Come, gentle night; come, loving, black-browed night; Give me my Romeo; and, when I shall die, Take him and cut him out in little stars, And he will make the face of heaven so fine That all the world will be in love with night Anda pay no worship to the garish sun
"Datanglah malam yang lembut; Datanglah, malam penuh kasih yang bercelak hitam; Berikan padaku Romeo-ku; Dan, saat aku sekarat nanti, bawa dia dan ikatlah pada bintang-bintang Dia akan membuat wajah angkasa sedemikian indah Seluruh dunia akan jatuh cinta pada malam Dan tak lagi memuja matahari yang menyilaukan"
–William Shakespeare, Romeo and Juliet—
Itu adalah ratap-kesedihan Juliet karena dipisahkan dengan Romeo, kekasih hatinya. Roman karya William Shakespeare ini sebegitu ikoniknya, sehingga kisah cinta Romeo dan Juliet menjadi simbol apa yang disebut dengan cinta sejati. Cinta sejati dilukiskan sebagai sebentuk cinta yang tak bisa dipisahkan oleh apapun kecuali kematian. Absurd? Bagi pecinta, tidak ada cinta yang absurd, karena cinta, menurut Romeo, adalah “a wise form of madness” (sebentuk kegilaan yang bijaksana).
Kalau kita sedang membaca roman-roman cinta, mungkin kita akan larut sedemikian rupa, hingga badan terasa seperti air yang mengalir ke samudra, mengawang seperti kabut. Kesedihan yang dihadirkannya menguras seluruh air mata kita, layaknya kitalah yang sedang patah hati. Kita memenuhi rongga dada kita dengan doa-doa agar kesedihan itu tak hinggap dalam kehidupan nyata kita seakan kita sedang berada di ambang jurang kepedihan terdalam. Atau, kita mungkin memekikkan serapah kepada takdir yang sedemikian tak memiliki belas kasihan kepada para pecinta.
Tapi, kalaupun kita memuja cinta sejati sebagaimana yang ditunjukkan dalam kesetiaan-sampai-mati oleh Romeo dan Juliet, seberapa banyak sesungguhnya kita dalam kehidupan nyata memilih sebentuk cinta seperti itu? Atau, sungguhkah ada cinta seperti itu?
Dalam tulisannya yang berjudul “How Long does Passion Last? Science Says…,” Agnes Pawlowski, jurnalis TODAY, menyatakan bahwa rasa cinta yang begitu intens di awal sebuah hubungan pada akhirnya ada batasnya. Dan, ini dialami oleh siapa saja, tak peduli orang itu bernama Romeo dan Juliet atau Qais dan Laila.
Jatuh cinta selalu menjadi momen segala-galanya, hingga seluruh kata tak sanggup melukiskannya. Jika seluruh air samudra diubah menjadi tinta, cinta tetap tak bisa digambarkan. Buatlah selaksa umpama, dan tanyakan kepada pecinta apakah cinta seperti itu? Pasti, dan pasti, dia akan menggelengkan kepalanya. Shakespeare menyatakan bahwa “Love is heavy and light, bright and dark, hot and cold, sick and healthy, asleep and awake- its everything except what it is! (Cinta adalah berat dan ringan, terang dan gelap, panas dan dingin, sakit dan sehat, tidur dan terjaga—segala-galanya kecuali cinta itu sendiri!).
Tapi perasaan romansa yang membuat orang memutuskan untuk “lebih baik mati daripada berpisah” itu hanya akan bertahan dua sampai tiga tahun. Inilah yang dikatakan oleh Dr. Fred Nour, neurologis di Mission Viejo, California, dan penulis buku True Love: How to Use Science to Understand Love. Menurutnya, perasaan cinta yang membuat seorang Juliet meratap penuh pedih dan memutuskan bunuh diri atau seorang pria menghancurkan masa depannya karena ditinggal mati pacarnya, hanyalah soal zat kimia monoamina yang bekerja di otak kita.
Kata Nour, “Romance will never last for a lifetime; You have to accept falling in love is just a phase that’s going to go away….” (Romansa tidak akan pernah bertahan seumur hidup. Kamu harus menerima bahwa jatuh cinta hanyalah sebuah fase yang pada akhirnya akan berlalu….).
Ketika orang membicarakan cinta sejati, film-film dan novel-novel menarasikan cinta mati yang kesedihannya sanggup mengeringkan cadangan air mata kita, sesungguhnya ini semua membicarakan fase jatuh cinta yang hanya berumur dua sampai tiga tahun itu. Di fase ini, orang tidak membicarakan realitas hidup, hingga tak heran yang muncul adalah kalimat epik nan indah: “cinta itu buta”.
Perlahan, cinta yang meluap-luap itu akan padam. Zat kimia non-apeptida akan bekerja di otak dan membuat sepasang kekasih atau suami-istri menjalani hubungan secara realistis: bahwa hubungan suami-istri itu tak selamanya bergelora; bahwa menjaga anak-anak itu juga menguras tenaga, dan sebagainya.
Sejak membaca artikel Pawlowski ini, cinta tak lagi penuh misteri. Tak perlu membebani Shakespeare untuk menyusun puisi dan novel romansa menjelaskan apa itu cinta. Cinta tidak lebih hanyalah efek dari kerja zat-zat kimia di otak kita. Cinta bukan lagi gambaran rahasia ilahi. Tak perlu sampai menghabiskan samudra untuk menggambarkan cinta, karena alat-alat di laboratorium sains sudah bisa menjelaskannya.
Tapi, jika cinta hanya didekati dari sudut pandang sains, betapa keringnya hidup kita. Kita mengarungi kehidupan ini dengan indah karena di dalamnya ada hal-hal misterius yang hanya bisa kita intip dan menerka-nerka. Berkali-kali orang putus cinta dan merasakan pedihnya, tapi tak ada yang kapok untuk jatuh cinta. Mungkin orang akan berhati-hati menjalin sebuah hubungan, tapi bagi setiap orang, keindahan karena cinta itu tetaplah segala-galanya.
Saya menyesal telah membaca bagaimana sains menjelaskan cinta sebatas zat-zat kimia. Saya tahu bahwa banyak hal dalam hidup harus dilalui dengan logika. Tapi, saya tak ingin menukar sejumput keindahan cinta dengan berjuta kebenaran ilmiah. Cinta tetap indah karena kita mendekatinya tanpa logika. [AA]