
Beberapa hari yang lalu, umat Muslim sedunia tengah merayakan Hari raya Idul Adha. Perayaan ini beriringan dengan pelaksanaan ibadah Haji di Makkah. Perayaan Idul Adha di luar Makkah menjadi momen bersuka citanya mereka yang tidak melaksanakan ibadah Haji.
Bagi keluarga Muslim yang berkecukupan harta, jumhur ulama’ (kecuali Hanafiyyah) berpendapat bahwa hukum berkurban adalah sunnah muakkadah kifaayah (sangat dianjurkan, kolektif). Tuntutan berkuban sudah gugur jika ada salah satu anggota keluarga yang melaksanakan kurban.
Namun, apakah berkurbannya kalangan yang berkecukupan harta yang dihukumi sunnah muakkadah kifaayah sudah cukup disebut ‘berkurban’ dalam arti sesungguhnya? Ulasan berikut ini bermaksud memberi perspektif lain yang mungkin bisa dipertimbangkan.
Islam Itu (Mudah, Tapi) Jangan Asal Dibikin Mudah
Pada prinsipnya, Islam adalah agama yang menganjurkan kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan, sebagaimana pesan QS al-Baqarah 2:185. “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
Namun, jika diperhadapkan dengan ayat al-Qur’an yang memiliki pesan ‘serupa sekaligus berlawanan’, mungkin kita dapat bersepakat untuk meninjau kembali maksud ‘mudah’ pada ayat tersebut dan dalam skala luas, maqaashidus syarii’ah (tujuan-tujuan syariat) Islam.
Melaksanakan ibadah Haji, bagi kebanyakan Muslim, bukanlah ibadah yang mudah dikerjakan. QS Ali Imran 3:97 menjelaskan bahwa ada aspek ‘dimampukan’ di balik kewajiban ibadah Haji.
“(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang dimampukan mengadakan perjalanan ke sana.”
Kata istathaa’a pada ayat ini lebih tepat dimaknai ‘dimampukan’ (dibandingkan sekadar ‘mampu’) karena tingginya prasyarat yang perlu dipenuhi sebelum berhaji.
Perbekalan yang cukup, akses transportasi yang aman, jasmani dan ruhani yang sehat, serta terjaminnya kehidupan keluarga yang ditinggalkan adalah beberapa prasyarat awalnya.
Di sisi lain, membayangkan 4 juta lebih Muslim dari seluruh dunia berkumpul dalam satu lokasi, serempak mengerjakan rangkaian ritual ibadah Haji, dan berlangsung selama 5 hari, sulit untuk menyebut Haji itu ‘mudah’. Belum lagi perkara daftar antrian haji yang mencapai puluhan tahun di negera dengan jumlah Muslim terbanyak seperti Indonesia dan Malaysia (juga Singapura). Jadi, berhaji itu sulit dan mustahil dipermudah, kecuali kita ‘dimampukan’ oleh-Nya.
Namun demikian, ini bukan berarti kita tak berusaha sama sekali dalam menggapai kondisi dimampukan tersebut. Ada saat di mana kita berusaha dan berjuang lebih keras (kasb atau usaha dan ‘azm atau tekad), ada saat di mana kita pasrah pada apapun keputusan Allah (tawakkul atau berserah diri).
Keharusan Berjuang secara Maksimal dalam Beragama
Sebuah perjuangan mutlak diperlukan dalam hal apapun. Allah menjamin tidak akan ada perubahan dari-Nya jika tidak ada usaha dan perjuangan yang dilakukan manusia.
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.”
Demikian pesan QS ar-Ra’d 13:11, juga QS al-Anfal 8:53 dengan redaksi kalimat yang mirip.
Sesuatu yang mudah dilakukan barangkali belum memberi nilai kemuliaan bagi kita dan kebermanfaatan untuk sesama jika tidak ada usaha kerasnya. Perlu ada ‘pengorbanan lebih’ atas apa yang kita lakukan.
Suatu kali Rasulullah Muhammad SAW pernah mengomentari umrahnya Aisyah ra. “Sesungguhnya kamu mendapat pahala sesuai kadar kesulitan dan pengorbananmu.” Hal ini dapat diqiyaskan untuk pentingnya berjuang secara maksimal dalam setiap ibadah yang kita lakukan.
Maka, sedekah hartanya kalangan yang berkecukupan adalah lumrah, begitu pula cinta kasihnya orang tua kepada anak-anaknya adalah sesuatu yang biasa saja karena bersifat wajib dan mendesak. Tidak ada sesuatu yang istimewa pada tindakan-tindakan yang kita memiliki kemampuan dan privilese
Oleh karenanya, berkurbannya kalangan yang berkecukupan tidak cukup hanya dengan menyembelih kurban setiap tahun, melainkan juga turut memberi akses kekayaan kepada orang lain, dimulai dari yang terdekat, yang berkekurangan, baik melalui skema zakat harta, pemberian beasiswa pendidikan, pembiayaan usaha, dan lain sebagainya.
Cinta kasih orang tua kepada anaknya tidak selalu tentang mencukupi kebutuhan harta duniawi dan akses terhadap pendidikan, melainkan juga hadir sebagai figur orang tua terbaik yang mengkristal abadi dalam benak anak-anaknya, sebagaimana keteladanan terbaik Rasulullah Muhammad SAW bagi umatnya.
Target ‘perjuangan secara maksimal’ yang kita lakukan adalah ‘perubahan’ sebagaimana tersebut pada QS ar-Ra’d 13:11 dan QS al-Anfal 8:53, yang dikerjakan sehari-hari (on daily basis), dihukumi fardhu ‘ayn (kewajiban individu) dan bukan sekedar sunnah kifaayah yang boleh jadi sekadar basa-basi sesaat yang dilakukan satu kali dalam setahun. Sungguh tidak mencerminkan Muslim yang tangguh.
Perlu diingat bahwa tradisi berkurban itu tidak hanya tentang sikap simpati dan empatinya orang kaya terhadap orang miskin dalam soal harta, melainkan juga proses bersatu-padunya setiap elemen masyarakat. Masing-masing mengambil peran lebih sesuai kesanggupan sekaligus kekuatannya.
Semangat perjuangan inilah yang kelak menjadikan komunitas kuat, kompak, dan tak tergoyahkan dalam merespon tantangan zaman secara berjama’ah.
Hemat kami, penting untuk menginternalisasi pesan QS an-Najm 53:39-40 dalam tindakan kita sehari-hari bahwa, pertama: hanya apa yang kita usahakan saja yang akan bernilai bagi kita, dan bahwa; kedua: semua hal yang kita lakukan, baik yang dilakukan dengan kesungguhan dan perjuangan maupun basa-basi, kelak akan diperlihatkan semuanya kepada kita di hadapan Allah SWT.
Tidak ada hal yang berposisi abu-abu dan ambigu saat itu. Serba jelas dan lugas. Oleh karenanya, kita perlu berjuang keras menunjukkan kesungguhan kita dalam segala hal agar tidak merasa malu di hadapan Allah SWT . Pada akhirnya, kita akan berada di titik persimpangan untuk memilih ‘jalan mudah’ atau ‘jalan tangguh’ sebagai Muslim sejati di hadapan Allah SWT. Wallaahu a’lam.
Dosen Tafsir di Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta