Mochamad Reforaldo Kingardhi JSM Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Bicara yang Baik atau Diam

1 min read

“Salah satu ciri orang mukmin: berbicara yang baik atau diam. Orang-orang yang celaka memiliki tanda-tanda yang hampir sama: Ucapannya tidak diatur, sering berbohong, menfitnah atau mencemooh orang lain. Itulah mengapa mulut sering diumpamakan ‘lebih tajam daripada pedang.’ Luar biasa kan perumpamaannya? Pedang, loh”

-Gus Mus-

 Jika kita mampu membuat orang tersenyum, kenapa harus membuat orang lain sedih? Jika kita mampu membuat orang lain merasa senang, kenapa harus membuat orang lain susah? Jika kita mampu membuat perbuatan yang berpahala, kenapa harus membuatnya menjadi dosa? Daripada merugikan orang lain, lebih baik diam agar tidak ada yang tersakiti. Sederhana.

Secara fitrah, tidak ada satu pun makhluk yang rela dirinya tersakiti, baik itu tersakiti secara fisik maupun batin. Dalam kasus ini, kata-kata memiliki kemampuan untuk melukai secara batin bahkan bisa sampai ke fisik. Seperti fitnah dan adu domba misalnya.

Berbeda dengan luka fisik yang dapat sembuh seiring berjalannya waktu, luka batin akan meninggalkan bekas yang baru hilang apabila orang tersebut ikhlas, melupakan kejadian yang membuatnya terluka.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) sesuatu yang ada dua janggutnya dan dua kakinya, kuberikan kepadanya jaminan surga” (HR. al-Bukhori).

Imam Syafi’i pernah berkata, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau dia ragu, maka ditahan.”

Lantas ada pertanyaan lucu mengenai hal ini, “Kenapa kita harus susah-susah menyenangkan orang lain? Tidak menyinggung perasaan orang lain? Toh yang merasa dia, bukan kita. Apakah ada untungnya buat kita?”

Baca Juga  Gagal Haji Tahun Ini di Tengah Pandemi Covid-19?

Sebagai makhluk sosial yang secara fitrah saling membutuhkan satu sama lain, tentu bersosial amat penting, termasuk saling tolong menolong dan tidak menyinggung perasaan. Pun apabila kita berbuat demikian, akan mendatangkan pahala juga rida-Nya. Yang perlu digarisbawahi ialah, tak ada yang lebih penting bagi seorang Muslim yang percaya bahwa Allah Tuhannya dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya kecuali rida Allah sehingga memberikan pahala pada Muslim tersebut.

Ibarat pisau, tergantung pada siapa penggunanya. Ia akan menjadi baik apabila digunakan untuk kebaikan. Dia juga dapat melukai apabila digunakan untuk melukai. Apalagi bagi mereka yang mengemban amanah kepemimpinan. Baik kepemimpinan dalam lingkup kecil seperti ketua kelompok, ketua komuitas dan lain lain, maupun dalam cakupan besar, yang secara tidak langsung di dalam setiap keputusan yang keluar dari mulutnya memiliki pengaruh kepada yang dipimpinnya.

Allah berfirman dalam QS. al-Qiyāmah: 36, “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?

Perkataan memang dapat memberikan luka, namun jangan lupa kalau perkataan juga memiliki kebaikan yang amat banyak. Misal: perkataan yang digunakan untuk mengajarkan ilmu, perkataan untuk saling menasihati, perkataan yang menentramkan batin orang-orang terdekat, dan masih banyak lagi.

Mochamad Reforaldo Kingardhi JSM Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga