Ahmad Inung Budayawan yang Tinggal di Sidoarjo

Sebagai Laki-Laki Dosen PTKI, Saya Sangat Tersinggung

2 min read

Saya biasa mendengarkan radio ketika berangkat atau pulang mengajar di UINSA Surabaya. Mendengarkan radio, terutama ketika programnya bersifat interaktif, memberi kenikmatan tersendiri.  Menikmati obrolan remeh-temeh asyik antara pendengar dan penyiar memberi waktu bagi saya untuk sejenak keluar dari rutinitas kerja yang terus menerus datang  tanpa ampun dan menuntut penyelesaian seketika, persis seperti para pembayar di loket antrian yang berdesakan karena semua minta dilayani paling dulu.

Suatu hari, kelaki-lakian saya sangat tersinggung dengan salah satu program dari salah satu radio. Di program itu, si penyiar memberi pertanyaan: kemampuan apa yang seharusnya dimiliki perempuan dan apa yang seharusnya dimiliki laki-laki? Sepanjang saya mendengarkan, sebagian besar, jika bukan semua, pendengar yang merespon pertanyaan tersebut menjawab bahwa kemampuan yang harus dimiliki perempuan adalah 3M (masak [memasak], macak [berdandan], manak [hamil]), sedang laki-laki harus menafkahi dan menyayangi perempuan.

Sebagai laki-laki, saya sangat tersinggung. Apakah mereka mengira bahwa semua laki-laki hanya memandang perempuan karena kecantikannya, tanpa mempertimbangkan bahwa perempuan juga perlu punya otak cerdas dan hati yang baik? Apakah mereka mengira bahwa semua laki-laki hanya memerlukan perempuan sekedar tubuhnya untuk dijadikan mainan seperti boneka? Apakah mereka mengira bahwa semua laki-laki sebegitu rendah sehingga perempuan hanya dipandang sekedar untuk memuasi nafsunya?

Jika mereka mengira bahwa semua laki-laki seperti itu dalam memandang perempuan, mereka harus tahu: Saya sangat tersinggung! Jika yang saya butuhkan adalah perempuan cantik yang pandai merias diri dan sekedar bisa memuaskan nafsu birahi saya, saya tidak perlu menikah. Saya cukup masuk ke tempat prostitusi, menyewa pelacur tercantik, memintanya untuk memuasi nafsu saya, dan membayarnya. Selesai!

Baca Juga  Cara Menggapai Kebahagiaan Sejati Menurut Filsuf Muslim Al-Farabi

Cara berpikir bahwa perempuan cukup hanya pandai macak, masak, dan manak dalam rangka memuaskan laki-laki sama seperti meletakkan perempuan tidak lebih seperti pelacur. Jelas saya tersinggung karena perempuan-perempuan di sekeliling saya tidak seperti itu. Ibuku bukan pelacur! Saudara wanitaku bukan pelacur! Istriku bukan pelacur! Anak perempuanku bukan pelacur! Mahasiswiku bukan pelacur! Para kolega dosen perempuanku bukan pelacur! Sungguh, mereka semua bukan pelacur. Saya sungguh sangat tersinggung!

Jika semua perempuan diposisikan seperti pelacur dalam berhubungan dengan laki-laki, itu berarti laki-laki diletakkan seperti bajingan yang otaknya hanya berisi lendir dan kelakukannya hanya keluar-masuk rumah bordil. Saya jelas bukan jenis laki-laki seperti itu. Karena saya bukan jenis laki-laki seperti itu, saya tidak ingin memperlakukan perempuan seperti pelacur.

Bagi saya, apapun jenis kelaminnya, manusia pertama kali harus dilihat dari sisi kemanusiaannya. Jika manusia itu adalah perempuan, laki-laki sejati pasti tidak menginginkan perempauan yang tidak memiliki kualitas apapaun kecuali kemolekan tubuhnya. Apakah laki-laki suka perempuan cantik? Jawabannya pasti ya. Tapi ini tidak semata-mata tentang perempuan. Ini adalah kewajaran manusia, baik laki maupun perempuan. Perempuan juga suka laki-laki ganteng. Tapi untuk apa hanya ganteng kalau tidak punya hati.

Jadi, intinya adalah kewajaran dalam hidup manusia, bahwa setiap orang menyukai keindahan. Tidak bisa dari premis “setiap laki-laki menyukai perempuan cantik” kemudian dibuat kesimpulan: “perempuan hanya cukup modal tubuh indah dan wajah cantik”. Itu jelas merendahkan perempuan. Mengapa? Karena kita juga tidak mungkin membuat kesimpulan bahwa “laki-laki hanya perlu tubuh berotot dan wajah ganteng” hanya karena ada premis bahwa “perempuan suka laki-laki tampan”. Kesimpulan terakhir itu tidak hanya menghina laki-laki, tapi juga perempuan, karena perempuan digambarkan seperti makhluk betina murahan.

Baca Juga  Minder Beragama

Apakah perempuan harus bisa masak? Siapa yang mengharuskan perempuan bisa memasak? Jika pertanyaan ini didasarkan pada prinsip pembagian kerja publik dan domestik, maka harus diketahui bahwa setiap pembagian kerja hanya bisa bersifat adil jika ia diputuskan secara suka rela dan dalam posisi setara. Ketika seorang perempuan memilih untuk kerja publik atau domestik, maka pilihan itu bukan ditentukan oleh pihak manapun kecuali dirinya sendiri.

Mengharuskan perempuan bisa memasak membuat saya sebagai seorang suami sangat tersinggung. Saya menikahi istri saya karena saya mencintainya sebagai perempuan seutuhnya, bukan karena saya sedang mencari juru masak gratisan. Saya menikah didorong oleh perasaan cinta. Cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang menerima, menghargai, dan membebaskan, bukan menjebak pasangan kita sekedar untuk memenuhi kebutuhan kita. Hati-hati dengan egoisme yang menyaru sebagai cinta!

Apakah perempuan harus bisa manak (hamil)? Bagaimana mungkin pertanyaan kampungan ini hingga sekarang masih terus didengungkan seakan kebenarannya adalah wahyu Tuhan. Apa yang dimaksud dengan perempuan harus bisa manak? Apakah ketika seorang istri tidak bisa hamil kemudian si suami merasa punya alasan untuk menceraikannya atau menikah lagi? Bagaimana jika yang mandul adalah si suami? Tolong katakan pada saya, apakah sebaiknya si istri didorong untuk meninggalkan suaminya? Tapi mengapa justru istri selalu diminta taat dan menerima apapun keadaan suaminya. Mengapa standar moral ganda diperlakukan kepada laki-laki?

Sebagai laki-laki, saya murka dengan cara pandang seperti ini. Cara pandang ini hanya merendahkan saya sebagai laki-laki seakan-akan saya bukan manusia. Saya merasa dilecehkan seakan saya tidak memiliki cinta. Saya seperti manusia yang tak punya nurani terhadap perempuan. Seakan-akan saya hanya laki-laki yang memandang perempuan seperti pelacur pemuas birahi. Sungguh, saya bukan laki-laki seperti itu.

Baca Juga  Mengheningkan Cipta untuk Pendidikan Kita

Setiap bentuk pelecehan terhadap perempuan bermula dari cara pandang yg meletakkan tubuh perempuan sebagai pemuas hasrat laki-laki. Ketika cara pandang ini merasuki manusia2 PTKI, maka jangan pernah heran jika kita menemikan kasus-kasus pelecehan terhadap perempuan. Gurauan-gurauan cabul hingga kekerasan pada perempuan dianggap tidak mengganggu secara moral dan agama.

Sebagai laki-laki yang mengajar di PTKI, saya akan melawan! []

Ahmad Inung Budayawan yang Tinggal di Sidoarjo