Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com

Keutamaan Praktik Kesabaran di Era Media Sosial

3 min read

Di era media sosial, ketika informasi menyebar dan menyerbu dengan kecepatan cahaya dan rentang kewaspadaan pengguna tampak menyusut setiap menitnya, praktik kesabaran menjadi semakin langka. Sekarang adalah dunia di mana tulisan status WhatsApp harus diringkas menjadi 700 karakter (100-200 kata).

Kini, kita hidup dan menjalani hari di dunia yang di dalamnya bertebaran tombol suka (like), sharing secara instan berfungsi sebagai citra diri, dan skroling (scrolling) tanpa henti membuat kita ketagihan dopamin. Dalam dunia yang berhilir mudik serba cepat, praktik kesabaran sering kali dikesampingkan, padahal kesabaran di era media sosial menjadi lebih penting dari sebelumnya.

Platform-platform media sosial secara tak sengaja dirancang untuk membuat ketagihan, terus-menerus memikat kita dengan pemberitahuan dan postingan baru. Rancangan semacam ini dapat menimbulkan perasaan terdesak dan gelisah, membuat kesabaran terasa seperti sebuah kebajikan kuno yang telah usang.

Orang-orang, di zaman ketika perangkat lemot terasa menjemukan dan dihindari, sering kali terburu-buru saat menggunakan media sosial, mencari kepuasan instan melalui like, komentar, dan sharing. Tekanan untuk terus mengikuti pesatnya kehidupan daring bisa sangat dahsyat, dan ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan kondisi sosial masyarakat kita.

Dalam masyarakat yang terobsesi dengan hasil instan, ketidaksabaran bisa menimbulkan konsekuensi yang parah. Salah satu masalah yang paling mencolok adalah penyebaran misinformasi dan kabar bohong atau hoaks. Platform media sosial telah terkendala oleh cepatnya penyebaran informasi palsu, tanpa pengecekan fakta, sebab tak ada kurator yang mengkurasinya.

Saat kita terburu-buru membagikan berita terbaru atau konten viral, kita mungkin secara tidak sengaja berkontribusi pada penyebaran rumor, berita palsu, dan narasi yang memecah belah—terutama sekarang saat semakin mendekati tahun politik. Sebaliknya, kesabaran mendorong kita untuk berhenti sejenak, merenung, dan mengecek akurasi informasi yang kita temukan sebelum membagikan atau berkomentar.

Baca Juga  Uji Level Paham Keislaman Ustaz Dadakan, Perlukah?

Sebaliknya, ketidaksabaran dapat berisiko negatif pada relasi kita. Jika kita dengan gegabah menanggapi postingan atau komentar, kesalahpahaman dapat muncul, dan respons yang tergesa-gesa dapat menyebabkan konflik relasional yang sia-sia dan bahkan caci maki satu sama lain.

Di media sosial, di mana opini direpresentasikan dalam kalimat-kalimat pintas, ringkas, dan pangkas, meluangkan waktu sejenak dengan sabar untuk menyusun tanggapan yang bijaksana dan terukur dapat membuat perbedaan besar dalam menjaga interaksi yang sehat dan konstruktif.

Penting dicatat bahwa tekanan terus-menerus untuk mengikuti perkembangan media sosial yang serba cepat juga dapat berdampak buruk pada kesehatan mental kita. Sistem interaksi di media sosial, tempat kita mendapat like dan komentar di postingan kita—dan bahkan dapat melihat siapa saja yang telah melihat instastory kita—dapat menyebabkan perilaku adiktif terhadap validasi eksternal.

Hal tersebut, tak dapat dielak, bisa mengakibatkan perasaan hampa ketika postingan kita tidak mendapatkan respons yang diharapkan atau tidak banyak dilihat banyak orang. Sehingga, melatih kesabaran dapat mengurangi dampak negatif ini. Dengan menahan keinginan untuk terus-menerus memeriksa siapa yang telah melihat instastory atau status WhatsApp kita, kita bisa kembali mengendalikan kehidupan daring kita.

Beristirahat dari media sosial dan membiarkan diri kita terputus dari lingkungan daring dapat meningkatkan kewaspadaan dan mengurangi stres. Kesabaran mendorong kita untuk berfokus pada kualitas interaksi kita dibandingkan kuantitasnya sehingga terbangunlah hubungan yang lebih dalam dan bermakna dengan orang lain.

Salah satu manfaat paling signifikan dari melatih kesabaran di era media sosial adalah sikap keterlibatan kita yang bijaksana. Daripada terus-menerus menelusuri berita terbaru dan viral belaka berdasarkan Fear of Missing Out (FOMO), yakni takut ketinggalan laju cepat berita dan peristiwa viral, kita dapat menggunakan media sosial sebagai alat untuk komunikasi yang bermakna dan mendapatkan perubahan positif.

Baca Juga  Metafisika al-Farabi dan Teori Emanasi

Meluangkan waktu untuk membaca dan memahami sudut pandang orang lain, kendati sudut pandang tersebut berbeda dengan sudut pandang kita, dapat menghasilkan diskusi yang lebih berempati dan konstruktif. Kesabaran juga memampukan kita untuk menolak godaan cancel culture dan mentalitas massa daring.

Daripada langsung mengambil kesimpulan atau ikut serta dalam kemarahan daring, kita bisa mengambil langkah mundur, mempertimbangkan berbagai perspektif, dan hanya terlibat dalam diskusi yang informatif dan positif. Langkah ini kemudian dapat menumbuhkan komunitas daring yang lebih inklusif dan toleran, yang menghormati perbedaan dan menekankan dialog ketimbang debat kusir dan caci maki.

Penting untuk dicatat bahwa menganjurkan kesabaran di era media sosial tidak berarti menolak teknologi atau sepenuhnya memutuskan hubungan dengan dunia daring. Kuncinya adalah menyadari bahaya ketergesa-gesaan dalam bermedia sosial sehingga di sini kesabaran mesti memainkan peran utamanya.

Selain itu, kita dapat memprioritaskan kualitas bermedia sosial daripada kuantitasnya belaka, dengan fokus pada upaya membangun hubungan yang tulus dan berkontribusi melalui percakapan yang bermakna. Selain praktik pribadi, mempromosikan literasi digital juga penting di era media sosial. Literasi digital dan perilaku daring yang bertanggung jawab sangat krusial dalam mendorong komunitas daring yang sehat.

Mendidik individu mengenai pentingnya berpikir kritis, memeriksa fakta, dan berbagi secara bertanggung jawab dapat memberdayakan khalayak umum untuk menggunakan media sosial sebagai tempat bersirkulasinya pengetahuan dan kebaikan. Platform media sosial sendiri juga memikul tanggung jawab untuk terlibat, seperti fitur pengingat untuk memeriksa fakta sebelum berbagi, mekanisme mengurangi penyebaran informasi palsu, dan alat pengatur waktu pemakaian platform.

Di dunia di mana serbuan media sosial sering kali menutupi urgensi kesabaran, kita didorong untuk menyadari kembali pentingnya melatih kesabaran di era masyarakat daring. Ketidaksabaran dapat menimbulkan misinformasi, merusak hubungan, dan membahayakan kesehatan mental kita. Di sisi lain, kesabaran mendorong kita untuk lebih jeli, melakukan verifikasi, tidak tersulut mentalitas massa daring, dan meningkatkan kualitas interaksi bermedsos kita.

Baca Juga  Andai Mereka Lebih Mengenal Dorce Gamalama

Pada akhirnya, harus diakui bahwa di era ponsel pintar dan jaringan internet yang semakin cepat, kesabaran bukanlah artefak kuno yang tak relevan, melainkan ia kini tampak seperti kebajikan abadi yang dapat melindungi kita dalam menghadapi tantangan zaman di era daring.

Dengan bersabar, kita dapat memanfaatkan keberadaan platform-platform media sosial untuk terhubung, belajar, dan berkembang sembari memastikan bahwa interaksi daring kita memberikan kontribusi positif terhadap kehidupan kita secara personal dan masyarakat secara komunal.

Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com