Zaky Ismail Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Peminat Kajian Keislaman

Konsumen, Hari Konsumen Nasional, dan Situasi Anomali

3 min read

Mengawali tulisan ini, saya ingin mengucapkan “Selamat Hari Konsumen Nasional”. Ya, selamat, minimal untuk diri saya sendiri dan keluarga saya yang sedang menikmati masa karantina, WFH dan SFH di rumah. Mungkin banyak di antara pembaca yang belum tahu, atau bahkan tidak tahu bahwa kemarin ada momen berharga bagi kita sebagai konsumen. Karena setiap tanggal 20 April diperingati sebagai Hari Konsumen Nasional (Harkonas) sesuai Keppres No. 13 tahun 2012. Sedangkan bagi yang sudah tahu namun belum mengucapkan selamat, segera saja ucapkan selamat. Minimal untuk diri anda sendiri. Sebagai hiburan dan mood booster agar imun anda kuat.

Saya yakin tidak ada di antara kita yang tidak pernah menjadi konsumen. Sebagai afirmasi, baiklah saya kutipkan saja apa yang disebut sebagai konsumen. Supaya anda tidak ragu bahwa anda sangat sering menjadi konsumen, bahkan jauh lebih sering dari jadwal minum obat. UU No 8 tahun 1999 yang sampai saat ini masih digunakan sebagai regulasi yang mengatur perlindungan konsumen menyebutkan bahwa yang disebut sebagai konsumen adalah, “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Jika ada konsumen tentu saja ada produsen. Ada penjual maka ada pembeli, ada penyedia ada pemakai, dan begitu seterusnya. Sudah menjadi hukum alam. Al Qur’an juga sudah menegaskan, segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan. Wa ja’alnākum azwājā”. Selanjutnya mari kita coba menjadikan momentum harkonas hari ini dengan mencoba menjadikan persoalan di atas menjadi bahan renungan bagi kehidupan kita sebagai keluarga besar kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, baik sebagai Tenaga Pendidik (Dosen), Tenaga Kependidikan, atau mahasiswa.

Baca Juga  Meninjau Kembali Relasi Manusia dengan Teknologi

Sekarang silahkan mencoba identifikasi sendiri pada posisi mana saja anda menjadi seorang konsumen di dalam kehidupan kampus. Apakah anda bisa menyebutkannya dengan sangat lancar? atau sebaliknya? Anda tergagap menyebutkan sesungguhnya anda sebagai konsumen dalam bentuk apa dalam kehidupan kampus sehari-hari.

Bisa saja jawaban yang muncul adalah, “Jawaban dari pertanyaan tersebut tergantung kepada siapa pertanyaan tersebut ditanyakan!”. Jika pertanyaan diajukan kepada dosen, bisa jadi ada yang merasa bahwa dosen lebih berperan sebagai penyedia layanan (produsen). Dosen melayani kebutuhan akademik melalui pendidikan, pembimbingan, penyebarluasan pengetahuan dengan menjadi pembicara, penceramah, penulis dan lain sebagainya. Jika ditanyakan kepada tenaga kependidikan maka kurang lebih sama dengan dosen. Tenaga kependidikan bahkan bisa lebih ekspansif karena juga “melayani” kebutuhan dosen.

Lain dosen dan tenaga kependidikan maka lain pula dengan mahasiswa. Mahasiswa selama ini lebih diposisikan sebagai konsumen. Segala macam layanan akademik dan non akademik bisa didapatkan dengan status sebagai seorang mahasiswa. Sebagai dosen dan tenaga kependidikan, kita berusaha menyadari bahwa core business kampus adalah pendidikan, artinya layanan pendidikan. Maka menempatkan mahsiswa sebagai konsumen dalam seluruh sistem layanan yang tersedia sangat masuk akal.Tapi sudahlah, mau di manapun posisi kita, yang terpenting adalah kita harus mulai menyadari bahwa banyak hal yang memang tidak bisa hanya dinilai hitam-putih, benar-salah.

