Muhammad Ahalla Tsauro MA at National University of Singapore

Bagaimana Imam Ghazali Menerangkan Fenomena Kenabian

2 min read

Foto: www.n-3rab.com
Foto: www.n-3rab.com

Salah satu bab dalam kitab al-Munqidz min al-Dhalāl yang menarik untuk dibahas ialah bagaimana Abū Hāmid al-Ghazālī menerangkan soal kenabian secara rasional. Pembahasan seperti ini pernah dibahas pula oleh tokoh Islam klasik seperti Ibn Sīnā, akan tetapi al-Ghazālī memiliki cara pandang tersendiri yang khas.

Kenabian pada awalnya didahului oleh faktor kewalian yang mana seseorang mengalami kondisi al-fanā fī Allah, yaitu dalam keadaan melebur atau tenggelam dalam pengalaman ketuhanan. Untuk memahami kenabian, fondasi tauhid amatlah penting di antara keenam hal yang patut diimani oleh setiap Muslim. Kenabian yang didalamnya terdapat kerasulan adalah pintu masuk untuk percaya akan eksistensi fenomena kenabian.

Dalam kitab al-Munqidz, pemaparan mengenai kenabian diawali penjelasan bagaimana manusia mendapatkan pengetahuan yang terdapat di alam ini yang begitu banyak, tak terbatas dan tak terhitung. Selama manusia itu ada, pengetahuan akan tetap ada dan terus berkembang. Yang membatasi hanyalah kemampuan hidup manusia yang terbatas itu sendiri.

Al-Ghazālī memulai penjelasannya dengan fitrah manusia yang padal awalnya kosong, bersih dan suci yang mana ketika lahir manusia tidak memiliki informasi sama sekali. Dalam masa tumbuh, manusia secara lahiriah mulai memiliki pengetahuan melalui proses belajar dengan sendirinya secara bertahap dan perlahan. Pengetahuan apriori ini yang secara alamiah ada dalam diri manusia sebagai pengetahuan bawaaan disebut juga sebagai musallamāt. Sebagai contoh, seseorang secara sadar dapat mengetahui bahwa buah semangka lebih besar dari buah kelengkeng.

Proses menelaah berbagai macam pengetahuan dimulai ketika manusia mendapatkan pengalaman dalam kesehariaannya pada alam sekitar. Proses ini kemudian disebut oleh al-Ghazālī sebagai idrāk atau consciousness. Ketika manusia mengenal berbagai jenis binatang di lingkungan rumahnya seperti mengetahui kucing, ayam, kambing dan lain sebagainya. Idrāk berfungsi membantu manusia untuk mengenal al-awālim, yakni alam yang luas baik berupa jenis-jenis makhluk organis seperti manusia, hewan dan tumbuhan maupun yang non-organis seperti batu dan kayu. Masing-masing membentuk alamnya sendiri.

Baca Juga  Manusia, Tangan Tuhan, dan Kebebasan Diri: Akal, Potensi, dan Jalan Kebahagiaan [2]

Dalam tahapan tersebut pula, manusia berada di tingkat tertinggi dalam marātib al-wujūd, yakni tingkatan martabat makhluk-makhluk yang ada di bumi. Di satu sisi, tumbuhan tidak memiliki idrāk, sedangkan hewan memiliki idrāk yang terbatas untuk mengenali sesuatu. Di sisi lain, manusia memiliki idrāk yang melebihi yang lain sehingga tidak heran jika ia bisa bisa mengenal alam raya yang banyak. Hasilnya adalah pengetahuan yang berkembang saat ini. Dalam bidang astronomi misalnya, Edwin Powell Hubble berperan penting dalam perkembangan ilmu astronomi ekstragalaksi dan kosmologi observasional ketika memberikan bukti bahwa kecepatan resesi galaksi meningkat dengan jaraknya dari bumi.

Setelah membahas mengenai pengetahuan, al-Ghazālī kemudian membagi tahapan-tahapan bagaimana manusia belajar dalam empat hal; 1) melalui indra 2) melalui tamyīz 3) melalui akal, dan 4) melalui kemampuan di luar akal.

Tahap pertama, hāsat al-lams (حاسة اللمس) atau indra perasaan, yakni cara pertama kali manusia mengetahui banyak hal dengan mengenal suatu objek karena diraba, mengetahui suatu benda apakah ia halus ataupun kasar misalnya. Namun, indra ini tidak bisa mengurai warna dan suara karena bagi indra ini keduanya tidak ada (non-existence).

Kemudian, ada hāsat al-basar (حاسة البصر) atau indra penglihatan. Warna dan bentuk ialah hal yang paling luas yang mana bisa ditangkap oleh mata manusia. Ibarat negara berteritori sangat luas dengan kelimpahan berbagai sumber daya alamnya untuk dieksplorasi, mata sanggup mengeksplorasi seluas mungkin. Cakupan indra ini lebih luas dari yang pertama.

Lalu ada pula hāsat al-sam’i (حاسة السمع) atau indra pendengaran yang mampu menangkap suara dan melodi dan juga hāsat al-dzawq (حاسة الذوق) atau indra penciuman dan perasa. Semua pengetahuan manusia dibangun melalui indra-indra ini.

Baca Juga  Sufi Healing Dibalik Makna Ketupat

Kedua, setelah mampu menggunakan indra, manusia mencoba untuk mampu melampaui alam yang tidak bisa dijangkau oleh indra. Kemampuan untuk merubah hal hal yang khusus (مخصوص) atau bisa diindra menjadi tidak khusus (غير مخصوص) atau tidak bisa ditangkap oleh indra. Artinya, menangkap sesuatu dan menjadikannya hal lain, yakni informasi. Kemampuan seperti ini disebut dengan tamyīz, yakni menggunakan nalar untuk membedakan sesuatu. Kemampuan seperti ini pula yang menjadi landasan dasar untuk mengembangkan ilmu. Manusia bisa mengetahui banyak hal yang melebihi dari apa yg bisa dijangkau indra.

Tahap ketiga ialah akal. Melaluinya, manusia dapat mengetahui wājibāt (الواجبات) atau sesuatu yang ada, seperti Tuhan, jāizāt (الجائزات) atau sesuatu yang mungkin ada, seperti manusia dan mustahīl (المستحيل) ,yakni sesuatu yang terjadi tidak sesuai nalar manusia. Organ tubuh manusia yang satu inilah yang membedakan manusia dengan semua ciptaan Tuhan yang ada di bumi sebagaimana dide

Terakhir, di luar akal, terdapat tahapan lain yang di dalamnya terdapat Ayn Ukhrā (عين أخرى) atau “mata yang lain” yang mampu mengetahui dan memahami sesuatu yang gaib dan dapat memprediksi apa yang akan terjadi di masa mendatang. Kemampuan seperti ini, menurut Imam Ghazālī, ialah yang paling tinggi dan dimiliki oleh para nabi.

تِلْكَ مِنْ أَنبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهَا إِلَيْكَ مَا كُنتَ تَعْلَمُهَا أَنتَ وَلَا قَوْمُكَ مِن قَبْلِ هَٰذَا فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِينَ –٤٩

“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Hud: 49)

Inilah penjelasan rasional fenomena kenabian versi al-Ghazālī.

Muhammad Ahalla Tsauro MA at National University of Singapore

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *