
Suatu hari, Raja Baghdad mengeluarkan perintah yang tidak biasa. Berusaha mempermalukan para ulama dan orang bijak di istananya, ia menantang mereka dengan tugas yang mustahil: “Siapa di antara kalian,” tanyanya dengan nada mengejek, “yang bisa mengajari keledai kerajaanku membaca dan menulis?”
Tentu saja, semua orang mengira raja sedang bercanda atau menguji mereka. Para ulama tertawa gugup, menghindari pertanyaan itu. Namun, Abu Nawas, yang selalu berani, melangkah maju dan berkata, “Saya bisa mengajari keledai Anda membaca, Yang Mulia.”
Para hadirin tertawa terbahak-bahak. Raja, yang terkejut tetapi geli, menyipitkan matanya. “Anda? Baiklah. Berapa lama waktu yang Anda perlukan?”
“Sepuluh tahun, Yang Mulia,” jawab Abu Nawas, dengan penuh keyakinan.
Raja, yang penasaran, setuju. “Baiklah. Saya akan memberi Anda keledai itu, gaji, dan semua buku yang Anda butuhkan. Namun, jika keledai itu tidak dapat membaca setelah sepuluh tahun, saya akan memenggal kepala Anda.”
Tanpa berkedip, Abu Nawas membungkuk dan menerima. Setelah sidang berakhir, teman-temannya bergegas menghampirinya dengan panik. “Abu Nawas, apakah Anda gila? Keledai tidak dapat diajari membaca! Raja akan membunuhmu!”
Abu Nawas dengan tenang menjawab, “Sepuluh tahun adalah waktu yang lama. Dalam sepuluh tahun, raja akan mati, keledai itu akan mati, atau saya yang akan mati. Dan jika tidak ada dari kita yang mati, mungkin keledai itu akan mengejutkan kita semua.”
Sekilas, kisah ini adalah kisah sederhana tentang kecerdasan dan kemampuan bertahan hidup. Abu Nawas lolos dari tantangan mematikan dengan kombinasi keberanian dan penalaran yang cerdas. Namun, di balik humor tersebut, terdapat kritik berlapis tentang otoritas, pengetahuan, dan batasan kekuasaan.
Perintah raja tidaklah masuk akal, dan Abu Nawas mengetahuinya. Raja menyeru hal itu bukan untuk dipatuhi, tetapi untuk mengungkap kesombongan orang-orang yang mengaku bijak.
Ini mencerminkan hal yang umum dalam sistem politik despotik, di mana para penguasa terkadang menguji kesetiaan dan kecerdasan dengan memaksakan tuntutan yang konyol. Namun, tanggapan Abu Nawas, mengalihkan sindiran itu kembali kepada raja. Dengan menyetujui, dia mengejek premis tantangan itu dan mengungkap ego raja.
Abu Nawas menggunakan waktu bukan sebagai penghindaran, tetapi sebagai sumber daya strategis. Dalam sepuluh tahun, apa pun bisa terjadi. Jawabannya mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang ketidakkekalan hidup dan ketidakpastian kekuasaan.
Sementara sang raja menganggap dirinya mengendalikan nasib Abu Nawas, Abu Nawas secara halus mengingatkan kita bahwa tidak ada seorang pun yang benar-benar berkuasa atas waktu, kematian, atau takdir. Kisah tersebut menjadi refleksi eksistensial yang disamarkan sebagai lelucon.
Dengan berpura-pura mengajari seekor keledai, Abu Nawas menyoroti keterbatasan pendidikan formal dan pembelajaran hafalan. Apa artinya “membaca”? Apakah sekadar menguraikan simbol, atau memahami makna?
Dapatkah hewan, atau bahkan manusia, dipaksa untuk memperoleh kebijaksanaan melalui paksaan? Kisah tersebut mengkritik mekanisasi pembelajaran dan absurditas memperlakukan pengetahuan sebagai alat untuk pamer atau kekuasaan.
Dalam banyak kisah Abu Nawas, tawa menjadi alat spiritual. Leluconnya bukan sekadar hiburan; lelucon tersebut adalah cermin yang mengungkapkan absurditas kondisi manusia. Mengajari seekor keledai untuk membaca tidak lebih absurd daripada mempercayai bahwa seseorang dapat mengendalikan takdir, mendominasi alam, atau memerintah selamanya. Kisah ini dengan lembut mengajak kita untuk menertawakan sang raja, tetapi juga menertawakan diri sendiri.
Abu Nawas merupakan contoh dari seorang penipu-suci, seseorang yang menggunakan humor bukan untuk melarikan diri dari kebenaran, tetapi untuk menyampaikannya secara tidak langsung. Persetujuannya terhadap perintah raja adalah sebuah pertunjukan, sebuah parodi kepatuhan.
Ia bertahan hidup bukan dengan kekerasan atau kepatuhan pasif, tetapi dengan mengubah aturan permainan. Dengan melakukan itu, ia menyingkap kerapuhan pihak yang berkuasa dan menegaskan kecerdasan pihak yang lemah.
Di dunia kontemporer kita, di mana birokrasi bisa sama absurdnya dengan istana sultan mana pun, dan di mana mereka yang berkuasa sering mengeluarkan perintah yang tidak berhubungan dengan kenyataan, kisah Abu Nawas masih bergema. Metodenya—menjawab yang konyol dengan yang sama konyolnya—merupakan bentuk perlawanan yang mengubah tawa menjadi pembebasan.
Lebih dari sekadar badut atau penipu, Abu Nawas mengajarkan bahwa kebijaksanaan tidak selalu serius, dan keseriusan tidak selalu bijaksana. Kemampuannya untuk memadukan satire, etika, dan imajinasi mengundang kita untuk memikirkan kembali dialektika kita dengan otoritas, pengetahuan, dan kematian.
Mungkin, pada akhirnya, kita semua adalah keledai raja: berjuang untuk “membaca” teks-teks aneh di zaman kita, mencoba memahami dunia yang sering kali terasa absurd. Abu Nawas, dengan senyum dan kecemerlangannya yang subversif, mengajak kita untuk tidak putus asa, tetapi untuk tertawa, berpikir, dan percaya bahwa terkadang, seekor keledai pun dapat mengejutkan kita.
Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.blogspot.com