Bagi kita yang hidup di Indonesia, negara dengan mayoritas pemeluk Islam, melaksanakan berbagai bentuk peribadatan yang merefleksikan keislaman tidaklah sulit. Masjid, pesantren dan lembaga pendidikan Islam ada di mana-mana. Pun demikian dengan ustaz dan ustazah, para ulama yang banyak jumlahnya dan mudah ditanyai pendapatnya.
Namun demikian, dewasa ini banyak sekali kalangan yang sejatinya tidak terlalu mendalami ilmu-ilmu agama tapi didengarkan ceramahnya dan dimintai pendapatnya oleh masyarakat. Hanya bermodal penampilan yang menyerupai ulama, serta atribut seperti sorban, tasbih dan kopyah. Fenomena tersebut menjadi problem tersendiri di negara mayoritas muslim kita ini.
Sebagian masyarakat kita memang masih perlu mendapatkan pencerahan terkait kriteria mererka yang disebut sebagai ulama; tentang bagaimana mengenali mereka yang benar-benar melaksanakan Islam di dalam kehidupannya dan bertakwa kepada Allah.
Suatu ketika, pernah ada seorang teman yang bertanya, bisakah penulis membuat indikator-indikator yang dapat memperlihatkan dengan mudah ciri-ciri orang yang takwa. Baginya bagaimanapun juga hal-hal yang empiris lebih mudah untuk diketahui dan dipahami dibandingkan dengan hal-hal yang abstrak, tidak terlihat. Pasti ada yang bisa direfleksikan dari keseharian mereka yang bertakwa. Paradigma positivisme menancap kuat di dalam pandangannya.
Penulis tentu tidak dengan mudah bisa menjawab pertanyaan teman tersebut. Terlebih lagi penulis sendiri bukanlah seorang yang ahli dalam ilmu-ilmu keIslaman. Penulis memang mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan yang melekatkan Islam pada namanya, tetapi yang penulis pelajari adalah disiplin ilmu umum.
Bagi penulis sesuatu yang abstrak yang bersarang di dalam hati seseorang, terlebih lagi di konteks takwa, hanya Allah dan yang bersangkutan saja yang mengetahui. Seperti penjelasan dalam Jauhari Windows bahwa ada jendela di mana seseorang tahu persis tentang siapa dirinya sedangkan orang lain tidak tahu.
Pun demikian, indikator-indikator empiris tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang ada dalam hati, pikiran, jiwa, atau mind seseorang. Karena itulah kita diperkenalkan dengan istilah munafik, orang yang secara empiris terlihat baik tetapi secara batin, nurani, atau abstrak ternyata jelek.
Sebaliknya, di negara-negara minoritas muslim, melaksanakan berbagai bentuk peribadatan tentu menjadi tantangan tersendiri. Di satu kota, misalnya, hanya terdapat satu masjid. Tidak ada lembaga pendidikan yang memakai kata Islam atau istilah-istilah yang diambil dari Alquran.
Peribadatan yang harus dilakukan seorang Muslim tidak banyak diketahui oleh orang-orang di sekitarnya. misalnya, Jika seorang muslim melaksanakan ibadah puasa Ramadan di sebuah kota di Australia, maka dia tentu harus untuk bersabar melihat orang-orang yang berada di sekitarnya makan dan minum dengan santai. Sebab orang-orang tersebut memang tidak tahu tentang ibadah puasa Ramadan.
Bahkan saat hari raya Idul Fitri tiba, belum tentu seorang Muslim berkesempatan untuk melaksanakan salat Idul Fitri ke masjid atau ke tempat lainnya. Selain karena masjid jauh dari tempat tinggalnya, dia juga tidak boleh meninggalkan pekerjaan pada hari itu. Hari-hari di bulan Ramadan dan Idul Fitri tak ada bedanya dengan hari-hari biasanya.
Malahan, hari raya (holiday) masyarakat mayoritas di sana diambil berdasarkan perayaan agama lain, seperti natal. Dalam merayakan natal, umat beragama lain dapat merasakan suasana yang mengajak untuk turut merayakan hari raya tersebut, meskipun secara tidak langsung. Di pusat-pusat perbelanjaan ornamen-ornamen natal dengan jelasnya dapat dilihat.
Yang menjadi pertanyaan lanjutnya adalah bagaimana menetapkan indikator bagi seorang Muslim yang bertakwa yang tinggal di Indonesia dengan seorang Muslim yang bertakwa yang tinggal di negara dengan mayoritas warga yang bukan Muslim?
Di sinilah kita berbicara implementasi ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan kita sehari-hari. Islam as ways of life. Islam sebagai cara menjalani kehidupan setiap hari. Bagaimana ketakwaan seseorang kepada Allah dapat terekspresikan dalam tindakan kebaikan yang ia lakukan. Meskipun sekali lagi tidak bisa penulis katakan bahwa perilaku yang ditunjukkan tersebut merupakan indikator ketakwaan.
Seseorang yang takwa pasti akan melakukan ibadah-ibadah yang diperintahkan oleh agamanya meskipun tidak mudah untuk melakukannya karena tidak ada masjid atau mushalla sebagai tempat khusus untuk beribadah atau pun tidak ada orang lain yang melihatnya. Ia tetap beribadah karena telah meyakini bahwa Allah akan selalu melihat tindakannya, bahkan apa yang terbersit dalam hati dan pikirannya.
Seseorang yang bertakwa akan selalu siap membantu orang lain yang membutuhkan, diminta atau tidak diminta. Karena dia memiliki rasa rempat, bahwa tanpa memintapun sesungguhnya orang lain tersebut memerlukan pertolongan. Dengan kata lain orang bertakwa akan siap menjadi “ambulance” bagi mereka yang sedang sakit, yang memerlukan pertolongan untuk diantarkan ke rumah sakit.
Orang yang bertakwa akan selalu jujur dan mampu memegang amanah yang diberikan oleh orang lain kepadanya. Dia tidak mencari cara bagaimana cara menipu atau menelikung orang yang mempercayainya. Ia tidak akan menjadi orang yang “bermuka dua”, bersikap baik di depan, tetapi mampu “menusuk dari belakang”. Banyak sekali ayat Alquran dan hadis Rasulullah yang membicarakan bagaimana seorang Muslim harus berperilaku jika ingin menjadi orang yang bertakwa.
Akan tetapi sekali lagi, penulis tidak bisa memastikan indikator-indilator yang menunjukkan orang yang bertakwa meskipun secara empiris seseorang mungkin bisa memperlihatkannya. Sebab sekali lagi, yang paling tahu adalah orang tersebut dan Allah, Tuhan yang maha kuasa.
Dalam pandangan penulis, seseorang yang mampu menjadikan Islam sebagai a way of life akan mampu menjadikannya sebagai teman yang dirindukan di kala jauh bagi sesamanya. Ia mampu memberikan rasa tenteram di kala dekat. Tidak perduli di mana ia berada, di Indonesia ataupun di Antartika. [AA]