Saya tengah menyiapkan materi pelatihan advokasi kekerasan terhadap perempuan ketika mendapati bendera merah putih, telah terpasang di ujung tiang, di balik jendela tempat saya menginap. Saya menghentikan aktivitas di depan laptop dan beralih memperhatikan gedung-gedung yang walau tidak meriah, mulai memasang banyak ornamen merah putih.
Ya, tahun ini kita memperingati 75 tahun sebagai bangsa yang merdeka. Perayaan pada masa pandemi covid-19 dan diambang resesi ini tentu akan berbeda dengan perayaan sebelumnya.
Saya memeriksa kembali materi untuk para pengacara HAM perempuan, khususnya pada beragam bentuk kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi sepanjang siklus hidup perempuan. Mulai dari masa janin melalui seleksi jenis kelamin, penolakan atau pengabaian karena jenis kelaminnya saat baru lahir, pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan, pemaksaan perkawinan usia dini dan berbagai macam kekerasaan–termasuk seksual–baik dalam hubungan pacaran atau rumah tangga, serta penelantaran sat usia senja.
Kekerasan dalam siklus hidup perempuan ini terjadi baik di lingkup rumah tangga, bermasyarakat maupun negara. Apalagi dalam kondisi konflik, perang maupun bencana alam, perempuan menjadi pihak yang paling rentan akan berbagai bentuk kekerasan.
Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perjalanan Bangsa Indonesia
Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perempuan berkontribusi setara sebagaimana laki-laki dalam melahirkan bangsa Indonesia. Sejak Kongres Perempuan I (1926), gerakan perempuan menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan harapan negara yang lahir akan memposisikan perempuan setara dengan laki-laki, misalnya dengan membuat undang-undang perkawinan yang melarang perkawinan anak-anak, poligami dan menghentikan perdagangan perempuan.
Bukankah, “kemerdekaan adalah jembatan emas” untuk mewujudkan berbagai kepentingan, termasuk kepentingan perempuan?
Dalam proses melahirkan bangsa ini, perempuan Indonesia diambil secara paksa, ditipu daya untuk dijadikan budak seks (jugun ianfu) militer Jepang selama perang Asia Pasifik. LBH Yogyakarta (1993) mencatat setidaknya terdapat 1.156 perempuan korban perbudakan seksual di Indonesia.
Namun, negara yang yang lahir kemudian (Indonesia) tidak pernah mendesak Jepang untuk meminta maaf secara resmi ataupun menempuh penyelesaian secara hukum internasional. Ironinya, pemerintah Indonesia justru seakan menutupi sejarah kelam penderitaan perempuan dalam kasus Jugun Ianfu dengan hanya diam, setelah menerima bantuan dana santunan untuk pembuatan panti jompo melalui organisasi Jepang bernama Asian Women’s Fund.
Pemerintah juga tidak maksimal dalam mengatasi penderitaan para korban yang telah berusia lanjut, dikucilkan, bahkan telah tutup usia sebelum harkat dan martbatnya dipulihkan (Rinthania Kristi, 2016).
Demikian halnya ketika bangsa ini baru berusia 20 tahun, konflik pengalihan kekuasaan telah menjadikan gerakan perempuan dihancurkan. Sebagaimana diketahui, setelah peristiwa 1965, Mayor Jendral Soeharto, melakukan penangkapan dan pembunuhan massal di Jawa, Bali, dan berbagai wilayah terhadap anggota PKI atau organisasi-organisasi yang dinilai mendukungnya.
Diperkirakan terdapat lima ratus ribu sampai sejuta korban pembunuhan dan penghilangan paksa, dan sekitar satu juta orang yang ditahan di luar proses hukum. Termasuk diantaranya anggota Gerwani dan perempuan-perempuan lainnya yang dianggap berafiliasi dengan PKI, mereka menjadi sasaran kejahatan terhadap kemanusiaan.
Komnas Perempuan dalam Laporan Pemantauan (2007) menemukan bukti-bukti saling menguatkan yang mengungkapkan pola penyiksaan seksual, yang terjadi di berbagai tempat penahanan di banyak tempat pada peristiwa 1965.
Para Perempuan tersebut mengalami persekusi berbasis jender, pemerkosaan dan penyiksaan seksual, seperti penelanjangan, dengan dalih mencari “cap palu-arit” di tubuhnya, aborsi paksa dan penyetruman organ seksual. Pun demikian dengan perbudakan seksual yang terjadi dalam masa penahanan maupun setelah bebas dari tahanan.
Sampai sekarang, perlanggaran HAM masa lalu ini belum nampak sedikitpun tiik terang penyelesaiannya. Berbagai hasil penelitian mengakui bahwa peristiwa ini berkontribusi besar terhadap penghancuran gerakan perempuan yang berakar dari massa dan bekerja bersama dengan gerakan rakyat lainnya.
Selain itu, pemerintah Orde Baru juga menemukan cara yang paling efektif untuk membendung dan memanipulasi kekuatan kaum perempuan, baik secara sosial, politik, kultural maupun ekonomi; yaitu melalui “ibuisme negara”. Yaitu yang menekankan “peng-ibu rumahtanggaan” dan ibuisme priyayi. Dalam hal ini perempuan harus meladeni suami, anak, keluarga, masyarakat dan negara dengan fungsi yang ditentukan oleh negara.
Seperti program KB (Keluarga Berencana) yang difokuskan pada kesediaan perempuan untuk membatasi jumlah kelahiran diikuti dengan pemaksaan oleh aparat keamanan. Sehingga, dalam hal ini, terjadi pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi, dimana perempuan kehilangan hak atas tubuhnya demi kesuksesan sebuah proyek pembangunan.
Kelahiran orde baru bisa dikatakan melalui penyiksaan seksual, demikian halnya orde reformasi yang lahir dari kekerasan seksual pada peristiwa kerusuhan Mei 1998. Berdasarkan laporan akhir dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) selama kerusuhan Mei 1998 terjadi kekerasan seksual yaitu perkosaan dengan penganiayaan dan pelecehan seksual. Kasus-kasus ini pun belum mendapatkan titik terang bagaimana penyelesaiannya, dan menyandera kesehatan kita dalam berbangsa dan bernegara.
Dari kasus diatas terdapat kata-kata kunci bentuk kekerasan seksual seperti perbudakan, penyiksaan dan penyiksaan, perkosaan, penghukuman yang tidak manusiawi, pemaksaan kontrasepsi dan aborsi yang terjadi dalam konteks pelanggaran HAM berat. Namun, bukan berarti bentuk-bentuk kekerasan itu tidak terjadi dalam keseharian kita.
Sepanjang tahun 2019 terdapat 4.898 kasus kekerasan seksual dengan beragam bentuk dan berpotensi terus meningkat setiap tahunnya. Hal yang coba ditawarkan untuk dijadikan tindak pidana melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang juga belum jelas kapan akan dibahas dan disahkan.
Dari catatan-catatan dalam setiap proses kelahiran kekuasaan dalam negara kita, saya fakta bahwa kekuasaan itu lahir diatas tubuh dan seksualitas perempuan yang dikorbankan. Namun anehnya, penguasa yang dilahirkan tidak memenuhi keadilan, kebenaran dan pemulihan atas para korban perempuan. Tak ubahnya seperti anak durhaka yang pada ibunya.
Akhirnya, saya menambahkan isu kekerasan terhadap perempuan dalam perjalanan berbangsa pada materi rencana pembelajaran yang akan saya sampaikan, dan memberikan pertanyaan kunci, sekaligus sebagai refleksi bagi kita semua dalam merayakan 75 tahun kemerdekaan bangs ini, “Sudahkan Negara Indonesia memenuhi janji kemerdekaan terhadap perempuan?” [AA]
*Siti Amiah Tardi adalah seorang feminis, saat ini menjadi Komisioner Komnas Perempuan. Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili Lembaga.