Covid-19, Kesadaran Ekologis, dan Gerbang Kehidupan Baru

3 min read

Source: pelajaran.co.id

Pandemi Covid-19 yang berawal dari kota Wuhan dari akhri tahun 2019 belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Mutasi genetik dari virus tersebut semakin berkembang seiring dengan perkembangan waktu dan lokasi dimana pandemic berkembang. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu kesulitan terbesar untuk menemukan obat dan vaksin dari wabah tersebut.

Keadaan ini yang kemudian menjadi alasan utama WHO mengumumkan bahwa keberadaan virus ini tidak akan bisa dimusnahkan secara total. Statemen yang dikeluarkan dinyatakan oleh direktur eksekutif program kesehatan darurat, Mike Ryan meneguhkan bahwa manusia akan dipaksa berdamai untuk dapat hidup berdampingan dengan virus yang telah merenggut sekitar tiga ratus ribuan jiwa di seluruh dunia ini.

Menanggapi fakta bahwa manusia harus hidup berdampingan dengan Covid-19, membuat pemerintah di berbagai negara menyiapkan skema khusus. Pun Indonesia, melalui pernyataan Presiden Joko Widodo, pemerintah telah menyiapkan langkah-langkah sebagai bagian dari skema “new normal”.

Penerapan skema ini dicanangkan akan diberlakukan di empat provinsi dan dua puluh lima kota dan kabupaten, yang dalam penerapannya akan dibantu oleh TNI dan Polri. Ada tiga poin utama dalam penerapan protokol “new normal” tersebut, yakni penggunaan masker di ruang publik, melakukan penjagaan jarak antarindividu, dan penyediaan tempat pencucian tangan atau hand sanitizer.

Covid-19 bukanlah pandemi pertama yang menjadi turning point bagi sejarah peradaban manusia. Salah satu yang Di antara wabah tersebut, wabah blackdeath (wabah hitam) dapat dikatakan sebagai pandemi paling berbahaya yang pernah terjadi di sejarah peradaban manusia. Berlangsung pada tahun 1347 hingga 1352, wabah ini berhasil merenggut nyawa dua puluh juta jiwa.

Akibat dari masifnya wabah ini, benua Eropa kehilangan hampir sepertiga dari jumlah total populasinya. Selain menurunnya jumlah populasi di Benua Eropa, wabah blackdeath juga berdampak pada kehidupan sosial masyarakat saat itu.

Baca Juga  Mengenal Kebahagiaan ala Imam al-Ghazali (2): Sifat Hewan sebagai Partikel Kebahagiaan

Beberapa dari dampak yang paling terasa pada saat itu adalah kurangnya pekerja yang mengelola pertanian yang mengakibatkan stagnansi pada kehidupan perekonomian. Selain itu, kecurigaan terhadap berbagai pihak menyebabkan maraknya inkuisisi yang dilakukan oleh pemuka agama kepada pihak yang dicurigai sebagai penyihir, terutama kepada para perempuan.

Meski berbagai dampak buruk terjadi selama dan setelah wabah blackdeath merajalela, kondisi tersebut semakin membaik dan menuntun Eropa kepada salah satu perubahan terbesar, yakni renaissance.

Pada titik awal, kekurangan pekerja pada bidang agrikultur, memberikan keberanian bagi para penggarap lahan untuk mengajukan kenaikan upah. Tuntutan kenaika upah yang terjadi di berbagai penjuru Eropa akhirnya melahirkan berbagai pergolakan seperti Pergolakan Jacquirie di Prancis pada 1358, pemberontakan di Italia pada 1378, dan pemberontakan Wat Tyler di Inggris pada 1381.

Sebagai hasil akhir dari berbagai pergolakan tersebut, para penggarap lahan akhirnya mendapatkan haknya untuk bernegosiasi tentang upah dan hak-hak lainnya sehingga lambat laun memusnahkan sistem manorialisme dan feudalimse. Runtuhnya kedua system itu memberikan kesempatan baru bagi siapa saja untuk meraih kesejahteraan melalui perdagangan yang akhirnya mengantarkan pada perjjumpaan dengan dunia baru dan mentransformasi benua Eropa kea rah renaissance.

Perubahan besar setelah berakhirnya sebuah pandemi juga berlangsung di wilayah Nusantara. Wabah Pes yang disusul oleh flu Spanyol pada tahun 1918-1920 menjadi salah satu titik balik perjuangan bangsa Indonesia untuk lepas dari kolonialisme.

Wabah penyakit pes di Hindia Belanda bermula dari kargo beras impor yang dibawa dari Myanmar. Catatan awal kemunculan penyakit pes bermula dari Surabaya pada tahun 1910 dan segera menjadi epidemi di wilayah Jawa Timur. Seakan belum cukup, pada tahun 1916, wabah flu Spanyol yang menjadi pandemic di seluruh dunia turut memperburuk keadaan di Indonesia.

Baca Juga  Yang Diperlukan Itu Pengamalan Pancasila, Bukan Perubahan Pancasila

Tingginya rasio kemiskinan diperparah dengan buruknya sanitasi dan kebijakan pemerintah kolonial yang tidak pro bumiputera memperparah keadaan di Indonesia kala itu. Bahkan, tidak ada catatan akurat tentang jumlah kematian akibat flu spanyol yang melanda kala itu. Pemerintah kolonial Belanda hanya mencatat sekitar 1.227.121 total kematian, namun mengutip dari Death and Disease in Southeast Asia, jumlah total korban jiwa diperkirakan setidaknya 1,5 juta di Indonesia.

Dua wabah besar yang menyerang Indonesia semakin membangkitkan kesadaran tentang sistem diskriminatif yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada sekitar era itulah zaman pergerakan di Indonesia dimulai.

Salah satu yang memiliki peran pada masa itu adalah dr. Tjipto Mangoenkusumo yang namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit di Ibukota. Bersama dengan Douwes Dekker dan R.M Soewardi Soerjaningrat membentuk kepemimpinan tripartite pada organisasi Indische Partij (IP). Kelahiran IP bersama berbagai organisasi kepemudaan seperti Budi Oetama menjadi turning point perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan melalui pergerakan, bukan hanya melalui kontak senjata.

Dari berbagai catatan sejarah, epidemi akan selalu menjadi titik balik ke arah dunia baru. Lantas pertanyaannya bentuk dunia baru seperti apa yang seharuskan kita tuju? Apakah new normal yang digagas pemerintah telah sesuai untuk menjadi pola hidup yang berkelanjutan di era pandemi ini?

Saya mengira bahwa penerapan new normal yang digagas oleh pemerintah mungkin ditujukan untuk langkah antisipasi jangka pendek dengan asumsi penanganan efektif terhadap Covid-19 dapat segera dilakuan. Sebagai langkah panjang dan berkelanjutan, sudah saatnya timbul kesadaran untuk hidup berdampingan bukan hanya dengan Covid-19 tetapi juga dengan alam. Kesadaran tentang identitas manusia sebagai bagian dari komunitas alam semesta, yang dibahasakan oleh Whitney Bauman sebagai planetary identity, sudah seharusnya dibangkitkan.

Baca Juga  Salafisme dan Ide Menjadi Mazhab Islam Dunia

Kasadaran bahwa manusia merupakan bagian penting dari kehidupan planet ini harusnya dimaknai dengan menempatkan alam bukan sebagai objek dan properti yang bisa dieksplotasi, namun lebih sebagai subjek yang memiliki hak-hak tertentu yang harus dipenuhi oleh penghuninya. Melalui gagasan kesadaran ini, diharapkan penduduk dunia tidak akan kembali pada pola kehidupan yang lama, tetapi secara aktif memantik kesadaran ekologis sebagai dasar kehidupan.

Mengutip pernyataan Zainal Abidin Bagir, bencana global yang terjadi di dunia sesungguhnya tidak bersifat temporal, namun kita hanya berpindah dari satu pandemi ke pandemi lain. Untuk itulah, sebagai antisipasi, kesadaran ekologis menjadi salah satu kunci untuk bisa hidup berdampingan dengan dinamika perubahan alam secara global. (AA)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *