Dengan asumsi bahwa nalar manusia memiliki fungsi dan tujuan pada satu sisi, dan bahwa nalar manusia harus tunduk pada “pemandu nalar” pada sisi lain, kita berharap telah memahami bagaimana manusia harus mencapai tujuannya dalam hidup ini. Jika manusia dibiarkan “liar” tanpa pemandu, maka yang akan terjadi adalah kemuraman bukan kebahagiaan, kenistaan bukan kearifan.
Gagasan bahwa manusia lepas dari hukum dan norma ilahi tidak dapat kita terima murni karena hal itu amat bertentangan dengan unsur teleologis hidup manusia. Seperti seseorang yang ingin mencapai tujuan dalam perjalannanya, ia harus tunduk pada segenap peraturan yang ada di hadapannya mulai dari peraturan lalu lintas hingga peraturan dan etika berkendaraan. Itu jika ia ingin tiba di tempat tujuan dengan selamat. Jika tidak, ia bebas melakukan apa saja.
Sekalipun demikian, kebebasan melakukan apa saja tanpa mematuhi hukum tetap mengundang masalah. Perilaku seseorang yang tidak mematuhi peraturan lalu lintas akan mendatangkan musibah bukan saja bagi dirinya sendiri tapi juga—dan ini sering terjadi—bagi orang lain. Inilah arti dari dalam Q.S al-Anfāl [8]: 25 yang artinya: “dan waspadalah terhadap bencana yang menimpa bukan saja orang-orang yang zalim saja”. Artinya, sebuah bencana bisa saja menimpa orang-orang yang tidak bersalah akibat perbuatan segelintir orang di sekeliling kita.
Untuk itu, nalar manusia harus dibatasi walau memang harus tetap diagungkan. Anak Adam harus menempuh jalan yang panjang sebelum ia dapat mencapai pada suatu kebahagiaan yang “sejati”. Saya bilang “sejati” (dengan tanda kutip) karena kebahagiaan yang betul-betul sejati hanya ada di surga ketika kita—bagi yang masuk surga—memanen hasil cocok tanam kita selama di dunia.
Dengan menggunakan nalarnya, manusia dapat mempelajari dan memahami apa yang terjadi di sekelilingnya lalu mengambil langkah untuk mencapai pada titik kebahagiaan itu. Namun dalam perjalanannya, seringkali manusia dihadapkan pada kondisi-kondisi non-empirik di mana nalarnya tidak mampu berbuat apa-apa. Pada tataran yang paling sederhana, nalar seringkali tidak mampu memahami makna kehidupan yang paling mendasar.
Sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Qur’an, manusia seringkali lengah karena disibukkan oleh kegiatan sehari-hari sehingga ia lupa akan Tuhannya. Kondisi di mana ia lupa kepada Tuhannya, adalah kondisi di mana ia lupa akan dirinya. Dalam kondisi itu, ia tidak lagi tahu dan tidak mengerti makna kehidupan yang paling mendasar, yaitu mengetahui dirinya dan memahami Tuhannya.
Dalam kosa-kata sehari-hari, kita sering menggunakan kata ‘nasib’. Kata ini mencerminkan bahwa kita mengakui adanya kekuatan transendental di balik kemampuan manusiawi kita. Kekuatan itu mengatur dan mengendalikan nasib kita. Manusia tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol nasib apalagi kata ‘nasib’ sering—bahkan selalu—digunakan dengan konotasi kejadian di luar kemampuan kontrol manusia.
Jadi, pada tataran yang paling sederhana pun kita menyadari—dan itu terungkap dalam logika kebahasaan kita—bahwa ada Wujud yang mengatur nasib dan masa depan kita. Wujud itu adalah Tuhan, Sang Nalar yang memberikan nalar kepada manusia. Saya katakan ‘Sang Nalar’ mengikuti definisi Ibn Sina tentang Tuhan yang memahami-Nya sebagai Nalar.
Adanya ketergantungan kepada Tuhan jelas mengindikasikan bahwa alam semesta ini—termasuk manusia di dalamnya—tidak bisa hidup dan bertahan tanpa Zat Yang Maha Tinggi. Dialah yang menciptakan dunia dan isinya dan menentukan berbagai aturan yang ada di dalamnya sekaligus menggariskan nasib yang akan dialami oleh setiap makhluk, baik yang hidup maupun yang mati.
Semua takdir dalam sejarah kehidupan manusia tidak pernah lepas dari campur tangan-Nya. Wujud dan keanekaragaman ontologisnya tidak terjadi begitu saja tanpa ada interfensi dari Dia Yang Maha Kuasa, betapapun wujud itu secara sekilas membawa ketakberuntungan dan kerugian.
Manusia bisa saja ditafsirkan sebagai makhluk yang paling tidak beruntung karena diciptakan tanpa taring seperti macan, tanpa sayap seperti burung, tanpa kemampuan berenang seperti ikan. Manusia diciptakan hanya dengan dua tangan. Tapi di balik penciptaan itu, Tuhan memiliki tujuan dan skenario yang tidak kita ketahui. Andaikan manusia diciptakan dengan taring dan cakar, barangkali kondisi sosial manusia akan jauh lebih rusak dari yang kita lihat sekarang. Antarsesama manusia akan saling cakar dan melukai lebih dari yang dilakukan oleh macan di hutan belantara.
Sejarah panjang yang telah dilalui oleh manusia telah menunjukkan bahwa manusia jauh lebih ganas ketimbang macan dan sederet binatang buas lainnya. Bahkan dengan kedua tangannya, manusia sudah mampu menciptakan rentetan senjata tajam yang dengannya mereka saling menikam dan menghabisi.
Kalau kita berpandangan secara deterministik, bisa saja kita mengatakan bahwa seluruh kejadian memilukan yang pernah dialami oleh manusia mulai dari perampasan hingga pembunuhan telah digariskan oleh Tuhan secara azali. Kenyataannya adalah bahwa walau manusia diciptakan dengan potensi jahat—di samping potensi baik, potensi jahat itu, sebagaimana juga potensi baik, lebih bersifat implisit. Artinya, sebuah potensi akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan pengalaman empiris yang dialami oleh seseorang. Jika seseorang tumbuh dan berkembang di sebuah lingkungan yang mendukung tumbuhnya potensi jahat, maka ia akan menjadi jahat. Demikian juga sebaliknya. Tuhan tidak akan pernah memberikan sebuah potensi kepada manusia jika potensi itu secara inheren dapat membawa kerusakan pada umat manusia.
Manusia ibaratnya adalah seperti biji. Biji itu aslinya sama antara satu dengan lainnya. Tapi ketika ditanam, biji satu dengan lainnya akan menghasilkan tanaman yang berbeda. Perbedaan pada tanaman bukan terjadi karena perbedaan pada biji, namun pada tata cara menanam, perawatan tanaman, di mana biji di tanam, pada musim apa ditanam, dan seterusnya. Biji yang sama akan menghasilkan produk yang berbeda karena mekanisme penanamannya yang berbeda.
Pada dirinya, manusia, sebagaimana sebutir biji, memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang menjadi makhluk yang subur dan berguna. Tapi seperti biji pula, manusia butuh waktu yang tidak sebentar untuk bisa tumbuh dan berkembang. Hanya melalui pengalaman dan proses memahami alam dan lingkungan, manusia bisa melaju menjadi sosok yang maju. Panjangnya waktu yang diperlukan manusia untuk bisa maju dan mengaktualisasikan potensinya, pada dirinya merupakan jaminan bahwa manusia dapat mewujudkan potensinya itu.
Dengan demikian, keseluruhan proses aktualisasi diri, yaitu mengangkat dirinya menuju pencerahan, amatlah penting. Mengabaikan tugas ini berarti menjerumuskan diri ke dalam jurang keterbelakangan dan kebodohan. [AZH, MZ]
(Bersambung)