Ahmad Aminuddin Editor arrahim.id, dapat disapa melalui Twitter @aminuddinhamid

NKRI Bersyariah, Sebuah Gagasan Kekanak-kanakan

2 min read

Source: muslimedianews.com

Dengan melihat latar belakang masyarakatnya yang beragam, termasuk dalam hal agama, para pendiri bangsa Indonesia akhirnya sepakat untuk mendirikan negara yang berasaskan pada prinsip persatuan tanpa adanya previlege terhadap satu golongan (agama) tertentu. Akhirnya, lahirlah Pancasila sebagai ideologi negara dan pemersatu bagi bangsa yang penuh dengan perbedaan ini.

Namun demikian, meskipun Pancasila telah menjadi ideologi resmi negara yang sah selama 74 tahun, ironinya hingga saat ini masih ada segelintir kelompok–khususnya umat Islam–yang menuntut penerapan syariat Islam sebagai landasan hukum bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka berdalih bahwa pemeluk Islam berhak mendapatkan hal tersebut mengingat posisinya sebagai warga mayoritas.

Jika ditelisik lebih mendalam, saya kira mereka yang menuntut penetapan hukum syariat telah gagal dalam memahami hakikat dari Pancasila dan syariat Islam itu sendiri. Pada dasarnya, keduanya sama sekali tidak bertentangan. Bahkan, Pancasila bisa dikatakan sebagai sebuah rumusan nilai yang disarikan dari nilai-nilai luhur berbagai agama dan keyakinan di Indonesia, termasuk Islam.

Dalam Islam, tujuan dasar dari syariat adalah terpenuhinya hak dasar manusia yang biasa dikenal dengan istilah maqoshid syari’ah (tujuan-tujuan syariat). Hak dasar tersebut meliputi hak menjaga agama, jiwa, akal keturunan dan harta.

Pun demikian dengan Pancasila, sebagai ideologi negara ia juga menjadi pedoman guna terpenuhinya hak dasar yang sama–sebagaimana dalam maqoshid syari’ah–bagi warganya. Dengan demikian, penerapan syariat tidak lagi dibutuhkan bagi umat muslim Indonesia karena upaya pemenuhan hak dasar dalam maqoshid syari’ah telah diakomodir oleh Pancasila.

Pada titik ini lah kiranya kelompok yang menggebu-gebu menuntut penerapan syariat mengalami misleading dalam memahami Syariat. Mereka menganggap bahwa untuk mewujudkan kehidupan yang Islami, satu-satunya jalan bisa dilakukan, hanya dengan penggunaan simbol-simbol Islam secara formal. Di sisi lain, melupakan bahwa esensi yang diperjuangkan oleh syariat itu sendiri–terpenuhinya hak dasar setiap orang.

Baca Juga  Mengapa Barat Takut terhadap Islam?

Terkait Pancasila, bung Karno, dalam buku The return of Pancasila: secular vs. Islamic norms, another look at the struggle for state dominance in Indonesia karya Raillon (2011), mengatakan bahwa Pancasila merupakan sebuah rumusan nilai yang digali dari tanah nusantara dengan memperhatikan beragam nilai kearifan lokal. Tentu, kearifan lokal yang dimaksud juga termasuk khazanah keislaman yang telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat lokal.

Keragaman kearifan lokal tersebut menjadi salah satu alasan penting untuk tidak menerapkan syariat Islam mengingat Indonesia bukanlah negara agama. Terlebih lagi jika syariat diberlakukan sebagai hukum negara, maka akan terjadi kecemburuan sosial dari warga non-muslim. Belum lagi terkait persoalan yang tidak kalah rumitnya yakni terkait konsep syariat Islam seperti apa yang kemudian akan diterapkan jika seandainya wacana tersebut dilaksanakan.

Ide penerapan syariat Islam sebagai hukum legal di Indonesia pada dasarnya bukanlah hal yang baru dalam kehidupan bermasyarakat kita. Bahkan, sejak awal masa pembentukan negara ini, perdebatan tentang syariat sudah muncul.

Dalam konteks saat ini, gagasan “NKRI Bersyariah” yang digaungkan kembali oleh sebagian kelompok Islam bisa jadi lahir dari sebuah rasa kekecewaan dan ketidakpuasan suatu kelompok terhadap pemerintah. Kelompok ini menganggap bahwa pemerintah telah gagal dalam mengakomodir aspirasi dan kepentingan umat Islam.

Saya kira, tuntutan penerapan syariat Islam tidak lebih dari sekedar gagasan yang lahir dari sebuah ekspresi emosional belaka mengingat mereka yang menuntut itu faktanya belum mempunyai konsep yang mapan terkait penerapan ide NKRI bersyariat. Maka tidak berlebihan jika ini bisa dilihat sebagai sekedar sebuah ekspresi letupan emosi yang timbul dari rasa ketidakpuasan suatu kelompok terhadap pemerintah.

Dan, perlu digarisbawahi juga bahwa, khususnya, pada saat ini ada banyak kepentingan politik dari kelompok tertentu yang bermain dibalik munculnya gagasan ini.

Baca Juga  Menyelami Kehidupan dengan Akhlak Islami: Jalan Kebaikan dan Kesempurnaan Manusia

Di sisi lain, munculnya gagasan NKRI bersyariat sesungguhnya adalah sebuah hal yang lazim dalam sistem demokrasi, sebagaimana gagasan-gagasan lainnya karena, pada dasarnya, demokrasi memang menjamin hak dan kebebasan berpendapat bagi setiap individu.

Namun, dalam konteks negara demokrasi, yang perlu digarisbawahi adalah cara penyampaian dan cara memperjuangkan sebuah gagasan tentunya harus sesuai dengan konstitusi negara–mekanisme demokrasi. Dalam memperjuangkan gagasannya, seseorang juga harus berjiwa besar dan bersikap dewasa. Misalnya, jika gagasan yang diperjuangkan secara konstitusional kemudian tidak bisa tercapai, tentu ia harus berlapang dada dan menerima apa yang telah menjadi kesepakatan bersama.

Akhirnya, saya meyakini gagasan NKRI bersyariat hanyalah sebuah ekspresi emosional yang kemudian dituangkan ke dalam sebuah ide. Dalam sistem demokrasi, hal tersebut adalah sebuah hal yang wajar, bahkan harus diakomodir dan diwadahi mengingat kebebesan berekspresi dan berpendapat dilindungi oleh negara selama masih dalam koridor aturan yang berlaku.

Sedangkan terkait penerapan syariat, justru pada dasarnya masyarakat kita sudah menerapkan syariatt yang lebih bersifat esensial melalui Pancasila; bukan syariat yang bersifat juvenile (kekanak-kanakan) yang menuntut munculnya simbol secara formal.

Pun demikian, Pancasila juga merupakan sebuah rumusan nilai luhur yang mewakili kepentingan seluruh elemen bangsa, ia layak dan sudah seharusnya menjadi sebuah dasar hukum (syariat) paling ideal bagi bangsa Indonesia yang plural.

Lantas, masih perlukah syariah diterapkan sebagai hukum resmi negara? Ki sanak sekalian tentu sudah tahu jawabannya. [AA]

Ahmad Aminuddin Editor arrahim.id, dapat disapa melalui Twitter @aminuddinhamid