Bangsal putih, ruang ICU telah dia taklukkan, senyumnya tersungging, masih tampan meski tak ada satu pun helai rambut di kepalanya. Botak plontos lekat pada penampilannya kini, makin seksi itu menurutku.
Ada harapan aku akan lari-lari dengannya lagi. Menyisir pantai, berlomba mengejar ombak untuk selanjutnya berpelukan dalam gulungan buih nan putih. Sebuah kegiatan yang sangat dia sukai kala bugar raganya.
Tidak seperti ini, lunglai dengan jasad yang terbaring bergantung selang penyangga. Hanya mata mengisyaratkan keinginan, juga gerakan tangan tunjuk menunjuk bila ada yang kurang. Bibir sedikit berucap lemah tak ada daya. Genggam tanganpun tak lagi erat, hanya usahaku memberi hangat yang membuat kulit kami berpadu. Lalu mengantarnya pindah ke ruang lain dari yang paling gawat. HCU.
Ruangan itu masih merupakan ruang steril dengan deretan larangan bagi siapapun untuk datang. Tetapi lebih longgar dari ICU. Tempat pemulihan ring satu, sebelum boleh pindah ke ruangan yang boleh ditunggui keluarga. Gigih aku berusaha bisa menemuinya, dilarang.
Kuajukan alasan. “Singkat saja tak bolehkah? Untuk mengingatkannya waktu sholat saja.”
Dikabulkan, penjaga ruangan memberi kesempatan 5 menitan padaku untuk berkunjung menemui. Itu sudah membuatku bahagia dari pada tidak boleh sama sekali.
Maka adzan merupa kerinduan. Saat tepat bisa menjumpai belahan nyawa, mengusap keringatnya, mencium tangannya sepenuh cinta. Membisikkan kata, “Waktunya sholat duhur, Mas.”
Angguk dan senyum dipertunjukkan. Buncah lagi hatiku, bersemangat melihatnya mengingat sholat. Aku yang membimbingnya tayamum, menggerakkan tangannya. Mengusap wajah dan dua lengan.
“Tuhan…, bersucinya tak sempurna, gerakan shalatnya hanya isyarat mata, meski begitu, terimalah sujud hatinya,” gumam bibir ini meminta pada Yang mewajibkan shalat.
Menantinya salam bukanlah keinginan terbesarku meski itu pasti dia lakukan. Sedih ini menggerimis saat tolehan ke kanan dan ke kiri wajahnya menutup rangkaian. Ini artinya ritual sholat berakhir. Waktuku meninggalkannya sendiri lagi itulah yang menyedihkan.
Sebagai siasat, doa selasai sholat kubaca dengan tempo sangat lambat, agar tak segera berakhir perjumpaan ini. Menempelkan bibirku di dekat telinga, membisikkan kata sebelum memulai berdoa.
“Nanti diaminkan ya Mas kalau aku berdoa.”
Anggukan kecil dan isyarat tatapan mengerti melanjutkanku melantunkan doa-doa. Dari meminta agar disembuhkan sakitnya hingga menutup dengan doa sapu jagat. Untuk kebaikan di dunia dan akhirat.
Ucapan “Amin” lirih berulang terdengar dari mulutnya, mengikuti segala yang kupintakan pada Tuhan. Berakhir dengan kecupan di kening atau pipinya. Juga airmata yang tak henti bergulir, memenuhi wajah kami berdua.
Masih berusaha mengulur waktu, ku betulkan selimutnya, menatap wajahnya sepenuh cinta sembari tak henti tangan ini menggenggam telapaknya.
“Ibu, sudah selesaikah? Mohon pasien segera ditinggalkan ya?” Seorang perawat lelaki menghampiri, mengatakan itu. Memintaku beranjak dari mendampingi suami.
Tak bisa mengelak, pamit itu harus. Ku kecup untuk kesekian kali punggung tangannya. Mengucap salam.
“Aku pergi dulu ya, mas. Nanti waktu sholat asar aku akan datang lagi. Mas istirahat dulu ya. Assalamu alaikum.”
“Wa alaikum salam warahmatullahi wa barakaatuh,” lirih, mulutnya menjawab salam.
Perpisahan ini meski sementara, membuatku merindukan sangat perjumpaan. Padahal hanya jeda sekira 3 jam. Namun mampu membuatku menantikan.
Kembali ke ruang tunggu pasien kelas 3. Di lorong jalan tak jauh dari ruang HCU. Bertemu lagi dengan sesama penunggu memberi sedikit hiburan, dengan perbincangan-perbincangan tentang keadaan masing-masing pasien yang ditunggu.
Keadaan itu sedikit menghibur memang, ada yang diajak ngobrol. Melupakan tekanan ketegangan. Berubah menjadi tegang lagi jika terdengar loud speaker berbunyi.
“Keluarga pasien Bapak Burhan, harap ke ruang HCU.”
Maka kaluarga Pak Burhan, segera pergi ke tempat pemanggilan. Hanya 2 pilihan jika keluarga pasien dipanggil. Diminta menebus obat ke Apotik. Atau memberitahukan bahwa pasien dalam keadaan kritis, keluarga boleh mendampingi pasien, sampai reda sakit atau menjadi jenazah. Bersambung…