Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com

Melampaui Layar Ponsel Pintar: Menyelami Moralitas dan Kemanusiaan di Media Sosial

2 min read

media sosial

Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan kita, membentuk cara kita berkomunikasi, berbagi informasi, dan membangun koneksi. Di era di mana media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan kita, interaksi digital membawa pengaruh besar terhadap kehidupan sosial kita.

Media sosial Twitter, Facebook, Instagram, dan sejenisnya memberi kita ruang untuk mengekspresikan diri, untuk terhubung dengan orang lain, dan untuk berpartisipasi dalam interaksi daring yang mahaluas.

Dengan kemampuan untuk menjangkau jutaan orang dalam sekejap, kehadiran daring kita tentunya selalu disertai dengan tanggung jawab moral. Bertindak secara moral di media sosial melibatkan kesadaran terhadap dampak kata-kata dan tindakan kita terhadap individu dan masyarakat secara keseluruhan.

Dalam interaksi kita di media sosial, sering kali kita luput untuk memahami bahwa lawan dialog kita bukanlah nama pengguna disertai foto profil belaka. Penting sekali untuk menyadari dan mengakui sisi kemanusiaan di balik setiap nama pengguna dan foto profil. Melampaui piksel dan teks di layar kita, mereka ialah orang-orang nyata dengan emosi, pengalaman, dan perspektif beragam.

Maka, melakukan interaksi digital dan pergumulan di dalam media sosial dengan pengakuan terhadap individualitas setiap pengguna akan menumbuhkan rasa kemanusiaan bersama, meletakkan dasar bagi keterlibatan yang bermakna dan saling menghormati.

Dunia digital adalah mosaik opini, ideologi, dan pengalaman emosional yang sangat berwarna. Bertindak secara moral di media sosial berarti menerima kompleksitas yang melekat dalam percakapan daring. Acap kali kita membatasi diskusi pada hal-hal yang terlalu disederhanakan atau mengabaikan sudut pandang alternatif. Kita tak mampu menjaga lingkungan di mana beragam perspektif dapat berdampingan.

Oleh sebab itu, empati harus sudah menjadi landasan perilaku moral di dunia digital sejak kita pertama kali memegang ponsel pintar kita. Saat kita mengetik, seyogianya kita berusaha memahami emosi, maksud, dan konteks yang membentuk kata-kata di layar ponsel pintar kita.

Baca Juga  Tanggung Jawab Sebagai Manusia Merdeka

Sebelum memposting atau terlibat dalam perang komentar, sebaiknya kita bisa mempertimbangkan potensi dampaknya terhadap orang lain. Tanyakan pada diri kita sendiri: Bagaimana kata-kata saya akan dipahami? Apakah komentar saya akan memberi kontribusi positif terhadap percakapan atau malah berpotensi menyakiti seseorang?

Empati lebih dari sekadar persetujuan. Ia mengundang kita untuk mau menilik perasaan dan pengalaman orang lain, membangun hubungan yang melampaui batasan media digital. Dengan empati, interaksi daring menjadi bijaksana, toleran, dan tentunya saling menghormati.

Dalam interaksi di media sosial yang serba cepat, kita seringnya mudah menyerah pada reaksi impulsif. Hal itu perlu dihindari. Sebelum menanggapi postingan atau komentar, kita mesti luangkan waktu sejenak untuk merenungkan nada dan isi pesan, menghindari reaksi spontan yang dipicu oleh kemarahan atau frustrasi.

Sebaliknya, memilih kata-kata dengan hati dan hati-hati, dengan fokus pada dialog yang konstruktif dan penuh rasa hormat menjadi imperatif moral kita. Sehingga, komunikasi yang penuh perhatian dapat membantu membangun budaya pengertian dan dialogis.

Dalam lautan kehidupan di media sosial, setiap postingan, komentar, dan sharing amatlah berdampak bagi orang lain, tak dapat dielak. Bertindak secara moral berarti siap memikul tanggung jawab moral mengenainya.

Kita tak bisa memaksakan satu narasi kepada orang lain atau menganggap pernyataan dan pengalaman mereka tidak valid. Sebaliknya, kita mesti merayakan banyaknya suara dan kekayaan pandangan, dan kita akui keindahan perbedaan kolektif kita di dalamnya.

Penting dicatat bahwa bertindak secara moral melibatkan komitmen terhadap kebenaran. Sebelum membagikan berita atau informasi, kita harus meluangkan waktu untuk memeriksa fakta dan memverifikasi keasliannya.

Fakta bahwa konten yang menyesatkan dapat berkontribusi pada penyebaran rumor dan hoaks, dan itu merugikan individu dan masyarakat. Dengan bersikap waspada dan bertanggung jawab dalam berbagi informasi, kita telah mengejawantahkan tanggung jawab kita pada ruang digital yang lebih terinformasi dan beretika.

Baca Juga  Meninjau Ulang Akhlaq Saat Memasuki New Normal

Sama seperti kita bertanggung jawab atas tindakan kita di dunia fisik, interaksi digital kita juga mempunyai bobot yang sama. Bertindak secara moral di media sosial berarti merangkul rasa tanggung jawab atas dampak perkataan dan tindakan kita.

Dengan demikian, kita mesti mewaspadai potensi konsekuensi dari apa yang kita bagikan. Sehingga, kita fokuskan apa yang kita bagikan agar berkontribusi pada wacana positif dan secara aktif berupaya menyebarkan lingkungan daring yang mendorong kesalingpahaman daripada perselisihan dan perolokan.

Di dunia di mana bunyi notifikasi bersaing untuk mendapatkan atensi kita, cukup krusial untuk mempertimbangkan dampak kehadiran digital kita terhadap kesejahteraan orang lain. Kita mesti menyadari bahwa hubungan setiap orang dengan media sosialnya itu unik, dan apa yang mungkin dianggap sepele bagi seseorang bisa menjadi sumber kecemasan bagi orang lain.

Saat kita berinteraksi dengan jari kita di media sosial, pengakuan akan kemanusiaan di balik setiap layar ponsel pintarnya, penerimaan narasi yang beragam, dan pengedepanan empati membentuk pilar-pilar perilaku moral kita. Saat kita mengetik, mengeklik, dan membalas komentar orang lain secara daring, marilah kita sadar akan dampak semuanya agar dapat bersumbangsih membentuk dunia maya yang lebih baik, lebih indah, dan lebih etis.

Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com