Judul: Sains “Religius”, Agama “Saintifik”: Dua Jalan Mencari Kebenaran
Penulis: Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla
Penerbit: Mizan
Cetakan: Cetakan 1, Agustus 2020
Tebal: 172 Halaman
Akhir-akhir ini polemik tentang sains, filsafat, dan agama sempat menyeruak dan menggelinding panjang. Hal itu tidak hanya terjadi melalui diskusi dalam bentuk tulisan-tulisan, tetapi juga melalui banyaknya webinar di masa pandemi Covid-19 yang menyinggung persoalan signifikansi sains (kedokteran), terutama kaitannya dalam menangani masalah pandemi.
Bisa dikatakan bahwa buku kecil ini, Sains “Religius”, Agama “Saintifik: Dua Jalan Mencari Kebenaran, yang oleh kedua penulis disebut sebagai “buku kudapan”, merupakan suatu respons dan refleksi atas sikap pongah dan bigotri (kefanatikan) mereka yang—di dalam salah satu acara webinar yang diisi oleh Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla—terlalu mengagung-agungkan sains sembari memperolok agama (halaman 18-21).
Sampai di sini akhirnya kita dapat menyadari bahwa sebenarnya sikap fanatisme dan radikalisme tidak hanya bisa muncul dari kubu agama saja, melainkan juga bisa lahir dari rahim sains—yang selama ini kita kira di dalamnya hanya ada orang-orang berwawasan saintifik dan terbuka.
Fanatisme tentu merupakan sebuah sikap pongah dan jauh dari sikap bijak dan terbuka. Untuk mewanti-wanti hal itulah isi dari buku ini berfungsi. Sebagaimana anak judul dari buku ini, Dua Jalan Mencari Kebenaran, kedua penulis dengan getol, terutama Haidar Bagir, menyodorkan gagasan bahwa sebenarnya baik agama maupun sains sama-sama sebuah jalan yang dapat mengantarkan seseorang kepada “kebenaran”.
Sains dan Kebenaran
Bagi para saintis, realitas merupakan suatu penampakan “kebenaran”. Untuk mendapatkan atau menemukannya, para saintis memiliki metodenya. Setidaknya ada dua aliran penting yang mempromosikan diri sebagai metode untuk mendapatkan kebenaran, yaitu rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme meyakini bahwa nalar merupakan sumber pengetahuan sekaligus alat yang menguji kesahihan pengetahuan. Sedangkan empirisme meyakini bahwa pengalaman indriawi merupakan alat memperoleh pengetahuan dengan berbasis pada observasi.
Dalam hal ini, tidak jarang satu aliran mengunggulkan diri ketimbang aliran lain. Kendati hasil kerja rasio telah dinilai “relatif” karena bergantung pada setiap orang, bukan berarti pengamatan empiris lebih unggul karena dalam observasi-empirisme pun “posisi” pengamat dapat memengaruhi atau menentukan objek yang diamati. Sehingga tak bisa dikatakan bahwa “realitas objektif” per se dapat ditangkap dan dibekuk sebagaimana adanya.
Maka, sebenarnya, sebagaimana diungkapkan Haidar Bagir, sumbangsih sains benar-benar masih kental dengan sifat instrumental-pragmatisnya daripada semata-mata menyuguhkan kebenaran objektif. Artinya bahwa kehadiran sains tidak sekadar berkutat mempersoalkan “kebenaran” semata, melainkan juga menitikberatkan pada hasil dan kebergunaannya bagi peradaban dan keberlanjutan kehidupan manusia, yang saat ini kita sebut sebagai teknologi (halaman 42).
Dalam hal metode penemuan, sains sebenarnya tak bisa menyatakan lebih unggul ketimbang agama atau filsafat. Pengagum sains yang sembari menepuk dada dan menyatakan bahwa agama penuh imanjinasi dan mitos belaka ialah tidak tahu diri. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa temuan-temuan saintifik (context of discovery) juga kadang kala diilhami oleh imajinasi sang saintis, entah imajinasi itu dalam keadaan terjaga atau dalam mimpi.
Beberapa di antara temuan yang didapat melalui imajinasi misalnya penemuan tabel periodik unsur kimia oleh Dmitri Mandeleev, struktur atom oleh Niels Bohr, dan gelombang elektromagnetik oleh Michael Faraday (halaman 48). Dengan demikian, di sini dibedakanlah dua konteks, yaitu context of discovery dan context of justification.
Bagi para teoretikus sains, persoalan penemuan (context of discovery) melalui cara-cara non-sains tidak mengakibatkan temuan tersebut menjadi tidak saintifik. Persoalan justifikasilah (context of justification) yang berperan penting untuk dapat memvalidasi temuan tersebut berdasarkan justifikasi saintifik—koherensi (logis), korespondensi (empiris), dan kegunaan praktis (pragmatis).
Oleh karena itu, tidak dapat disalahkan apabila Abdus Salam, fisikawan yang memenangkan Hadiah Nobel Fisika tahun 1979, mengaku mendapatkan inspirasi temuannya atas teori penyatuan gaya elektromagnetik dan gaya nuklir lemah dari al-Qur’an. Sehingga, dengan mengetahui hal ini, para pengagum sains yang menepuk dada seharusnya menyadari bahwa sains tidak berdiri semata-mata di atas fakta-fakta objektif, melainkan ternyata temuan-temuannya (context of discovery) juga bisa didapat melalui imajinasi dan kitab suci.
Perasaan pongah dan menepuk dada yang dilakukan oleh pengagum sains adalah apa yang disebut oleh Ulil Abshar sebagai “Qutbisme“—sebuah istilah yang diambil dari nama Sayyid Qutb. Hal ini menunjukkan satu ekstrem lain yang berhadap-hadapan dengan ekstrem radikalisme penganut agama (halaman 104).
Jika di dalam Qutbisme agama, para pemeluknya menuding segala sesuatu di luar lingkarannya sebagai sesat, kafir, dan jahiliah; maka di dalam komunitas sains atau termasuk juga para pengagum sains, di dalamnya tidak luput sikap Qutbisme, di saat seseorang telah merasa bahwa satu-satunya alat meraih kebenaran hanyalah sains dan yang di luar sains itu sesat dan jahiliah. Tindakan takfīrīyah dalam lingkaran sains semacam inilah yang disebut Ulil sebagai Qutbisme atau semacam kepongahan saintisme (halaman 104-111).
Agama dan Kebenaran
Kepongahan saintis dan para pemuja sains untuk mengklaim bahwa “kebenaran” hanya bisa diselidiki melalui observasi dan metode-metode saintifik memang tampak menggelikan. Seolah-olah dengan seperti itu, sains menutup seluruh kemungkinan lain terhadap “kebenaran lain” yang belum, atau belum sanggup, ia pahami. Padahal, sifat dasar sains adalah selalu membuka diri untuk mempelajari kebenaran baru yang muncul. Naasnya, ketika berhadapan dengan agama, para saintis Qutbisme dan pemuja sains yang pongah tiba-tiba memperolok “kebenaran” yang ada di dalam agama.
Seperti diungkapkan Haidar Bagir, dengan menyadur pemikiran Ludwig Wittgenstein, bahwa setiap bidang atau pemikiran masing-masing memiliki language game (permainan bahasa) yang khas. Hal ini berlaku bahkan sampai pada lingkup antarmazhab di dalam agama, apalagi antara sains dengan agama. Metodologi atau apa pun aspek pemahaman tertentu, baik itu filsafat, sains, maupun agama juga berkait kelindan dengan language game ini.
Setiap language game dari bidang pemahaman atau aliran tertentu memiliki aturan mainnya sendiri (rule of the game). Sehingga, seseorang dari komunitas sains atau dengan metode saintifik tak bisa tiba-tiba menghakimi atau melakukan takfīrī terhadap metodologi yang ada di dalam agama, misalnya. Justru sikap semacam itu menunjukkan kepicikan dan kesempitan wawasan (halaman 36).
Dalam hal ini, agama tidak bisa dipaksa untuk menemukan “kebenaran” dengan language game-nya sains. Dengan kata lain, apa pun “kebenaran” yang ditemukan dan diklaim agama tidak bisa dijustifikasi dengan metodologi sains dan perangkat-perangkat saintifik. Sebab, kedua hal tersebut benar-benar berada dalam ranah language game yang berbeda. Dalam menemukan dan mendemonstrasikan kebenaran, pemikiran agama memainkan language game-nya sendiri.
Language game yang digunakan dalam aliran-aliran pemikiran agama dalam Islam untuk mendemonstrasikan “kebenaran” di antaranya adalah teologi dialektika (‘ilm al-kalām), filsafat peripatetik (masyā’iyyah), iluminisme (isyrāqiyyah), ‘irfān atau tasawuf, dan hikmah transenden (al-hikmah al-muta‘āliyyah).
Dalam ‘ilm al-kalām dan masyā’iyyah, metode yang digunakan adalah deduktif-silogistik, tetapi bedanya yang pertama penalarannya bertolak dari wahyu keagamaan (Alquran dan hadis), sementara yang kedua bertolak dari premis-premis yang disepakati sebagai kebenaran aksiomatis.
Dalam ‘irfan atau tasawuf, isyrāqiyyah, dan al-hikmah muta‘āliyyah, kesemuanya berbagi epistemologi yang sama, yakni berdasarkan pengalaman spiritual melalui rasa rohani (dzawq), ilham, dan intuisi langsung. Yang membedakan di antaranya adalah bahwa dalam tasawuf pendeskripsian atas “kebenaran” kerap kali melalui bahasa analogis dan puitis, sementara isyrāqiyyah dan al-hikmah muta‘āliyyah berupaya mendemonstrasikan “kebenaran” dengan bahasa diskursif-filosofis (halaman 60-64).
Dengan demikian, metodologi dan perangkat-perangkat yang digunakan untuk menjustifikasi “kebenaran” (context of justification) sangat berbeda dengan sains (koherensi logis dan korespondensi empiris). Oleh karena itu, sains tidak bisa serta-merta turut campur untuk menyalahkan “kebenaran” yang didemonstrasikan oleh pemikiran-pemikiran keagamaan.
Menghilangkan sikap pongah, dalam hal apa pun, amatlah perlu agar seseorang tidak gampang menepuk dada dan menuding yang lain salah. Menyadur ungkapan Jalal al-Din al-Rumi, “Kebenaran itu bagaikan cermin di tangan Tuhan. Lalu jatuh pecah. Setiap orang menemukan serpihannya dan mengira telah menemukan kebenaran.”
Dengan demikian, “kebenaran” baik dalam agama maupun sains sama-sama perlu ada. Keberadaan “kebenaran” sains tak bisa seketika menegasikan keberadaan “kebenaran” agama. Dengan memakai ungkapan Ulil, “Bahwa soto perlu ada, saya sepakat. Tetapi meremehkan dan mengejek hal-hal lain di luar soto, seolah-olah yang non-soto adalah non-sense, itulah sejenis kepongahan.” (halaman 103).
Editor: MZ