kunci sukses, bahkan lebih penting dari IQ (intelligence quotient) dalam banyak aspek kehidupan, mulai dari hubungan pribadi hingga lingkungan kerja. Namun, di balik pujian terhadap EQ, muncul fenomena baru: EQ tinggi justru dijadikan tameng oleh sebagian orang untuk menutupi kelemahan berpikir, kritik terhadap diri, bahkan ego yang tak mau disentuh.
EQ, sebagaimana didefinisikan oleh Daniel Goleman (1995), mencakup lima elemen utama: kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial. Konsep ini membawa angin segar karena menekankan pentingnya mengenali dan mengelola emosi, serta membangun hubungan sosial yang sehat. EQ memperkaya dimensi kemanusiaan yang selama ini hanya diukur melalui skor IQ.
Namun, dalam praktiknya, banyak yang menyalahgunakan konsep EQ. Pernyataan seperti “Saya orangnya terlalu peka”,”Saya terlalu berempati,” Atau “Saya orangnya sensitif” sering kali digunakan sebagai alasan untuk menolak kritik, menghindar dari konflik, atau bahkan menolak logika dan penalaran. EQ yang semestinya menjadi alat refleksi diri dan perbaikan relasi sosial, justru berubah menjadi pelindung ego—alat untuk membenarkan diri tanpa introspeksi.
Goleman (2006) sendiri menekankan bahwa orang dengan EQ tinggi justru adalah mereka yang mampu mengelola egonya, bukan menggunakannya sebagai pembenaran. Orang dengan EQ sejati akan terbuka terhadap umpan balik, mampu menilai emosi secara rasional, dan tidak mudah tersinggung oleh kritik yang membangun. Jika seseorang justru menjadikan “tingginya EQ” sebagai alasan untuk tidak berpikir jernih, maka itu bukan kecerdasan emosional, melainkan bentuk manipulasi emosional terhadap diri sendiri.
Fenomena ini juga bisa dipahami dari sudut pandang kerja otak. Masyarakat awam sering mengasosiasikan kerja otak kanan dengan kreativitas dan emosi, serta otak kiri dengan logika dan bahasa. Meskipun klasifikasi ini terlalu disederhanakan, Springer dan Deutsch (1998) menjelaskan bahwa otak bekerja secara sinergis. Maka, menolak logika demi emosi—atau sebaliknya—adalah tindakan yang tidak sejalan dengan cara kerja otak yang sebenarnya. Emosi yang sehat justru membutuhkan penalaran yang sehat pula.
Ironisnya, dalam beberapa kasus, mereka yang mengaku memiliki EQ tinggi justru anti-dialog. Mereka menolak berpikir kritis karena merasa sudah cukup “bijak secara emosional.” Mereka menolak koreksi dengan alasan “ini bagian dari diriku.” Padahal, Mayer dan Salovey (1997) menyatakan bahwa kecerdasan emosional selalu berkaitan dengan kemampuan mengenali perubahan dalam diri dan merespons secara adaptif. Ketika seseorang berhenti berpikir karena merasa sudah “baik secara emosional,” maka itu bukan EQ, melainkan defensive mechanism.
Kritik terhadap dominasi IQ pun tak lepas dari fenomena ini. Beberapa sindiran di media sosial menyebutkan bahwa orang dengan IQ tinggi justru tidak mampu berpikir secara menyeluruh. Ungkapan ini mungkin lahir dari kejengahan terhadap orang-orang rasional yang kurang memiliki sensitivitas emosional. Namun, menjadi problematis ketika kritik itu dibalikkan, dan orang-orang mulai merasa cukup hanya dengan “berhati baik” tanpa nalar. Seakan-akan cukup jadi “emosional” tanpa perlu “rasional.” Padahal dunia nyata membutuhkan keseimbangan keduanya.
Kita bisa melihat keseimbangan ini dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dunia kerja, seseorang bisa sangat simpatik dan mudah bergaul (ciri EQ), tapi jika tidak bisa berpikir strategis dan logis (ciri IQ), maka produktivitas dan kontribusinya akan terbatas. Sebaliknya, seseorang bisa jenius secara teknis, tetapi tanpa kecerdasan emosional, ia akan sulit bekerja dalam tim atau memahami dinamika sosial (Goleman, 1995). Maka jelas, bukan soal memilih IQ atau EQ, tapi soal bagaimana mengintegrasikannya dalam kehidupan.
Dalam konteks ini, menjadikan EQ sebagai tameng ego adalah kemunduran berpikir. Orang yang benar-benar memiliki EQ tinggi tidak akan menggunakan perasaannya untuk menolak pertumbuhan. Mereka justru terbuka terhadap perubahan, bersedia dievaluasi, dan siap menghadapi ketidaknyamanan sebagai bagian dari proses kedewasaan.
Kita perlu waspada agar konsep EQ tidak jatuh menjadi slogan kosong yang dipakai untuk pembenaran diri. EQ bukan sekadar tentang “menjadi baik hati” atau “memahami orang lain,” melainkan tentang bagaimana emosi diarahkan untuk mendukung pertumbuhan pribadi dan sosial. Saat seseorang menjadikan EQ sebagai alasan untuk tidak berpikir, tidak berubah, atau tidak mau dikritik—di situlah EQ berubah menjadi tameng ego.
Oleh karena itu, mari kita kembalikan makna EQ ke tempat yang semestinya: sebagai alat untuk menumbuhkan kesadaran diri, membuka ruang diskusi, dan mendorong refleksi. Bukan untuk menghindari kritik, bukan untuk menolak logika, dan bukan pula untuk memupuk ego.
*Karena pada akhirnya, EQ sejati bukan tentang seberapa emosional kita terlihat, tapi seberapa sadar dan bertanggung jawab kita terhadap emosi itu sendiri*
Daftar Referensi
Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. New York: Bantam Books.
Goleman, D. (2006). Social Intelligence: The New Science of Human Relationships. New York: Bantam Books.
Mayer, J. D., & Salovey, P. (1997). What is Emotional Intelligence? In P. Salovey & D. Sluyter (Eds.), Emotional Development and Emotional Intelligence: Educational Implications (pp. 3–31). New York: Basic Books.
Springer, S. P., & Deutsch, G. (1998). Left Brain, Right Brain: Perspectives from Cognitive Neuroscience (5th ed.). New York: W.H. Freeman.
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya