Pandangan Michel Foucault tentang kekuasaan, subjektivitas, dan agensi membabarkan analisis yang menarik tentang bagaimana individu menjadi subjek dalam sistem sosial. Salah satu aspek yang paling provokatif dari teori Foucault adalah paradoks subjektivasi, sebuah konsep yang mengungkap hubungan kompleks antara kekuasaan dan agensi individu.
Paradoks ini mengacu pada proses pemberdayaan dan penundukan yang terjadi secara bersamaan saat individu dibentuk oleh lembaga dan wacana sosial. Gagasan Foucault tentang subjektivasi menimbulkan pertanyaan penting tentang hakikat agensi, yang menunjukkan bahwa kendati kekuasaan membentuk individu menjadi subjek, ia juga memungkinkan kondisi di mana agensi dapat eksis.
Memahami Subjektivasi
Bagi Foucault, proses menjadi subjek—apa yang ia sebut sebagai “subjektivasi”—tidak dapat dipisahkan dari cara kerja kekuasaan. Kekuasaan, dalam pandangan Foucault, tidak hanya represif, melainkan juga produktif. Kekuasaan beroperasi tidak hanya dengan membatasi dan mengekang individu, tetapi juga dengan membentuk identitas, keinginan, dan perilaku mereka sendiri.
Dalam karya-karyanya, Foucault meneliti bagaimana lembaga-lembaga modern seperti penjara, sekolah, dan rumah sakit mengatur tubuh dan perilaku melalui teknik-teknik disiplin dan pengawasan. Lembaga-lembaga ini menghasilkan subjek-subjek yang menginternalisasi norma-norma masyarakat dan, pada gilirannya, mengatur perilaku mereka sendiri.
Dengan demikian, subjektivasi mengacu pada cara-cara di mana individu-individu diproduksi sebagai subjek melalui wacana-wacana kekuasaan ini. Akan tetapi, penting dicatat bahwa menjadi subjek dalam tatanan sosial bukan sekadar proses didominasi atau ditindas oleh kekuasaan.
Sebaliknya, subjektivasi juga melibatkan konstruksi diri dan pengaturan diri, ketika individu-individu mengadopsi dan menginternalisasi norma-norma dan harapan-harapan yang dipaksakan kepada mereka. Hal ini menjadikan subjek sebagai peserta aktif dalam penegakan relasi kekuasaan.
Paradoks subjektivasi muncul dari peran ganda kekuasaan ini: ia membatasi sekaligus memungkinkan. Di satu sisi, subjektivasi melibatkan penundukan pada bentuk-bentuk kontrol eksternal. Individu dibentuk oleh lembaga sosial, norma, dan struktur kekuasaan yang memaksakan batasan pada tindakan dan pikiran mereka.
Aspek subjektivasi ini tampaknya melemahkan gagasan agensi, karena individu tampak sekadar produk dari kekuatan eksternal. Di sisi lain, justru melalui hubungan kekuasaan inilah individu dibentuk sebagai agen yang mampu bertindak di dunia.
Paradoks ini dapat dipahami lebih jelas dengan membandingkannya dengan konsepsi agensi tradisional. Teori liberal klasik, misalnya, sering kali memandang agensi sebagai sesuatu yang ada sebelum batasan sosial—sebagai kualitas inheren individu yang bebas bertindak sebagai agen otonom.
Namun, Foucault menolak gagasan agensi apriori atau alami. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa individu menjadi agen melalui proses subjektivasi yang secara bersamaan membentuk kapasitas mereka untuk bertindak. Dengan kata lain, kekuasaan tidak hanya membatasi kebebasan, tetapi juga memungkinkan kebebasan dengan membangun subjek yang menjalankan agensi.
Konsepsi Foucault tentang agensi dengan demikian sangat relasional. Ia menentang gagasan bahwa agensi merupakan kualitas bawaan individu, dan sebaliknya menyatakan bahwa agensi muncul melalui kondisi sosiohistoris tertentu. Agensi, dalam pandangan Foucault, bukanlah pelaksanaan kehendak bebas yang terlepas dari kekuasaan, melainkan kapasitas untuk bertindak dalam batasan dan kemungkinan yang dibentuk oleh relasi kekuasaan.
Lebih lanjut, Foucault mengeksplorasi bagaimana individu terlibat dalam praktik pengaturan diri dan pembentukan diri yang memungkinkan mereka membentuk identitas mereka sendiri. Praktik-praktik ini, yang disebut Foucault sebagai “teknologi diri”, melibatkan teknik-teknik seperti pengakuan, pemeriksaan diri, dan disiplin, yang melaluinya individu mengatur perilaku mereka sesuai dengan norma-norma etika atau sosial tertentu.
Teknologi diri menggambarkan bagaimana agensi beroperasi dalam kerangka subjektivasi. Individu bukan sekadar penerima kekuasaan yang pasif. Mereka secara aktif berpartisipasi dalam subjektivasi mereka sendiri dengan mengadopsi mode-mode pengaturan diri tertentu.
Namun, agensi ini masih dibatasi oleh struktur kekuasaan yang lebih besar yang membentuk norma dan wacana yang harus dipatuhi oleh individu. Kebebasan yang dialami individu dalam membentuk identitas mereka sendiri selalu dikondisikan oleh hubungan kekuasaan di mana mereka berada.
Implikasi bagi Agensi
Paradoks subjektivasi memaksa kita untuk mengevaluasi ulang gagasan tradisional tentang kebebasan dan agensi. Dalam pandangan Foucault, kebebasan bukanlah ketiadaan kekuasaan, melainkan kemampuan untuk menavigasi dan bernegosiasi dalam relasi kekuasaan.
Agensi tidak ada di luar kekuasaan memang, tetapi justru dihasilkan melalui kekuasaan. Individu dapat menjalankan agensi, tetapi agensi tersebut selalu dibentuk oleh kondisi dan wacana sosial yang membentuk mereka sebagai subjek.
Pemahaman tentang agensi ini memiliki implikasi yang serius bagi cara kita berpikir tentang perlawanan dan perubahan. Sementara individu dibentuk oleh kekuasaan, mereka juga memiliki kapasitas untuk melawan dan mengonfigurasi ulang relasi kekuasaan melalui tindakan mereka.
Bagi Foucault, perlawanan bukanlah masalah melarikan diri dari kekuasaan, tetapi bekerja dalam strukturnya untuk mengubah kondisi subjektivitas. Hal ini menjadikan perlawanan sebagai proses yang berkelanjutan, yang membutuhkan negosiasi terus-menerus dengan kekuatan yang membentuk identitas dan tindakan kita.