Anda tergabung dengan berapa banyak WhatsApp group? Saya ada belasan. Mungkin. Karena tidak pernah menghitung dengan pasti. Di samping karena terlalu sering diundang bergabung grup tanpa konfirmasi, saya biasanya tidak pernah kuat mengikuti obrolan yang ngalor-ngidul.
Belasan WhatsApp group itu mengusung platform berbeda-beda. Ada yang menggunakan banner bineka tunggal ika, Pancasila, kebangsaan, toleransi, dan lainnya. Ada pula grup yang sengaja dibuat berdasar kesamaan pandangan dan orientasi keagamaan. Sebagian malah dengan jelas mewakili Ormas keagamaan. Ada pula yang berbasis kota atau wilayah. Belum lagi grup berdasarkan profesi dan institusi tempat bekerja.
Itulah ragam grup dengan warna-warni isu yang diangkat sesuai kepentingan dan selera adminnya. Semuanya berjubal-jubal berebut ruang di gadget kita. Bermacam platform yang ditawarkan oleh ribuan bahkan jutaan WhatsApp group, seolah-olah menawarkan sesuatu yang berbeda. Memberi asupan informasi dan diskusi yang menyehatkan pikiran.
Sayangnya, faktanya tidak pernah begitu. Mayoritas WhatsApp group di gadget kita sesungguhnya hanya ruang pertukaran sampah informasi. Lalu-lalang informasi yang tampaknya begitu padat, sesungguhnya hanyalah tumpukan salinan informasi yang dipertukarkan secara tak tehingga. Copy dari kopian.
Lalu-lalang informasi yang segera mengubah smart-phone kita menjadi semacam recycle-bin sampah informasi. Dan entah mengapa, semua orang berlomba menjadi bagian dari tradisi meng-copy dari kopian-kopian informasi yang diserap dari antah-berantah. Seolah itulah cara meng-ada di setiap WhatsApp group.
Seandainya tumpukan sampah informasi yang memadati grup-grup itu bertransformasi menjadi bunyi (sonic), bisa dibayangkan betapa bisingnya kehidupan kita karena 24 jam dijejali oleh kopian-kopian informasi yang dipertukarkan dari satu group ke lainnya.
Bayangkan pula, ketika semua orang hanya sibuk mencomot-comot informasi secara sewenang-wenang, tanpa ada ruang konfirmasi apalagi apresiasi dan dialektika, maka lalu-lalang informasi di ruang maya itu, mengumpalkan kebisingan yang jauh lebih bar-bar karena setiap orang sesungguhnya hanya berteriak sendiri-sendiri tanpa memedulikan lainnya. Betapapun teriakan itu isinya sama.
Bayangkan seratus orang berkumpul di lapangan. Setiap orang membawa toa-nya sendiri-sendiri. Lalu pada saat bersamaan berebut sound-space untuk memekikan pesan paling penting. Setiap orang merasa begitu, meski apa yang dimaksud dengan pesan yang paling penting itu isinya sama saja antara satu orang dan lainnya.
Betapa crowded situasi itu. Dan, sesungguhnya begitulah hidup kita setiap detiknya di dalam dunia simulacra tersebut.
Soal kegemaran berebut space, saya tidak pernah yakin apakah ini semata-mata sifat social media yang membuat individu lebur di dalamnya, ataukah ini berakar pada perilaku sosial kita. Sedihnya, ada banyak indikasi yang menegaskan bahwa perilaku bermedia kita, memang berakar dari perilaku sosial yang tidak apresiatif dan tidak dialektis.
Cobalah cek kembali ragam WhatsApp group yang ada di gadget. Entah mengapa, setiap ada informasi yang dibagi oleh pemilik akun tertentu, selalu ditumpuk oleh informasi dari akun lainnya. Dahsyatnya, semua distribusi informasi hanyalah merupakan copy dan kopian link berbagai portal atau sumber lainnya.
Beragam WhatsApp group itu cermin betapa kita adalah masyarakat ‘mayapada’ yang bukan sekadar tidak berkomunikasi, tetapi juga tidak pernah rela berbagi ruang, apalagi berbagi apresiasi. Arus informasi dari sebuah akun, dianggap sebagai sarana eksistensi, sehingga tidak berselang beberap detik kemudian, akan ditumpuki oleh sampah informasi lainnya. Ajaibnya, hal ini dirasa sebagai sarana peneguhan eksistensi.
Perilaku seperti ini seragam. Berlaku di hampir semua WhatsApp group. Tidak peduli latar pendidikan, usia, gender, agama, semua orang melalui akunnya ingin menegaskan diri dengan menindih sampah informasi orang lain, dengan sampah informasi lainnya.
Sedihnya, perilaku demikian dengan mudah kita temukan padanannya di ruang publik ‘nyatapada’. Cobalah perhatikan acara-acara debat, terutama debat orang-orang beken yang dikumpulkan oleh sebuah stasiun televisi di Indonesia. Anda pasti paham contoh yang saya maksudnya.
Debat orang-orang beken itu biasanya mengusung isu-isu aktual, umumnya soal politik. Siapa bilang ada dialog dan apresiasi di acara debat itu? Semua orang hanya berbicara sendiri-sendiri melayani asumsi dan pikiran yang dicomot secara bebas dari berbagai common-sense. Debat yang ngotot hingga urat leher mereka tampak jelas dilayar televisi itu, hanya seolah-olah saja tampaknya berdialektika. Mereka sesungguhnya berteriak sendiri-sendiri. Melahirkan sampah asumsi dan kebisingan yang berlipat-lipat.
Sedihnya lagi, hampir tidak ada apresiasi apapun yang disampaikan oleh individu yang satu dan lainnya. Alih-alih menggunakan akal sehat, yang terjadi sesungguhnya hanyalah silat lidah untuk membenarkan umpatan satu orang dan lainnya.
Contoh ini membenarkan asumsi bahwa kita sesungguhnya masyarakat yang antikomunikasi. Rebutan mic di dalam debat orang-orang beken itu, seperti cara setiap individu berebut space di ruang ‘mayapada’. Hampir tidak ada yang mau merelakan diri untuk menahan arus informasi, hanya sekadar memberikan apresiasi bagi lainnya.
Ragam WhatsApp group di gadget kita adalah cermin diri (masyarakat) kita. Masyarakat yang mabuk sampah informasi, hingga pada tarap kehilangan sarana untuk menjaga etika berkomunikasi. Masyarakat yang sangat ‘pelit’ memberi ruang apresiasi bagi sesamanya. Masyarakat yang menindih tumpukan sampah informasi dengan sampah lainnya, hanya sekadar bisa beken di dunia maya.
Inilah prototipe masyarakat yang menjadi lahan subur persebaran hoax dan teori konspirasi. [MZ]