Ali Yazid Hamdani Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Obituari: Habib Ja’far Ali Baharun, Sang Teladan Karismatik

2 min read

Indonesia kembali dirundung duka, kehilangan putra terbaik bangsa, sosok ulama yang dengan ikhlas berkhidmah untuk ilmu agama, bangsa dan negara. Beliau senantiasa mengabdikan diri berdakwah dan mengajarkan ilmu agama kepada masayarakat sekitar dengan tawadlu’ dan tutur kata yang mudah dipahami segenap lapisan masyarakat. Sosok mulia yang telah dipanggil ke rahmatullah pada hari Sabtu 4 Dzulhijjah1441 H. / 25 Juli 2020 M. Sekitar pukul 15.00 WIB; beliau allahu yarham Abuya al-Habib Ja’far Ali Baharun.

Sejenak mengenang sepak teladan perjuangan dan kegigihan beliau dalam mengabdikan diri pada ilmu dan masayarakat khususnya dalam tariqah Tijaniyah. Al-Habib Ja’far Ali Baharun dilahirkan di Bondowoso, seorang habaib keturunan baharun dari Hadramaut, Yaman. Ayahandanya bernama Habib Ali bin Umar Al-Baharun.

Dari ayahnya beliau banyak belajar pendidikan agama. Selain itu, Semasa mudanya, pernah berguru pada sejumlah ulama besar Jawa Timur. Salah satu di antaranya di pesantren Nahdhatut Tholibin, Blado Wetan, Banyuanyar Probolinggo Jatim di bawah asuhan KH. Khozin. Di sana beliau belajar pendidikan agama Islam dan tarekat.

Seusai menempuh pendidikan beliau menikah dengan putri seorang ulama besar Probolinggo al-Habib Husein bin Hadi al-Hamid, yaitu Syarifah Nuning al-Hamid yang berdomisili di Brani Kulon, Maron-Probolinggo. Dan akhirnya memutuskan untuk berdomisili di Brani Wetan.

Di sana beliau mendirikan Pondok Pesantren at-Tarbiyah at-Tijaniyah, pondok pesantren yang mempertahankan tradisi salaf, serta mengutamakan pendidikan akhlak dengan menanamkan nilai-nilai ajaran tarekat Tijaniyah.

Berdirinya pondok pesantren tersebut menurut penuturan Habib Ja’far sendiri berasal dari petunjuk yang diperoleh dari ayahnya melalui mimpi, dan mengatakan, “Aba bermimpi cahaya atau malaikat Jibril turun ke tanah milik bapak Jali desa Brani Wetan ini, sekitar tahun 1987” pada saat itu, tanah yang dimiliki pak Jali dihargai 5 juta rupiah. Sedangkan uang yang dimiliki habib Ja’far tidaklah cukup. Karena titah sang ayah untuk segera membeli, Sehingga beliau bergegas membeli walaupun harus meminjam uang kepada masyarakat setempat. (Risky H.T, dalam ALFIKR.co)

Baca Juga  Abdurrahman Jami': Ulama Sufi, Penyair Klasik Iran dan Penutur Kisah Cinta Yang Agung

Dari proses membangun hingga berdirinya pondok pesantren, tidak pernah sekali pun beliau menerima atau meminta bantuan berupa materi entah dari masyarakat atau memungut bantuan dari pemerintah, karena baginya, penting untuk menghindari uang subhat, yang tidak jelas atau samar asal-usulnya secara hukum maupun hasil perolehan ketika membangun pondok pesantren.

Dari hal tersebut, tampak kezuhudan beliau yang sangat berhati-hati dalam membangun dan mendirikan pesantren, dari dana subhat. Tidak silau dengan dunia yang seringkali mebutakan manusia.

Semangat juangnya dalam menuntut ilmu dan berdakwah telah tampak ketika usianya masih muda. Selain gigih dalam menuntut ilmu, beliau dikenal sebagai pemuda yang indah perangai, halus dalam bertutur, jujur, amanah, tidak jemawa, angkuh, dan sombong di hadapan kolega dan keluarganya

Gaya tuturnya yang halus dan santun dalam berdakwah, mendapat ruang di hati masyarakat. Membuat hati tenang dan damai ketika melihatnya, lisannya yang selalu basah dengan zikir dan menyeru kebaikan. Senantiasa membuat semua masyarakat ingat Allah saat dekat dengan beliau, seoalah-olah ada daya tarik tersendiri untuk menyebut nama-Nya.

Prinsip dakwahnya mengacu pada tiga pilar utama, pertama, bi al-kalām (dengan perkataan), kedua, bi al-qadam (dengan terjun lapangan), ketiga, bi al-amal (dengan amal ibadah). Dari prinsip ketiga itulah yang selalu dipegang, bukan saja mengabarkan kabar langit yang dibumikan, tapi juga turun gunung melebur satu dengan masyarakat serta tidak hanya jatuh pada lisan namun juga perbuatan.

Selain sebagai pengasuh dan berdakwah di kalangan masyarakat, beliau juga merupakan tokoh penting dalam Tarekat Tijaniyah, beliau adalah seorang Muqaddam (orang yang punya izin mengamalkan dan berhak memberikan izin mengamalkan bagi orang lain) atau dalam tarekat lain disebut dengan Mursyid (guru spiritual).

Baca Juga  Ngatawi Al-Zastrow, Membaca Realitas dan Berdakwah Melalui Seni

Tak ayal banyak tokoh yang mengenal beliau, baik skala regional maupun nasional, bahkan sampai pada taraf internasional.

Sanad tariqah yang dimiliki beliau sampai pada Rasulullah SAW. Dari gurunya, Sayyid Muhammad Balhasan al-Jakkany, Sayyid al-Ahsan Al-al-Ba’qily, Sayyid Husain al-Ifrany, Sayyid Ahmad bin Ahmad al-Kansusi, Sayyid Muhammad Ghali Buthallib dari guru besarnya Sayyidul auliya’ Al-Qutbi al-Maktum Ahmad bin Muhammad at-Tijani ra. Dari sayyid al-anbiya’ wa al-mursalin Muhammad SAW.

Beliau lah yang mengawal perkembangan tarekat Tijaniyah dari tingkat Desa hingga lingkup dunia, turut serta aktif dalam rententan acara rutinan yang diselenggarakan, baik harian, mingguan hingga tahuanan. seperti halnya “wadzifah, manaqib, hailalah, hingga Idul Khotmi” memberikan dedikasi yang luar biasa untuk umat.

Seorang ulama teladan yang memiliki dedikasi tinggi terhadap ilmu agama dan bangsa. Mari sejenak melafalkan surah al-Fātihah untuk guru kita yang baru saja kembali untuk menghadap sang kekasih, Baginda Nabi Muhammad Saw, dan Sayyid al-Auliya’ Al-Qutbi al-Maktum Ahmad bin Muhammad at-Tijani ra. Semoga beliau diridhai Allah sebagai kekasih. Amiin.

اللهم اغفر له وارحمه وعافه واعف عنه وأكرم نزله ووسع مدخله واجعل الجنة مثواه

Ali Yazid Hamdani Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta