Talal Asad, seorang antropolog terkemuka, menawarkan pemikiran ulang yang kritis tentang Islam melalui konsepnya tentang “tradisi diskursif”. Istilah ini, yang diusulkan dalam esai seminalnya “The Idea of an Anthropology of Islam”, secara signifikan mengubah cara para sarjanawan mendekati studi Islam, yaitu menjauh dari pandangan esensialis yang mereduksi Islam menjadi entitas monolitik atau statis.
Asad, sebaliknya, berpendapat untuk memahami Islam sebagai tradisi yang dinamis, berkembang, serta tertanam dalam konteks sejarah dan budaya. Esai Asad itu bertujuan untuk mengungkap konsep Islam sebagai tradisi diskursif, mengeksplorasi komponen-komponen utamanya dan implikasinya bagi studi Islam.
Islam sebagai Tradisi
Inti dari gagasan Asad adalah Islam sebagai tradisi. Namun, tradisi di sini bukan sekadar seperangkat adat istiadat atau ritual yang diwariskan secara mekanis dari generasi ke generasi. Bagi Asad, tradisi mencakup proses kontinuitas dan perubahan yang koheren dan sadar diri, yang dibentuk oleh kontingensi historis. Ini adalah proses hidup di mana ide, praktik, dan norma terus-menerus ditafsirkan, diperdebatkan, dan diartikulasikan ulang dalam kaitannya dengan otoritas masa lalu.
Tradisi Islam, dalam pengertian ini, mencakup sekumpulan teks, praktik, dan norma yang telah berkembang sejak zaman Nabi Muhammad. Elemen-elemen tradisi ini tidak statis atau sekadar diwariskan, melainkan justru tunduk pada refleksi dan interpretasi ulang yang berkelanjutan oleh para sarjana, otoritas agama, dan praktisi sehari-hari.
Gagasan tentang diskursivitas dalam tradisi menunjukkan peran aktif agen manusia dalam memproduksi dan menjaga tradisi melalui interpretasi, kontestasi, dan praktik. Ciri utama dari tradisi diskursif adalah hubungannya dengan otoritas. Dalam tradisi Islam, otoritas sering kali berasal dari teks-teks dasar seperti Al-Qur’an dan hadis, serta interpretasi dan ijtihad para ulama sepanjang sejarah.
Namun, otoritas ini tidak hanya dipaksakan dari atas, melainkan tradisi tersebut dipertahankan dan dinegosiasikan melalui praktik-praktik diskursif, seperti penalaran hukum (ijtihad), penafsiran, dan perdebatan teologis (kalam). Asad berpendapat bahwa tradisi diskursif berpusaran di sekitar pertanyaan tentang apa artinya menjadi seorang muslim yang taat, dan pertanyaan ini terus-menerus dibahas melalui keterlibatan dengan otoritas masa lalu.
Penting dicatat, proses semacam itu tidaklah pasif. Para cendekiawan, ahli hukum, dan pemimpin agama terlibat dalam ijtihad, menafsirkan teks dan putusan masa lalu untuk menerapkannya pada isu-isu kontemporer. Oleh karena itu, peran otoritas hanyalah membimbing, bukan sepenuhnya memperbaiki tradisi tersebut.
Tradisi tersebut tetap terbuka untuk diperdebatkan dan dirumuskan ulang, tetapi pertentangan ini terjadi dalam batasan-batasan tertentu yang ditetapkan oleh interpretasi masa lalu dan pemahaman masyarakat tentang apa yang merupakan Islam yang tepat.
Peran Kekuasaan dan Politik
Bagi Asad, Islam sebagai tradisi diskursif juga terkait erat dengan pertanyaan tentang kekuasaan dan politik. Tradisi diskursif tidaklah netral. Tradisi tersebut melekat dengan hubungan kekuasaan tertentu yang memengaruhi bagaimana ide dan praktik Islam dibentuk dan dipertahankan. Artinya, produksi pengetahuan agama sering dikaitkan dengan struktur politik, baik itu kekhalifahan, kekaisaran, atau negara-bangsa modern.
Tradisi Islam telah menjadi sasaran berbagai bentuk kontrol negara, intervensi kolonial, dan gerakan reformis, yang semuanya telah memengaruhi bagaimana tradisi tersebut ditafsirkan dan diterapkan. Misalnya, selama pemerintahan kolonial, Barat sering kali berusaha membentuk kembali lembaga dan praktik Islam agar sesuai dengan tujuan politik dan administratif mereka.
Restrukturisasi sistem pengetahuan Islam semacam ini memengaruhi otoritas ulama dan terkadang menyebabkan marginalisasi bentuk pengetahuan tradisional demi bentuk yang lebih modern dan disetujui negara.
Konteks politik juga memengaruhi elemen diskursif Islam di era modern. Misalnya, Asad mencatat bagaimana gerakan reformis Islam—seperti yang diprakarsai oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Ikhwanul Muslimin—telah terlibat dengan warisan kolonial dan ideologi modernis untuk merumuskan kembali konsep-konsep Islam.
Gerakan-gerakan ini sering kali mengacu pada teks-teks dasar, tetapi menafsirkannya kembali dengan cara responsif terhadap kondisi dan tantangan modern, seperti nasionalisme, sekularisme, atau kapitalisme global.
Aspek penting dari tilikan Asad adalah penekanannya pada praktik dalam tradisi diskursif Islam. Ia mengguncang pemahaman bahwa Islam dapat dipahami hanya melalui teks atau doktrin teologisnya belaka. Sebaliknya, ia menekankan bahwa tradisi Islam terwujud dalam praktik sehari-hari umat Islam yang sifatnya negosiatif. Praktik-praktik ini bukan sekadar iterasi mekanis ritual keagamaan, tetapi diresapi dengan makna dan tunduk pada interpretasi.
Praktik seperti salat, puasa, haji, dan perilaku etis merupakan hal yang penting dalam cara umat Islam menjalankan tradisi. Namun, praktik-praktik ini tidak seragam di seluruh dunia Islam. Praktik-praktik tersebut justru bervariasi menurut konteks sejarah dan budaya. Dalam hal ini, Asad menyoroti bagaimana adat istiadat setempat, struktur sosial, dan peristiwa sejarah memengaruhi cara norma dan nilai Islam ditafsirkan dan dijalani.
Melalui penekanan pada praktik ini, Asad juga mengkritik dikotomi antara “ortodoksi” dan “ortopraksi” yang sering ditemukan dalam catatan-catatan Barat tentang Islam. Sementara banyak sarjana membedakan antara “keyakinan yang benar” (ortodoksi) dan “praktik yang benar” (ortopraksi), Asad berpendapat bahwa pembagian seperti itu terlalu menyimplifikasi hakikat tradisi Islam.
Dalam praktik, baik keyakinan maupun praktik amatlah saling terkait, dan perdebatan tentang perilaku yang tepat sering kali melibatkan pertanyaan-pertanyaan rumit tentang keyakinan, interpretasi, dan otoritas.
Konsep Asad tentang Islam sebagai tradisi diskursif memiliki implikasi yang berpengaruh bagi studi Islam. Ia menggoyang penggambaran Islam yang esensialis dan statis yang sering ditemukan dalam wacana akademis Barat. Alih-alih memperlakukan Islam sebagai seperangkat kepercayaan dan praktik yang statis, Asad mendorong para sarjanawan untuk mempelajari bagaimana norma dan nilai Islam diproduksi, dikontestasikan, dinegosiasi, dan dijalani dalam konteks sejarah dan budaya tertentu.
Lebih jauh, kerangka kerja Asad mengundang para sarjawanan untuk mempertimbangkan bagaimana kekuasaan dan politik membentuk produksi pengetahuan Islam dan otoritas tokoh agama. Tradisi diskursif tidak kebal dari pengaruh eksternal, dan bagaimana teks-teks Islam ditafsirkan dan diterapkan acap kali mencerminkan kekuatan sosial, politik, dan ekonomi yang lebih luas.
Akhirnya, dengan menekankan peran praktik, Asad mengalihkan perhatian dari analisis tekstual sebagai satu-satunya cara untuk memahami Islam. Ia melecut para cendekiawan untuk mengeksplorasi bagaimana umat Islam mengejawantahkan dan menjalankan tradisi mereka melalui tindakan dan ritual sehari-hari, dengan memperhatikan keragaman dan kompleksitas praktik Islam di berbagai masyarakat yang heterogen.