Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com

“Anthropocene” dan Peran Agama dalam Menangani Krisis Ekologis

2 min read

Antroposen (the Anthropocene), istilah yang diusulkan oleh para ilmuwan untuk menggambarkan zaman geologi saat ini, menggarisbawahi dampak besar dari aktivitas manusia terhadap ekosistem Bumi.

Istilah ini menandakan era ketika tindakan manusia, seperti industrialisasi, penggundulan hutan, polusi, dan perubahan iklim, telah menjadi kekuatan dominan yang mengubah kerja planet ini.

Saat Antroposen berlangsung, dunia menghadapi krisis ekologis yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk hilangnya keanekaragaman hayati, pemanasan global, dan penipisan sumber daya. Menangani krisis ini tidak hanya membutuhkan solusi ilmiah dan teknologis, tetapi juga perlu etika, spiritualitas, dan kompas moral yang di dalamnya agama dapat memainkan peran penting.

Antroposen dan Krisis Ekologi

Antroposen merupakan pergeseran dalam sejarah planet Bumi di mana aktivitas manusia melampaui proses geologi dan iklim alami. Industrialisasi, perluasan perkotaan, dan ekstraksi sumber daya alam secara berlebihan telah berkontribusi terhadap degradasi lingkungan yang sangat besar.

Perubahan iklim, mungkin aspek yang paling mendesak dari Antroposen, diakibatkan oleh emisi gas rumah kaca yang berlebihan, yang menyebabkan meningkatnya suhu global, peristiwa cuaca ekstrem, dan kenaikan permukaan laut. Hilangnya keanekaragaman hayati, yang disebabkan oleh kerusakan habitat dan polusi, semakin memperburuk ketidakseimbangan ekologis.

Dalam hal ini, problem lingkungan tidak hanya bersifat fisik, melainkan juga amat terkait erat dengan nilai dan perilaku manusia. Konsumerisme, kerakusan politis, keserakahan ekonomi, dan prioritas keuntungan jangka pendek atas keberlanjutan jangka panjang telah menyebabkan eksploitasi alam yang sembrono.

Dengan demikian, Antroposen bukan hanya zaman geologis tetapi juga krisis etika dan spiritual, yang menuntut penilaian ulang hubungan manusia dengan lingkungan. Berhubungan dengan perilaku manusia yang demikian, agama telah lama menyediakan kerangka moral, termasuk sikap terhadap alam.

Baca Juga  Habib, Dicintai dan Mencintai

Peran Umat Beragama terhadap Krisis Ekologis

Banyak tradisi agama menekankan keterkaitan semua bentuk kehidupan dan menganjurkan pengelolaan Bumi yang bertanggung jawab. Dalam menghadapi krisis ekologis, ajaran agama dapat menawarkan motivasi yang kuat untuk kehidupan yang berkelanjutan, keadilan lingkungan, dan restorasi ekologis.

Banyak tradisi keagamaan yang mengusung konsep pengelolaan lingkungan, di mana manusia dipercayakan untuk menjaga Bumi. Dalam agama Kristen, misalnya, Kitab Kejadian berbicara tentang peran manusia sebagai pemelihara ciptaan.

Islam juga menekankan konsep “khalifah” di mana manusia adalah pengelola ciptaan Tuhan dan harus melindungi lingkungan dari bahaya. Prinsip keagamaan ini dapat menginspirasi individu dan masyarakat untuk mengadopsi praktik berkelanjutan, mengurangi limbah, dan mengadvokasi kebijakan perlindungan lingkungan.

Lebih jauh, banyak tradisi spiritual, seperti Hinduisme dan Buddhisme, memandang alam sebagai sesuatu yang sakral dan saling terkait dengan keberadaan manusia. Kitab suci Hindu menggambarkan Bumi sebagai “Bhu Devi”, dewi yang harus dihormati dan dilindungi.

Agama Buddha mengajarkan prinsip tidak merugikan (ahimsa), yang berlaku bagi semua makhluk hidup, sehingga mendorong pendekatan yang penuh kasih sayang dan berkelanjutan terhadap lingkungan. Pandangan religius seperti itu melawan kecenderungan modern untuk mengeksploitasi alam demi keuntungan ekonomi dan sebaliknya menumbuhkan rasa hormat bagi semua bentuk kehidupan.

Selain itu, konsumerisme dan materialisme merupakan pendorong utama kerusakan lingkungan. Banyak tradisi keagamaan menganjurkan hidup sederhana dan moderat dalam hal mengonsumsi, prinsip-prinsip yang sejalan dengan gaya hidup berkelanjutan.

Konsep Islam tentang zuhud mendorong pelepasan diri dari kekayaan materi yang berlebihan, sementara ajaran Kristen dan Buddhisme juga menekankan kerendahan hati dan konsumsi yang penuh kesadaran. Dengan mendorong peralihan dari konsumsi berlebihan, agama dapat membantu mengurangi jejak ekologis umat manusia.

Baca Juga  Pemuda, Islam dan Gerakan Intelektual

Agama secara historis telah menjadi kekuatan yang signifikan untuk memobilisasi masyarakat dan mengadvokasi keadilan sosial. Banyak isu ekologi, seperti penggundulan hutan dan polusi, secara tidak proporsional memengaruhi masyarakat yang terpinggirkan dan miskin.

Konsep keadilan lingkungan sangat selaras dengan nilai-nilai agama tentang kasih sayang dan keadilan. Organisasi keagamaan dapat memainkan peran penting dalam mengadvokasi kebijakan yang melindungi masyarakat yang rentan dari kerusakan lingkungan dan memastikan akses yang adil terhadap sumber daya alam.

Menyadari urgensi krisis ekologi, lembaga dan pemimpin agama semakin terlibat dalam advokasi lingkungan. Ensiklik Paus Fransiskus tahun 2015, Laudato Si’, menyerukan tanggapan moral dan spiritual terhadap perubahan iklim, dengan menekankan perlunya “ekologi integral” yang menghormati alam dan martabat manusia.

Demikian pula, deklarasi Islam tentang perubahan iklim telah mendesak umat Islam untuk menerapkan praktik berkelanjutan dan mengurangi jejak karbon. Gerakan lintas agama juga muncul untuk mengatasi masalah lingkungan. Gerakan Green Faith, misalnya, menyatukan komunitas agama di seluruh dunia untuk mempromosikan sustainabilitas, energi terbarukan, dan keadilan iklim.

Antroposen menghadirkan salah satu tantangan terbesar yang pernah dihadapi manusia, yang membutuhkan pendekatan holistik yang memadukan sains, kebijakan, dan nilai-nilai etika. Agama, dengan sumber daya moral dan spiritualnya yang mendalam, memiliki peran penting dalam membentuk sikap terhadap lingkungan.

Dengan menekankan pengelolaan, kesakralan alam, kesederhanaan, dan keadilan sosial, ajaran agama dapat menginspirasi individu dan komunitas untuk mengambil tindakan yang berarti dalam mengatasi krisis ekologi. Saat manusia berada di persimpangan jalan, kolaborasi antara tradisi agama dan upaya lingkungan dapat memberikan harapan dan arahan yang dibutuhkan untuk memulihkan keseimbangan planet kita.

Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com