Jihad adalah salah satu istilah agama yang belakangan ini masih selalu ngetren. Kata jihad seringkali menjadi pemicu masalah di sejumlah negara dengan populasi Muslim besar. Hal tersebut didasari oleh fenomena “gagal paham” atas makna jihad. Kerapkali kalangan umat Muslim bahkan juga non-Muslim mengalami pemaknaan yang salah dalam mengartikan kata jihad itu sendiri.
Tak lama yang lalu beredar isu dan gambar-gambar meme yang memantik prihatin, dimana narasi-narasi kalimat yang beredar sangatlah bersifat agitatif, kurang lebih berikut salah satu kalimat yang tertera, “Hanya dalam naungan khilafah, perempuan dimuliakan”.
Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana eks. simpatisan gerakan Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) bernama Nurshadrina Khaira Dhania saat diwawancarai pada acara talkshow “Rosi” tahun lalu, dimana ia membeberkan pengakuan yang cukup mencengangangkan. Dalam pengakuannya itu, ia menyebutkan bahwa dirinya telah tertipu oleh bujuk rayu kelompok ISIS yang mengatasnamakan jihad untuk mencuci otaknya, sehingga akhirnya ia pun sudi berangkat ke Suria.
Namun ketika sudah di sana Nurshadrina justru malah mendapat perlakuan berbeda dari apa yang ada dalam benaknya. Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa perempuan-perempuan di sana hanya dibuat dan diperlakukan bak pabrik anak. Karena—bagi mereka (ISIS)—jihad hanya dimaknai sebatas perang dan menikah saja.
Pengakuan yang sama turut dilontarkan oleh Lasmiati kala dimintai keterangannya oleh salah satu stasiun TV lokal dalam acara “kabar petang”. Menurutnya, sikap dari anggota-anggota ISIS di sana tidak merepresentasikan tindakan Muslim yang baik.
Jika kedua mantan simpatisan ISIS tersebut memberikan pengakuan yang kontras dengan isu-isu yang sedang beredar saat ini, maka narasi “Hanya dalam naungan khilafah, perempuan dimuliakan” kurang lebih hanyalah isapan jempol semata, atau lebih tepatnya adalah angan-angan halusinasi yang terbungkus dalam bingkai permainan kata. Atau bahkan memang begitulah mekanisme perekrutan anggota mereka yakni lewat media tipu-menipu kata-kata.
Saya jadi teringat dengan majas eufemisme yang dulu pernah diajarkan oleh Pak Guru Bahasa Indonesia di bangku sekolah, dimana majas ini adalah pemakaian ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasa kasar dan buruk.
Seperti halnya kata “diamankan” merujuk pada tindakan tegas aparat hukum kepada anggota masyarakat yang dianggap melanggar dan melakukan tindak kejahatan.
Meskipun istilah yang dipakai adalah “diamankan”, jamak diketahui bahwa mereka sama sekali tidak aman, justru malah mendapat perlakuan kasar mulai dari dicekal, diborgol, dan dimasukkan ke dalam sel bahkan di sana mungkin saja mereka juga dipukuli. Tentu pemakaian kata diamankan tidak lebih sebagai bentuk menjaga murū’ah instansi penegak hukum guna terjaga keamanan dan kedaulatan negara.
Contoh lain adalah istilah “dibebastugaskan” bagi oknum polisi yang dinilai melakukan pelanggaran saat menjalankan tugas. Tentu maksud dibebastugaskan disitu adalah dipecat, dikeluarkan dan ditendang dengan tidak hormat dari instantsinya bertugas. Namun, istilah dibebastugaskan tersebut tetap harus dipakai demi memberikan nilai kesantunan dan kesopanan.
Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah juga penggunaan narasi ajakan “jihad” oleh kelompok-kolompok ekstremisme yang disebar secara masif melalui media sosial, demi mengajak dan merekrut setiap masyarakat yang minim pengetahuan agama dan mudah terpengaruh oleh akrobat kata-kata.
Padahal realitanya, jihad yang dimaksudkan ialah merujuk pada tindakan kekerasan dan menghalalkan segala cara demi mencapai sebuah ambisi, yakni menegakkan khilafah Islamiyyah dan tak segan mengkafirkan orang-orang yang berbeda paham dengan mereka, yang barang tentu berdampak merugikan orang lain. Bukankah kasus tersebut juga salah satu bentuk praktik membungkus suatu kebusukan dengan diksi mempesona?
Mungkin masih ada banyak sekali kasus-kasus yang serupa atau bahkan lebih parah, namun sayang tak terekpos oleh media. Bila ditarik benang merah bukankah kasus-kasus tersebut sebetulnya adalah buah; buah dari lemahnya pemahaman akan makna jihad. Karena tentu jika membahas tentang perkara penegakkan khilafah, akan sangat erat kaitannya dengan sebuah kelompok ekstremisme yang mempunyai agenda menegakkan negara Islam dengan jargon “jihad” dalam spirit perjuangannya.
Namun Jihad bagi mereka hanya dimaknai dan dianggap sebagai aktivitas mengangkat senjata untuk membasmi setiap orang yang dianggap “kafir”. Walhasil, tak heran jika stigma negatif muncul seiring kata jihad terdengar oleh gendang telinga, yang terbesit dalam pikiran adalah ekstremisme, radikalisme dan terorisme.
Jihad dalam Islam
Pernak-pernik jihad menjadi daya tarik tersendiri bagi pengikut maupun calon pengikut gerakan ekstrem. Sebagai contoh di Timur Tengah terdapat gerakan Ikhwanul Muslimin, al–Jihad, al-Takfīr wa al-Hijrah, al-Qaeda serta ISIS. Sedangkan di Indonesia terdapat kelompok Hizbut Tahrir yang selalu menyuarakan gema jihad dalam agenda mendirikan khilāfah Islāmiyyah, yakni sistem negara Islam dengan naungan kepemimpinan khalifah.
Padahal, Jihad dalam agama Islam tidak selamanya bermakna perang. Jihad lebih luas dari sekadar perang. Karena sikap kesungguhan yang dilakukan oleh kaum Muslim dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT sudah termasuk Jihad. Adapun jihad yang sering dimaknai dengan perang merupakan solusi terakhir dalam rangka berdakwah menegakkan kalimatullāh. Karena Agama Islam membenci peperangan.
Fakta lain yang menunjukkan bahwa jihad tidak sebatas perang adalah ranah jihad yang luas. Hal ini bisa di lihat dari pembagian Jihad menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah yang terdiri dari empat tingkatan.
Pertama, jihād al-nafs (jihad dalam memperbaiki diri). Kedua, jihād al-syaithān (jihad melawan setan). Ketiga, jihād al-kuffar al-zulmi wa al-munāffiqīn (jihad orang-orang kafir dan orang-orang munafik). Keempat, jihād al-bāb al-zulmi wa al-bida’ wa al-munkarāt (jihad melawan orang-orang zalim, ahli bidah, dan para pelaku kemunkaran).
Dalam tingkatan tersebut Jihad perang merupakan salah satu bagian saja dari jihad, dan terdapat pula banyak tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya, yakni secara hati, lisan, harta dan baru jiwa.
Kemudian, kalaupun harus berperang, perang yang di lakukan umat Islam merupakan perang yang paling manusiawi. Ini terlihat dari etika perang yang bisa dijumpai dalam beberapa Hadis Nabi SAW dan ayat al-Qur’an. Dengan etika perang tersebut, perang yang dilakukan umat Islam tidak ada tendensi untuk memperkaya diri dan negara. Maka, jika ada kegiatan yang selalu mengatasnamakan perang dalam setiap kata jihad, sudah barang tentu itu adalah sebuah kegiatan pengonstruksian hoax yang paling disengaja. [MZ]