Kegagapan dalam menjawab pertanyaan di atas tentu beralasan mengingat kampus adalah lembaga pendidikan yang menyelenggarakan layanan pendidikan. Sehingga apakah yang dimaksud dalam undang-undang tersebut sebagai “barang dan/atau jasa” bisa mencakup layanan pendidikan yang diberikan di kampus. Atau bahkan kita merasa bahwa kampus tidak bisa disamakan dengan tempat lain yang dipersepsi sebagai lembaga komersial.

Baca Juga  Gus Dur Dan Gerakan Feminisme

Silakan perhatikan kembali apa yang disebut dengan barang dan jasa dalam UU tersebut. Pasal 1 ayat 4 menyebutkan, “Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sedangkan pasal 1 ayat 5 menegaskan, “Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen”.

Ada banyak kesempatan dimana kita bertindak sebagai konsumen dalam sistem layanan yang kita temukan dalam kehidupan kampus. Bahkan sekedar memperoleh segelas air atau air mineral dalam galon di ruang kantor, atau tersedianya ruang yang bersih, harum dan nyaman adalah layanan sederhana yang mungkin saja tidak disadari sebagai upaya kampus melayani kebutuhan kita sebagai civitas akademika. Itu bisa jadi cara pimpinan memerankan diri sebagai penyedia layanan bagi bapak ibu, di saat para pimpinan juga sedang memperoleh layanan dari pihak lain.

Pada kesempatan yang lain, ketika akan memberi kuliah, sesungguhnya bapak-ibu akan memberi layanan pada konsumen namun ketersediaan ruangan yang aman, bapak ibu bisa mengakses ruang-ruang dan informasi waktu perkuliahan, atau mau memilih menggunakan ruang ber-AC atau meminta mahasiswa ke perpustakaan, maka saat itu juga bapak ibu sedang memperoleh hak sebagai konsumen. Karena hak konsumen yang dilindungi Undang-undang mencakup hak keamanan, hak atas informasi, hak untuk memilih dan hak untuk didengar.

Sederhananya, kita bisa saja menjadi produsen namun di sisi lain juga menjadi konsumen. Ironinya saat terjadi pandemik seperti hari ini. Sistem sosial menjadi kacau, penuh anomali. Sejak beberapa jam yang lalu sebelum penulis memulai menuliskan tulisan sederhana ini sudah sekian banyak beredar quote dan semacamnya, sekadar sebagai pengingat agar hak sebagai konsumen tidak boleh terabaikan di masa pandemi.

Baca Juga  Merawat Nalar Santri Baru di Bulan Ramadhan

Saya meyakini Bapak-Ibu yang sedang WFH dari rumah tidak pernah berkurang sedikitpun semangat pelayanannya. Bapak-Ibu Dosen perlu menyediakan kuota internet di atas rata-rata untuk memberi pelayanan terbaik kepada mahasiswa. Bapak Ibu yang menjadi tenaga kependidikan tidak kurang sibuknya melayani sesuai dengan kapasitas. Sehingga harapannya para konsumen yang memanfaatkan layanan kampus memperoleh haknya sebagai konsumen. Adanya keringanan-keringanan yang diberikan oleh pihak kampus terhadap mahasiswa juga merupakan wujud tanggung jawab yang tak bisa dianggap kecil

Akhirnya, tanpa bermaksud melakukan simplifikasi terhadap luasnya makna konsumen di Harkonas tahun ini, dalam situasi yang penuh dengan anomali dan situasi kahar ini, maka tulisan ini ingin mengajak kita semua menyadari bahwa memang semua butuh kerelaan dan kejernihan berpikir, harus melakukan apa, bersikap bagaimana, dan berpendapat apa harus didasarkan pada pertimbangan dan kehati-hatian. Tidak semua bisa dilihat secara hitam putih, sebagaimana pada situasi normal. Hal paling penting saat ini adalah jaga kesehatan, dan tebarlah manfaat sesuai yang anda bisa, agar menjadi pribadi terbaik, seperti semboyan yang dulu pernah ada di dekat pintu masuk kampus kita, khayr al-nās anfa’ukum li al-nās. [MZ]

Zaky Ismail Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Peminat Kajian Keislaman

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *