Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Memutus Mata Rantai Radikalisasi dan Menumbuhkan Deradikalisasi

2 min read

Judul Buku      : Radikalisasi dan Deradikalisasi Pemahaman Islam
Penulis              : Imam Mustifa dan Nurul Mahmudah
Penerbit            : Idea Press
Tahun  Terbit   : 2019
Tebal                : xii + 198 hal.
ISBN                 : 978-623-7085-38-6

Perbincangan terkait dengan radikalisme dan berbagai macam bentuk kekerasan tidak serta merta berangkat dari faktor ideologis keagamaan, melainkan banyak perangkat yang berkontribusi. Di luar faktor ideologis ada faktor dislokasi dan deprivasi sosiologis, represi dan merginalisasi politik, kesenjangan ekonomi dan faktor ketimpangan struktural lain.

Buku ini memotret realitas radikalisme dan program deradikalisasi yang lahir dari gerakan lembaga pendidikan Islam dan pesantren. Sebagai lembaga pendidikan Islam, tentu pesantren diharapkan mampu memberikan sumbangsih pada problem–problem radikalisme yang marak akhir-akhir ini. Bahkan, penting dilakukan upaya menjinakkan teks-teks keagamaan yang cenderung lebih dekat pada ideologi radikalisme perlu dilakukan oleh aktor-aktor yang mempunyai legitimasi radikalisme dan otoritas keagamaan seperti sosok kiai, ustaz dan ulama.

Dalam buku Like Parchment in the Fire: Literature and Radicalism in the English Civil War radical karya Prasanta Chakravarty, radikalisme berasal dari bahasa Latin yaitu Radix artinya memiliki hubungan dengan akar (pertaining to the roots). Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaknai radikal sebagai “secara mendasar, maju dalam berpikir atau bertindak”. Seseorang bisa dikatakan radikal bila mana ingin sebuah perubahan terhadap situasi yang ada dengan menjebol sampai keakar-akarnya.

Alwi Shihab, misal, dalam buku Islam Inklusif menegaskan bahwa radikalisme secara popular menunjukkan ekstrimisme politik dalam aneka ragam bentuknya, atau usaha-usaha mengubah orde sosial secara drastis dan ekstrim. Pada dasarnya agama sebagai sarana untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia. Di sini lain, agama tidak berada di ruang kosong. Agama bagi pemeluknya adalah media ekspresi, tumbuh-berkembangnya keyakinan dan pemahaman atas nilai-nilai yang lambat laun dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga  Rumah Yang Dirindukan

Tiga ciri paham radikalisme yaitu: pertama, respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung dan muncul dalam bentuk evaluasi penolakan atau bahkan perlawanan. Di sini, problem yang ditolak berhubungan dengan asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dapat dipandang bertanggung jawab terhadap kondisi yang ditolak. Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan-tatanan tesebut dengan bentuk tatanan baru. Ketiga, adanya suatu keyakinan kuat pada kebenaran yang mereka miliki (6-7).

Radikalisme agama ialah pandangan atau tindakan yang mengadvokasi ideologi dengan cara ekstrim atau kekerasan. Lebih jauh, Islam radikal merujukan pada kelompok atau aliran keras dalam menuntut penegakan syariat dengan jalan yang dianggap sebagai jihad (hlm. 36). Seseorang bisa dikatakan berpaham radikal bilamana pemahaman agama ditafsiri secara instan dan menggunakan cara padang “selain Islam kelompok mereka adalah musuh”, padahal setiap agama memiliki keyakinan berbeda dan agama tidak pernah mengajari permusuhan dengan menolak perbedaan.

Adanya gerakan-gerakan radikal tentu bukan sesuatu yang menguntungkan bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Perlu sebuah mediasi dan obat penawar dari gerakan radikal. Pencegahan radikalisme merupakan tantangan yang kompleks dan memerlukan berbagai pendekatan. Salah satunya adalah deradikalisasi sebagai langkah awal untuk memerangi radikalisme. Deradikalisasi sendiri dipahami sebagai ruang perubahan pola dalam penanganan terorisme akhir-akhir ini (hlm. 63).

Di antara tokoh Muslim yang memiliki perhatian khusus pada persoalan rasikalisasi adalah Yusuf Qardhawi, sebagai ulama kontemporer, ia menawarkan beberapa langkah untuk memutus mata rantai radikalisme yaitu: Pertama, mengembangkan dialog agama bersama yang demokratis. Kedua, tidak melakukan derakalisasi secara ekstrim. Ketiga, memperlakukan kaum radikalis secara manusia dilandasi dengan nilai-nilai persaudaraan. Keempat, mengembangkan sikap empatik dan keterbukaan. Kelima, tidak saling mengkafirkan, dan terkahir memahami ajaran agama secara komprehensif dan tidak parsial (hlm. 75).

Baca Juga  Cara Isolasi Mandiri Di Rumah

Tawaran di atas menjadi rujukan untuk membasmi gerakan radikalisme. Agama perlu dihadrikan dalam ranah yang menguntungkan kemanusiaan. Dalam artian bahwa ekspresi keberagamaan dijadikan bahan untuk membumikan nilai-nilai agama yang rahmah pada semua ciptaan Tuhan di semesta ini. Ketika radikalisme bersarang dalam kehidupan kita, sekali lagi jangan tergesa-gesa menilai bahwa hal itu disebabkan oleh pemahaman tunggal terkait dengan aspek agama saja, melainkan aspek sosiologis juga dipertimbangkan. Saatnya menutup keran radikalisme untuk menyongsong kehidupan yang tentram dan damai.

Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta