Doa dan Algoritma: Apakah Tuhan Memiliki Lini Masa?

Di zaman ketika setiap pesan diberi cap waktu, setiap pikiran diunggah, dan setiap keinginan dapat disampaikan dengan sekali klik, wajar saja untuk bertanya-tanya: bagaimana doa kita sesuai dengan logika algoritmik kehidupan kita sekarang? Ketika kita berdoa, apakah kita mengirim pesan ke kotak masuk ilahi? Dan jika demikian, apakah Tuhan menjawab secara langsung, atau apakah Dia bekerja pada lini masa (timeline) yang sangat berbeda?

Semua itu bukan pertanyaan aneh. Pertanyaan-pertanyaan tersebut justru menyentuh inti ketegangan mendalam antara dunia spiritual dan dunia digital. Di dunia digital, menunggu dianggap tidak efisien. Namun, di dunia spiritual, menunggu, yaitu bersabar, sering kali menjadi tempat terjadinya transformasi diri.

Budaya Instan vs. Teologi Kepercayaan

Kita hidup dalam apa yang disebut sosiolog sebagai “budaya instan” (culture of immediacy). Jika halaman web membutuhkan waktu lebih dari tiga detik untuk dimuat, kita merasa kesal. Jika seseorang tidak membalas pesan WhatsApp kita dalam waktu satu jam, kita mulai bertanya-tanya apakah ia mengabaikan kita.

Segala hal mulai dari berbelanja hingga mencari teman kencan telah direduksi menjadi masalah swipe, scroll, dan send. Efisiensi yang sangat intens semacam itu merekayasa ekspektasi kita, bukan hanya terhadap teknologi, tetapi juga realitas itu sendiri, termasuk ekspektasi kita terhadap Tuhan.

“Saya berdoa tadi malam,” seorang teman pernah berkata, “tetapi tidak terjadi apa-apa.” Asumsi tersiratnya jelas: seperti sebuah tweet, doa seharusnya memicu reaksi langsung. Jika kita tidak melihat hasilnya, kita mulai merasa bahwa mungkin doa itu “tak terjawab”, seolah-olah Tuhan lamban, atau lebih buruk lagi, mengabaikan kita.

Namun, pemikiran Islam tradisional menawarkan pandangan yang sangat berbeda tentang waktu dan respons. Nabi Muhammad (berkata, “Doamu selalu terjawab, selama kamu tidak tergesa-gesa.” Dengan kata lain, dorongan untuk melihat hasil langsung dapat menghalangi kedalaman doa itu sendiri.

Doa Bukanlah Kueri Penelusuran

Di era Google, kita dilatih untuk bertanya dan mengharapkan pengetahuan langsung. Ketik pertanyaan, dan mesin akan memprediksi apa yang kita cari bahkan sebelum kita selesai mengetik. Mudah untuk berasumsi bahwa doa pasti bekerja dengan cara yang sama.

Namun, doa bukanlah input algoritmik. Doa bukanlah pertanyaan yang dikirim ke cloud yang menghasilkan jawaban yang rapi. Doa, pada hakikatnya, adalah sebuah hubungan, sebuah pengakuan akan kerentanan kita, kebutuhan kita, dan hubungan kita dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.

Para ulama Islam telah lama menekankan bahwa doa bukan sekadar permintaan, tetapi tindakan ubudiyyah, menjadi seorang hamba. Doa memusatkan kembali diri dari kendali dan menuju penyerahan diri. Tidak seperti algoritma, yang mengoptimalkan hasil, doa memurnikan niat.

Tuhan bukanlah mesin pencari kosmik. Dia tidak terikat oleh waktu, atau berkewajiban untuk mengikuti preferensi jadwal kita. Al-Qur’an mengingatkan kita, “Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Baqarah [2]: 74). Namun, kesadaran-Nya tidak berarti kepuasan instan. Itu berarti kehadiran, kebijaksanaan, dan belas kasihan dalam skala yang tidak dapat kita hitung.

Lebih jauh, ada pepatah Sufi kuno: “Terkadang Dia menunda ijabah, agar Anda tidak lupa mengetuk.” Ini bukan kekejaman, tetapi pedagogi. Dalam penantian, kita dibentuk. Dalam kerinduan, kita terbangun.

Doa yang tertunda bukanlah doa yang ditolak. Itu mungkin undangan untuk menyempurnakan pemahaman kita tentang apa yang benar-benar kita cari. Mungkin kita meminta kemudahan, tetapi yang kita butuhkan adalah kekuatan. Kita meminta hasil tertentu, tetapi yang diberikan kepada kita adalah pertumbuhan yang tidak terduga. Dalam pengertian ini, timeline atau lini masa Tuhan tidaklah linier, melainkan sangat relasional.

Ada juga keindahan dalam ketidaktahuan. Algoritma dibuat untuk memprediksi; ia beroperasi dalam pola. Akan tetapi, iman mengundang kita ke dalam ruang kepercayaan total, di mana kita tidak mengendalikan variabel, tetapi kita percaya kepada Dia yang maha mengendalikan.

Data vs. Doa

Jika data adalah tentang pola, doa adalah tentang kehadiran. Algoritma beroperasi pada akumulasi: suka, klik, metrik. Sebaliknya, doa adalah tentang esensi. Doa melepaskan ilusi kita tentang kendali, kesibukan, dan kemandirian. Doa membuka ruang yang tenang di hati, yang tidak dapat dijangkau oleh layar apa pun.

Tentu saja, kita mungkin masih bertanya-tanya: Jika Tuhan sudah tahu apa yang saya butuhkan, mengapa berdoa? Respons klasiknya adalah bahwa doa bukan untuk memberi tahu Tuhan, melainkan untuk mengubah kita. Doa bukan tentang mengubah pikiran Tuhan, tetapi menyelaraskan hati kita dengan kehendak-Nya.

Dengan cara ini, doa bersifat kontra-budaya. Doa membawa kita memberontak terhadap tirani kecepatan dan menolak kecanduan pada hasil. Selain itu, doa mengajarkan kita untuk bersabar di dunia yang terobsesi dengan feedback instan.

Jadi, apakah Tuhan memiliki lini masa? Tidak seperti kita. Kebijaksanaan-Nya melampaui waktu linier, tetapi Dia lebih dekat daripada urat nadi kita. Di antara doa kita dan respons terhadap doa tersebut, terdapat dunia misteri, belas kasihan, dan makna.

Mungkin pertanyaan sebenarnya bukanlah apakah Tuhan memiliki lini masa, tetapi apakah kita bersedia untuk melangkah keluar dari lini masa kita, untuk memasuki ritme yang dibentuk bukan oleh urgensi, tetapi oleh iman. Di ruang yang tenang itu, antara algoritma dan amin, kita mungkin menemukan bukan hanya jawaban, tetapi juga kehadiran yang sarat makna. Dan mungkin, itulah mukjizat doa yang sesungguhnya.

0

Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.blogspot.com

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.