Dalam kajian Ulumul Qur’an tak asing lagi pembahasan mengenai nasikh dan mansukh. Timbulnya pembahasan tentang nasikh dan mansukh terjadi karena perbedaan pendapat para ulama mengenai bagaimana menafsirkan ayat-ayat yang sepintas menunjukkan adanya gejala kontradiksi.
Dikutip dari kitab “Mabahits Fi Ulumil Qur’an” karya syekh Manna’ al-Qhattan, Nasikh Secara etimologi berarti al Izalah (menghapus atau menghilangkan), Sedangkan secara terminologi, nasikh berarti dalil hukum yang menggantikan hukum dalil hukum yang mendahuluinya. Artinya, jika tidak ada nasikh, maka hukum pertama tetap berlaku).
Mansukh menurut bahasa adalah sesuatu yang diganti, sedangkan menurut istilah yaitu dalil hukum yang menempati posisi awal, yang belum diganti oleh dalil hukum yang datang kemudian.
Keberadaan nasikh mansukh dalam ruang lingkup hukum syar’i, memilik peranan penting dalam kemajuan hukum Islam disepanjang zaman yang terus berkembang, Salah satu manfaatnya adalah agar Islam tetap maju dan tidak terbelakang sebab menggunakan hukum yang telah usang dan tidak sesuai dengan zaman.
Dalam persoalan nasikh mansukh, terdapat perbedaan pendapat para ulama mengenai kemungkinan menasakh Alquran dengan Alquran ataupun Alquran dengan hadis. Sebagian jumhur ulama yang memiliki pendapat pro terhadap nasikh mansukh, menjadikan QS. Al-Baqarah (2): 106 sebagai salah satu dasar penguat pendapat mereka, sebab Naskh menurut logika boleh saja diterima akal dan secara syara’ telah terjadi.
مَا نَنْسَخْ مِنْ اٰيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا، أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Ayat mana saja yang kami ‘naskh-kan’ atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu.”
Ayat tersebut menjadi dasar para ulama berpendapat bahwa nasikh mansukh hukumnya boleh dilakukan, sesuai dengan kebutuhan zaman dengan tetap berpegang teguh pada Alquran dan hadis.
Kemudian seorang ulama mengemukakan pendapatnya dengan mendasarkan argumennya pada Q.S. al-Fusshilat (41): 42.
لَا يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ، تَنْزِيْلٌ مِنْ حَكِيْمٍ حَمِيْدٍ
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang maha bijaksana lagi maha terpuji.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwasanya tidak ada kebathilan dalam Alquran, itulah mengapa nasikh dan mansukh tidak dapat dibenarkan keberadaannya. Pendapat ini dipelopori oleh Abu Muslim al-Asfahani yang menyatakan bahwa dalam al-Quran tidak perlu adanya nasakh (penggantian/penghapusan). Jika meyakini adanya nasakh berarti sama saja dengan mengakui adanya ketidakbenaran dalam Alquran.
Pendapat seperti ini juga disampaikan oleh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar melalui kitab tafsirnya yang berjudul Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir.
Ia menegaskan bahwa Alquran itu terjaga dari pengurangan atau penambahan, dan tidak didustakan oleh kitab-kitab terdahulu, serta tidak ada kitab setelahnya yang akan menghapusnya. Lantas, bagaimana ia akan terjangkit kebatilan sedangkan Yang menurunkannya memiliki hikmah yang sempurna dan sifat yang Maha Tinggi?
Pendapat yang serupa juga disampaikan oleh Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid melalui karyanya ‘Tafsir Al-Mukhtashar’.
Dari berbagai uraian diatas, memang ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai konsep nasikh mansukh. Oleh karena itu, penting untuk dapat memahami dengan bijak antara pendapat yang mendukung dan yang menolak terhadap kajian nasikh mansukh dalam menyikapi beberapa ayat yang sepintas kontradiktif. Wallahu a’lam… [AA]