
Saya termasuk orang yang pesimis terhadap konsep dan praktik ‘dakwah’. Meski istilah tersebut memiliki makna yang plural dalam normativitas dan tradisi Islam, akan tetapi dalam sejarahnya kegiatan dakwah ‘terbakukan’ dalam beberapa bentuk saja.
Bentuk yang paling umum adalah pengajian, mengajak dan menyerukan orang-orang awam dalam pandangan agamawan, agar bisa mempraktikan Islam lebih mendalam, lebih sempurna. Lebih dari itu, kegiatan pengajian juga sering bersifat eksesif karena, diarahkan kepada kelompok non-muslim agar berkehendak untuk pindah agama/keyakinan (konversi).
Bentuk lain yang kurang populer adalah berjihad, bisa dimaknai dalam konsep yang paling halus seperti mengerahkan sumber-daya dan pikiran untuk menggali substansi agama, hingga konsep yang paling keras, seperti berperang dan melakukan ragam tindakan kekerasan untuk membela agama atau Tuhan.
Baik dalam bentuknya yang paling populer seperti pengajian, maupun dalam bentuknya yang kasar seperti melakukan kekerasan untuk tujuan membuat manusia taat kepada ‘agama’nya, saya tetap pesimis, dan tidak melihat praktik berdakwah memiliki dampak signifikan untuk mengubah individu atau masyarakat menjadi lebih ‘saleh’.
Tentu saja, pesimisme saya bukan hanya berakar pada aspek kesejarahan, tetapi juga pada aspek keadaban universal. Menarik dicermati, konsep dakwah dalam pengalaman kesejarahan Islam sendiri bukanlah konsep yang baku. Pada generasi awal Islam, konsep ini lebih merujuk pada makna ‘seruan’ hidup berdasarkan kehendak Tuhan, tetapi sekaligus bermakna penghormatan atas perbedaan.
Dalam konsep dakwah, secara eksplisit ditegaskan sikap penghormatan terhadap pilihan dan kehendak setiap manusia untuk menentukan agama/keyakinannya (Sura 30: 15). Itulah mengapa konsep dakwah dalam pengertian menyeru atau memaksa orang melakukan pentaatan (coersi) atas agamanya, atau berpindah agama (konversi) hampir tidak ditemukan dalam periode awal Islam.
Bahkan sesudah Nabi Muhammad saw meninggal sekalipun, kegiatan dakwah dalam pengertian yang kita kenal hari ini, tidak pernah mengemuka dalam sejarah. Konsep dakwah yang bersifat eksesif karena didorong oleh ambisi menjadikan masyarakat dalam standar ‘kesalehan’ dan menyeru orang untuk berpindah agama/keyakinan justru baru ditemukan pada periode peralihan dari Dinasti Umayyah ke Abbasiyah.
Gejala keagamaan ini benar-benar baru mewarnai praktik keagamaan Islam, hampir seratus tahun sesudah kepergian Rasulullah. Gejala tersebut terutama terjadi berbarengan dengan propaganda politik yang dilakukan oleh klan Abbasiyah dalam mendelegitimasi kekuasaan Umayyah. Dengan begitu, akar kesejarahan dakwah dalam pengertian formalnya, sejak awal lebih berdimensi politik daripada kemurnian agama.
Sejak periode itu, dakwah lalu mengerucut pada makna ‘misionarisme’ Islam. Suatu paradigma yang mendorong setiap orang dalam Islam memiliki kewajiban untuk menyebarluaskan agama, terutama menggunakan struktur negara, memadukan kekuatan teologi dan politik, untuk ‘mensalehkan’ umat Islam sendiri, tetapi juga menyeru non-muslim untuk memeluk agama ini. Gejala seperti ini baru benar-benar terjadi pada abad ke-9 hingga ke-13 M.
Akar kesejarahan inilah yang menjadikan konsep dakwah yang dikenal dalam Islam, identik dengan konsep proselytism. Ini merupakan konsep untuk menyebut tindakan atau kegiatan yang terstruktur dan sistematik untuk mengubah agama/keyakinan orang lain. Merujuk juga pada makna memaksa orang untuk taat dan saleh terhadap agama yang dipeluknya.
