Pergantian tahun ajaran pendidikan sudah menjelang. Musim penerimaan peserta didik atau mahasiswa baru 2020 sedang berlangsung. Di masa pandemi Covid-19 ini, sistem penerimaan online semakin mapan diterapkan oleh sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi.
Di dalam sistem penerimaan online tersebut, ada tren favoritisme yang semakin masif diterapkan oleh sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi. Tren itu adalah jalur beasiswa prestasi untuk calon peserta didik atau mahasiswa hafal Alquran.
Kebijakan seperti ini dengan mudah ditemukan dalam Sistem Informasi Aplikasi Pendidikan Penerimaan Peserta Didik (SIAP-PPDB). Sejumlah daerah telah menerapkan jalur prestasi khusus bagi calon peserta didik hafal Alquran. Fenomena ini terjadi di banyak wilayah.
Di Padang, penerapan kebijakan favoritisme telah menjaring 37 calon peserta didik pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Seperti penjelasan Habibul Fuadi—Kepada Dinas pendidikan Kota Padang, kepada media, kebijakan tersebut sengaja diambil untuk memprioritaskan peserta didik yang hafal hingga tiga Juz.
Kebijakan yang sama juga diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Gresik. Berdasarkan laporan sejumlah orang tua calon siswa, SIAP-PPDB Kabupaten Gresik menyatakan bahwa, salah satu jalur prestasi disediakan untuk anak yang memiliki hafalan tiga Juz Alquran. Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro juga ikut-ikutan menerapkan kebijakan sama.
Sebetulnya, tren seperti ini sudah berlangsung beberapa tahun sebelumnya. Tidak mengherankan bila saat ini semakin banyak Kabupaten/Kota yang menerapkan kebijakan tersebut. Dinas Pendidikan di berbagai wilayah seolah berlomba-lomba membuka jalur prestasi untuk hafiz tanpa menimbang ulang dampak yang diciptakannya.
Pada tahun ajaran 2019/2020, media sudah ramai melaporkan banyaknya Kabupaten/Kota yang memfavoritkan calon peserta didik ‘penghafal’ Alquran. Di Kota Serang, kebijakan jalur prestasi buat para hafiz dianggap sukses dan karenanya diberlakukan tiap tahun ajaran.
Fenomena yang sama juga terjadi di Bekasi, di Kabupaten Agam Sumatera Barat, di Mojokerto, di Provinsi Sulawesi Selatan, dan banyak wilayah lain. Nampaknya, semakin tahun akan lebih banyak wilayah yang menduplikasi kebiajakan tersebut karena memang tidak pernah ada evaluasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kebijakan populis ini ternyata juga berlaku di berbagai Peguruan Tinggi. Kampus-kampus telah terjangkiti oleh tren tersebut. Beberapa di antaranya malah sudah lebih awal menerapkan jalur prestasi bagi calon mahasiswa hafal Alquran.
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta sudah menerapkan jalur prestasi hafal Alquran sejak 2012. Kemudian disusul oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2017. Kampus ini memiliki standarisasi yang unik. Calon mahasiswa yang hafal 15-29 Juz dianggap setara dengan prestasi olimpiade nasional. Adapun yang hafal 30 Juz, dianggap setara dengan prestasi olimpiade internasional.
Dari mana model standarisasi ini dirumuskan? Jawabannya tidak pernah bersifat akademik apalagi saintifik, kecuali berdasarkan asumsi. Intinya kedua kampus sedang gandrung menjaring mahasiswa hafiz. Menariknya, banyak Perguruan Tinggi lain mulai meniru jejak keduanya.
Kampus-kampus negeri seperti Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan Universitas Negeri Sepuluh November (ITS) Surabaya, hanyalah sebagian yang bisa disebut sebagai contoh. Tren ini makin aneh karena kampus swasta yang memilki platform nasionalis, seperti Universitas Merdeka (Unmer) Malang misalnya, juga ikut-ikutan menerapkan kebijakan yang sama.
Para pembuat kebijakan favoritisme itu umumnya diikat oleh argumentasi sama. Mereka menyuguhkan pandangan normatif bahwa, menghafal Alquran berdampak pada pembentukan karakter. Tentu saja tidak pernah ada penelitian (yang otoritatif) untuk melegitimasi pandangan tersebut, dan dengan begitu norma ini sekali lagi hanya berpijak pada asumsi.
Argumentasi normatif tersebut seolah-olah menjadi sarana untuk menutupi sifat diskriminasi kebijakan tersebut. Menariknya, para pejabat pendidikan biasanya tidak memiliki pengetahuan apalagi awareness atas praktik diskriminasi terselubung tersebut. Mereka menyangkal bukan hanya karena lebur di dalam tren, tetapi juga karena tidak memahami prinsip non-diskriminasi dalam kebijakan publik.
Dalam pendekatan hak asasi manusia (human rights), kebijakan atau perlakuan yang mengutamakan (favoritisme) orang atau kelompok sosial secara berbeda dengan orang atau kelompok lain yang status, situasi, dan kondisinya sama, diitetapkan sebagai diskriminasi tidak langsung. Sekadar catatan, diskriminasi langsung maupun tidak langsung sesungguhnya hanya dibedakan oleh bentuk, karena dalam praktiknya kedua jenis menghasilkan ketidakadilan yang sama.
Kebijakan jalur prestasi hafal Alquran jelas merefleksikan perlakukan beda terhadap kelompok sosial dengan status sama, sehingga berdampak pada hambatan bagi mayoritas orang untuk menikmati haknya secara setara. Kebijakan ini bermasalah terutama karena diberlakukan di sekolah-sekolah umum yang memiliki peserta didik dengan latar belakang agama/keyakinan yang sangat beragam.
Betapapun praktik ini sudah berlangsung bertahun-tahun, dan semakin banyak kritik dan protes yang diajukan oleh kelompok-kelompok masyarakat, akan tetapi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tampak tidak sedikitpun menunjukan inisiatif untuk melakukan evaluasi.
Padahal, kebijakan ini berbahaya karena potensinya dalam menciptakan kultur diskriminasi di sekolah atau Perguruan Tinggi. Setiap anak sesungguhnya sedang dididik untuk bersikap permisif terhadap praktik favoritisme. Membentuk pribadi superior bagi penerima perlakuan istimewa, pada saat bersamaan menginferiorisasi mayoritas peserta didik yang harus berjuang mati-matian memenuhi standar akademik.
Favoritisme seperti ini juga merangsang setiap orang tua memilih jalan pintas untuk menyekolahkan anaknya. Bila Perguruan Tinggi sekelas IPB atau UNS bila diakses hanya bermodal hafalan Alquran, maka setiap orang tua tidak perlu jatuh bangun mengawal prestasi belajar anak-anaknya. Dan, setiap anak yang menyerap pikiran pragmatis itu, akan menyepelekan semua aspek yang menentukan prestasi akademiknya.
Kebijakan ini sudah pasti menentukan kualitas pendidikan di masa depan, juga kualitas manusia Indonesia secara keseluruhan. Belum lagi, dalam kadar tertentu, favoritisme model demikian juga cukup menggambarkan arus Islamisme (konservatisme) yang masuk di dunia pendidikan sekaligus memengaruhi kebijakan.
Menimbang kultur Islamisme yang belum hilang dari dunia pendidikan, bisa dibayangkan, anak-anak yang difavoritkan melalui jalur ini, akan dengan mudah diserap dan menjadi penyangga Sie Kerokhanian Islam (Rohis) di sekolah-sekolah atau di Perguruan Tinggi. Mereka inilah kelompok yang selama dua puluh tahun lamannya menguasai masjid-masjid kampus, dan menyebarkan wacana radikalisme beragama. Sebagian dari mereka adalah kader-kader Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI) yang dibiarkan hidup dan membentuk generasi yang antinasionalisme dan anti-Pancasila.
Menimbang hal ini pula, Kementerian Pendidikan harus segera berbenah. Kebijakan jalur khusus hafal Alquran di semua jenjang pendidikan itu harus dihapus karena, sifatnya yang diskriminatif, sekaligus menyokong pembenihan gerakan radikalisme agama yang terselubung di ruang pendidikan. [MZ]