Saya sering membaca di beberapa buku sains populer yang terus terang amat saya nikmati itu suatu statemen yang kira-kira bisa diringkaskan dengan kalimat berikut:
Perbedaan mendasar antara sains dan agama adalah bahwa dalam sains, seorang saintis akan dengan gembira menyambut koreksi dan kritik oleh sesama koleganya manakala teori yang ia ajukan terbukti salah; atau, dalam istilah filsuf Karl Popper, “di-falsifikasi”. Dia tidak akan mengkafirkan saintis lain yang telah mengoreksinya, apalagi melaporkannya ke majlis inkuisisi untuk diadili.
Ini, kata para pendukung sains, berbeda dengan agama. Di sana, seseorang yang berbeda mazhab atau sekte bisa dikafirkan, dimusuhi, diadili, bahkan dibunuh. Dalam agama, perbedaan akidah dan pendapat bisa berujung pada perang.
Hujjah ini, tentu saja, dikemukakan sebagai alat untuk “mengejek” agama, seraya mengunggulkan sains sebagai diskursus yang lebih superior, lebih “beradab”, karena ia rasional, matang, tidak menimbulkan permusuhan.
Para pecinta sains (catatan: sains di sini saya maksudkan sebagai ilmu-ilmu kealaman, bukan “social sciences”) di mana-mana, termasuk di Indonesia, sering pula mengulang-ngulang mantra klise ini, mantra yang tak bisa dipungkiri bernada “kepongahan” (ini adalah terjemahan saya untuk istilah “scientific boasting” yang dipakai oleh David Berlinski dalam bukunya Devil’s Delusion). Mari kita teliti, apakah pernyataan ini benar.
Kita tak bisa mengingkari adanya pertikaian antara mazhab dan sekte dalam sejarah agama-agama. Eropa mengenal tiga puluh tahun perang agama pada abad ke-17 yang berkecamuk di Jerman akibat Reformasi Protestan. Islam mengenal konflik Sunni-Syiah yang berdarah-darah, baik pada masa klasik atau modern.
Sejarah kelam agama seperti ini, terutama dalam lingkungan dua agama semitik (Kristen dan Islam), tidak bisa diingkari. Saya pun membaca sejarah hitam seperti ini dengan perasaan masygul, kadang marah: kenapa ajaran Tuhan yang dimaksudkan untuk menegakkan kehidupan yang damai di bumi, justru menimbulkan perang yang berdarah-darah?
Penjelasan yang komprehensif mengenai paradoks seperti ini, bisa dibaca dalam buku yang ditulis Karen Armstrong, Fields of Blood: Religion and the History of Violence (2014). Tetapi saya punya penjelasan sendiri. Menjadikan sejarah kelam agama sebagai alat untuk “bragging”, menepuk dada dan mengejek agama seperti dilakukan oleh (sebagian) saintis dan para pendukungnya, bagi saya, bisa tampak menggelikan.
Mari kita telaah, kenapa tidak ada perang karena perbedaan pendapat dalam sains. Tanpa meneliti lebih saksama hal ini, kita bisa tertipu oleh “argumen retoris” para pendukung sains itu.
Baik sains dan agama, secara ontologis atau wujudiah, masuk dalam wilayah yang sama: keduanya adalah bagian dari aktivitas mental manusia, meskipun dasar-dasar legitimasinya beda; agama bersumber dari wahyu, sains dari observasi atas data-data empiris.
Tetapi keduanya jelas berbeda secara mendasar dari segi berikut ini: agama masuk dalam apa yang oleh teolog Lutheran Paul Tillich disebut sebagai “the ultimate concern“, hal yang begitu mendalam mempengaruhi “psyche”, jiwa, dan emosi manusia karena menyangkut pertanyaan mendasar dalam hidup. Perbedaan dalam hal-hal yang menyangkut “the ultimate concern” memang rawan menimbulkan konflik, karena menyangkut emosi yang terdalam pada diri manusia.
Sementara watak sains berbeda: dia bersifat rasional, dan cenderung tidak menyentuh emosi manusia yang terdalam. Karena itu, tak ada seorang pun bersedia mati berjihad untuk membela teori gravitasi, atau mempertahankan persamaan Einstein E = mc². Untuk apa, kok seperti kurang pekerjaan saja?
Perbedaan dalam sains tidak melibatkan “high stake” dalam hidup manusia yang memiliki kesadaran, karena tidak menyangkut “the ultimate concern“. Seorang saintis memang tidak akan bertengkar hingga berujung pada konflik fisik karena perbedaan hipotesa atau interpretasi terhadap suatu data. Tetapi ini tidaklah sesuatu yang khas sains. Betapa banyak bidang dalam kehidupan manusia di mana perbedaan di sana tidak berujung pada konflik dan saling mengkafirkan, karena tak menyangkut “the ultimate concern“.
Para sarjana sastra tidak berperang karena perbedaan teori dan pendekatan. Para ahli hukum tidak bertikai secara fisik karena perbedaan mazhab. Para pelatih bola tidak berseteru karena perbedaan strategi. Para chef tidak bertengkar karena berbeda dalam menilai resep makanan. Para juri dalam kompetisi musik tidak saling mengkafirkan karena berselisih pandangan dalam menilai penampilan seorang kontestan. Seorang kritikus seni atau lukisan bisa berbeda dalam menilai mana lukisan yang paling “menggetarkan”, tetapi mereka tidak saling baku-hantam.
Dua orang Ngawi (ini sekadar contoh saja) tak akan saling memurtadkan karena salah satunya beranggapan bahwa soto Lamongan lebih lezat ketimbang soto Bangkong. Mereka berbeda, tetapi tidak akan adu-jotos. Contoh-contoh semacam ini tak terhitung jumlahnya dalam kehidupan sehari-hari. Sains bukanlah satu-satunya “human enterprise” yang patut merasa pongah dengan sebuah kleim bahwa perbedaan di dalamnya tidak menimbulkan konflik berdarah-darah. Tak ada yang spesial pada sains dalam aspek ini. Biasa saja.
Tidak semua perbedaan dalam agama juga berujung pada pengkafiran dan konflik. Perbedaan dalam forum bahtsul masa’il di antara para kiai NU dalam merumuskan sebuah fatwa, tidak berujung pada pengkafiran. Ribuan bahtsul masa’il saya saksikan dalam sejarah NU, dan tidak ada satupun cekcok berdarah-darah muncul di sana.
Harus diingat pula, perbedaan yang menimbulkan konflik dan perang tidaklah monopoli agama. Perang dingin yang melibatkan perlombaan senjata nuklir yang nyaris memusnahkan spesies manusia, berlangsung sejak dekade 50an sampai runtuhnya Tembok Berlin pada 1991. Dalam Perang Dingin ini, dua mazhab sekuler, bukan agama, saling berseteru: kapitalisme dan komunisme.
Apakah para pendukung sains akan mengatakan bahwa: sains lebih unggul tinimbang ideologi kapitalisme atau sosialisme, hanya karena para saintis bisa berbeda secara beradab dan tidak berujung pada perang, baik dingin, setengah dingin, atau panas?
Nasionalisme adalah ideologi modern yang memiliki sejarah yang rumit: ada sejarah terang, ada sejarah gelap. Sejarah terang nasionalisme ditandai dengan lahirnya negara-negara nasional yang memberikan “ruang sosial-kultural” bagi milyaran penduduk bumi untuk membangun peradaban mereka masing-masing, termasuk bagi para saintis untuk bekerja.
Tetapi nasionalisme juga punya sejarah yang amat kelam. Kita menyaksikan hal ini berkali-kali dalam era modern: Kashmir, Palestina, Rohingya, Uyghur, Bosnia, Timor-Timur, dll. Apakah sains akan menepuk dada pula bahwa dirinya lebih unggul dari ideologi nasionalisme karena para saintis bisa berbeda pendapat tanpa menimbulkan “perang”?
Perbedaan dalam sains tidak menimbulkan konflik dan perang karena ia tidak melibatkan “the ultimate concern” yang menyentuh emosi manusia yang terdalam. Dia adalah kegiatan serebral yang tidak membangkitkan emosi.
Jika sebagian pendukung sains berpikiran bahwa agama harus dihapuskan saja (jika bisa!) karena hanya menimbulkan konflik, maka nasionalisme dan negara-negara nasional modern juga harus dihapuskan. Pemilu langsung juga layak ditiadakan sama sekali, karena potensial menyulut konflik, sekurang-kurangnya seperti terlihat dalam pilpres kita yang terakhir.
Apakah demokrasi juga kalah unggul dibanding sains, karena perbedaan di sana potensial memantik kerusuhan seperti terjadi di Amerika hari-hari ini?
Konflik dalam kehidupan manusia adalah fakta yang tak terhindarkan; pemantiknya bisa agama atau ideologi sekular. Konflik ini bisa diatasi, dan karena itu muncul disiplin keilmuan yang bernama “conflict resolution“.
Tetapi menepuk dada seperti dilakukan sebagian pendukung sains bahwa mereka bisa berbeda tanpa baku-hantam, dan karena itu bidang yang mereka geluti lebih superior tinimbang bidang-bidang lain, jelas menggelikan. Karena dua orang Ngawi yang saya ceritakan tadi juga melakukan hal yang sama: mereka berbeda dan tidak berujung pada konflik.
Bedanya hanya satu: dua orang Ngawi itu tidak pongah. Mereka berbeda soal soto, dan tetap bersahabat, tidak saling mengkafirkan. Tetapi mereka tidak lalu berpikiran bahwa agama, nasionalisme, demokrasi, dan kapitalisme kalah unggul dibanding soto. Bahwa soto perlu ada, saya sepakat. Tetapi meremehkan dan mengejek hal-hal lain di luar soto, seolah-olah yang non-soto adalah non-sense, itulah sejenis kepongahan. [HM]