Bila dikaitkan dengan konsep kunonya, proselytism berakar pada bahasa Latin prosélytos yang berarti ‘pendatang baru’ atau pemeluk agama baru. Sebut saja maulaf dalam Islam. Dalam Kitab Perjanjian, istilah ini digunakan untuk menyebut orang-orang non-Yahudi yang mempertimbangkan atau ‘dipaksa’ memeluk agama tersebut. Obyek tindakan tersebut adalah sisa-sisa penganut agama pagan sebelum kelahiran Yahudi dan Kristen.
Meski berakar pada misi penginjilan abad ke-17 hingga ke-19 M, akan tetapi konsep proselytism sebenarnya digunakan secara universal untuk menyebut praktik keagamaan yang menyerukan pentingnya ‘mensalehkan’ komunitas internal agama, dan ‘meng-agama-kan’ yang dianggap belum ‘beragama’. Inilah yang menjelaskan mengapa praktik dakwah dalam Islam kemudian identik dengan evangelism dalam Kristen.
Selain disebut sebagai konsep yang identik dengan marketing agama (Sally Sledge, 2022), praktik dakwah atau proselytism di dalam dirinya sendiri sebenarnya menyimpan problem etik yang sangat mendasar. Pertama, bila praktik ini berlangsung di dalam internal agama, proselytism sesungguhnya cenderung didorong oleh kerangka pikir yang sudah salah sejak awal, karena semua pendakwah atau misionaris akan melihat mayoritas orang dalam keadaan ‘bodoh’ dan tidak memiliki pemahaman yang baik tentang agama. Jauh dari kesalehan.
Secara generik, kegiatan proselytism sesungguhnya telah dikontrol oleh agresivitas pikiran dalam memandang orang lain sebagai obyek untuk untuk dipaksa menjadi saleh. Persis di posisi ini, saya tidak terkejut dengan kasus olol-olokan di dalam kegiatan pengajian yang sedang ramai dibicarakan. Gus Miftah Maulana alias Ta’im atau pendakwah siapapun, akan berpeluang ‘jatuh’ pada tindakan dan perilaku yang sama karena sifat dasar proselytism yang sudah salah sejak awalnya.
Kedua, bila praktik proselytism diarahkan pada kelompok-kelompok agama lain, atau sebut saja, kelompok-kelompok yang dianggap belum beragama, maka praktik ini justru akan berujung pada problem yang lebih serius. Agresivitas meng’agama’kan orang lain dianggap melanggar norma universal tentang penghormatan terhadap hak asasi beragama/berkeyakinan. Deklarasi Universal Hak Asasi manusia dan Kovenan-Kovenan turunannya, telah melarang tindakan dan praktik yang memaksa orang untuk taat atau tidak taat terhadap agamanya (coersi), dan apalagi memaksa orang untuk pindah agama/keyakinan.
Itulah alasan mengapa proselytism dilarang di banyak negara karena potensinya yang besar dalam melanggar hak-hak kebebasan beragama/berkeyakinan masyarakatnya (Galina Lindquist dan Don Handelman, 2012). Di Indonesia yang tidak mengenal adanya larangan terhadap proselytism, negara membiarkan praktik tersebut begitu terstuktur, sistematis, dan menjadi pola umum penyebaran agama sejak abad ke-19 M hingga saat ini.
Inilah salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak kelompok agama minoritas dan penganut agama leluhur akibat praktik proselytism yang dibiarkan berlangsung begitu agresif sejak abad ke-19 M. Robert W. Hefner bahkan menyebut, saking agresifnya praktik-praktik misionarisme itu, telah menjadikan hampir sebagian besar agama leluhur dan kelompok dengan orientasi keagamaan heterodoksi, mengalami ancaman kepunahan di Indonesia (Hefner, 2011).
Pengalaman Indonesia cukup membuktikan bahwa, semua praktik dakwah, misionarisme, dan proselytism menyimpan problem etik yang serius karena secara faktual merusak harmoni kehidupan beragama itu sendiri. Selain berpotensi melanggar hak-hak beragama/berkeyakinan individu atau masyarakat, di zaman yang sudah terang-benderang ini, tidak dibutuhkan lagi model kegiatan dakwah yang mengagresi martabat dan kewibawaan manusia yang dijamin kemerdekaannya dalam beragama. [AA]
Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) dan Dosen UIN SATU, Tulungagung;