Ujian hampir selalu ada dalam setiap fase kehidupan. Setiap manusia pun pasti pernah mengalaminya. Seperti halnya ketika kita dalam fase pendidikan, setiap kenaikan kelas dan kelulusan dalam suatu jenjang pendidikan. Seorang siswa pasti harus melewati suatu ujian terlebih dahulu untuk bisa naik ke jenjang selanjutnya yang lebih tinggi.
Namun dalam kenyataannya, tak semua siswa dapat melewati ujian itu dengan baik. Bahkan ada yang gagal dalam menjalani ujian itu, sehingga ia harus tinggal di kelas yang sama. Dalam ujian kehidupan juga seperti itu, ada yang berhasil, namun ada pula yang gagal dalam mengahadapi ujian itu. Yang berhasil akan semakin bertambah keimanannya pada Allah dan yang gagal akan semakin berputus asa dari Rahmat Allah, bahkan ada pula yang sampai kufur kepada Allah.
Ujian yang diberikan Allah kepada umat manusia semata untuk mengetahui mana kualitas hamba yang baik. Tolok ukur kualitas seorang hamba adalah amalnya. Sehingga disebutkan dalam Alquran surah al-Mulk (67) ayat 2:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَياةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ (2
“Yang menjadikan mati dan hidup supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya” QS. al-Mulk (67): 2.
Ada yang menarik dalam teks ayat ini. Allah mendahulukan kata al-maut (mati) daripada kata al-hayāt (hidup). Padahal seharusnya kematian akan datang setelah kehidupan. Fakhr al-Dīn al-Rāzī dalam kitab tafsirnya, Mafātih al-Ghayb, menjelaskan alasan mengapa Allah mendahulukan kata al-maut (mati) daripada kata al-hayāt (hidup). Yaitu:
Pertama, yang dimaksud “mati” disini adalah keadaan sebelum hidup. Yaitu ketika manusia masih berupa janin dan belum ditiupkan ruh. Sedangkan kehidupan adalah setelah ditiuapknnya ruh. Hal ini sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh Muqātil.
Kedua, bahwa sebenarnya kehidupan di dunia adalah sebuah “kematian” itu sendiri. Sedangkan al-hayāt adalah kehidupan yang sesungguhnya di akhirat nanti. Hal ini selaras dengan apa yang diriwayatkan oleh Atha’ dari Ibnu Abbās:
يُرِيدُ الْمَوْتَ فِي الدُّنْيَا وَالْحَيَاةَ فِي الْآخِرَةِ
“Yang dimaksud kematian adalah (kehidupan) di dunia, sedangkan kehidupan (yang sejati) adalah di akhirat kelak.”
Ketiga adalah supaya kematian menjadi hal yang lebih diprioritaskan untuk dipersiapkan oleh manusia dibanding kehidupan itu sendiri. Untuk itu disebutlah kata al-maut lebih dulu dari al-hayāt.
Dari sini kita dapat memahami bahwa Allah menciptakan kematian dan kehidupan, dengan berbagai makna yang telah dipaparkan diatas, adalah semata hanya untuk menguji hambanya yang kemudian akan diketahui siapa hamba yang paling baik amalnya. Dalam ayat ini yang ditekankan adalah “yang lebih baik amalnya” bukan “yang lebih banyak amalnya”.
Ini memberi arti bahwa tidak selalu yang lebih banyak amalnya itu lebih baik dari yang sedikit amalnya. Bisa jadi yang sedikit amalnya itu lebih baik dan berkualitas daripada yang banyak amalnya tadi. Titik tekannya adalah kualitas, bukan kuantitas.
Di akhir ayat ini Allah menyebutkan keagunganNya dengan menyebutkan sifat keluhuran dan sifat pengampunannya (العزيز الغفور) ini memberi arti bahwa, kendati kita gagal dalam menghadapi ujian itu setelah berusaha, kita masih ada peluang untuk diampuni oleh Allah. Sehingga tidak ada lagi alasan untuk berputus asa dalam menjalani ujian Allah.
Seperti halnya guru yang memberikan ujian kepada siswanya, kendati ada siswa yang gagal dalam ujiannya, sang guru akan memberikan keringanan kepada siswa tersebut, asalkan ia sudah mau berusaha semaksimal mungkin.
Sebenarnya Allah juga telah memberikan “kisi-kisi” ujian yang diturunkan kepada manusia. “kisi-kisi” ini tertuang dalam surah al-Baqarah ayat 155:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَراتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (15
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar”
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa yang dimaksud “sesuatu” di sini adalah bermakna sedikit. Jadi, sebenarnya hanya sedikit saja ujian yang diturunkan kepada kita. Sekurang-kurangnya ada lima jenis ujian yang disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu sedikit ketakutan, sedikit kelaparan, berkurangnya harta, berkurangnya jiwa (dengan adanya kematian dari kerabat atau oragg-orang yang dicintainya), dan berkurangnya buah-buahan (dengan berkurangnya hasil panen).
Hanya itu saja. Jika kita mau bersabar dengan tetap menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya di tengah ujian-ujian yang diberikan Allah kepada kita, maka pastilah akan ada kabar gembira untuk kita setelahnya. Karena dalam ayat tersebut diakhiri dengan “Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar”.
Pandemi Covid-19 yang sedang terjadi sekarang ini bisa jadi adalah ujian yang diturunkan kepada kita dalam rangka “menyeseleksi” siapa diantara kita yang tetap teguh iman dan takwanya kendati dalam keadaan sulit seperti ini. Tentu usaha beriman dan bertakwa tidak harus mengabaikan protokol kesehatan yang harus kita lakukan dalam keadaan pandemi ini. Sehingga, kita harus meyakini jika pandemi berakhir, akan ada hal yang menggembirakan untuk kita yang mau bersabar. [MZ]