Membaca dan mengkaji Nahdlatul Ulama (NU) dengan berbagai perspektif selalu menarik dan, setidaknya bagi saya, membuat rasa semangat itu bergelora. Tak akan lekang isu apapun jika mengkaji organisasi wadah para kiai pondok pesantren yang umumnya identik sebagai panutan kaum sarungan.
Siapapun penulisnya, seperti memperoleh berkah dari para kyai NU, baik yang sudah almarhum ataupun mereka yang masih hidup. NU bagaikan samudra data keilmuan. Saya kira, menulis tentang NU bukan persoalan semata mengais gelar kesarjanaan atau meraup untung materi dari hasil kajian terhadap NU, tetapi juga menambah nalar spiritual, minimal nilai-nilai keislaman keindonesiaan.
Saat menempuh kuliah S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, saya melakukan kajian tentang NU dan etika politik ada kurun waktu 1945 sampai 1999 yang saat ini telah terbit dalam bentuk buku berjudul “Aswaja NU & Etika Berpolitik Kajian atas NU Masa Khidmah 1994-1999”. Saya kira kajian tersebut masih sangat relevan dengan kondisi saat ini.
Beberapa hari yang lalu (10/7/20) buku tersebut dibedah melalui zoominar yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana NU (ISNU) Ponorogo. Salah seorang narasumber alumni program S3 UNAIR dan PIES ANU Canberra, Khusna Amal, memberikan catatan bahwa dengan mengkaji NU melalui sudut pandang etika politik, buku tersebut menghadirkan suatu hal yang berbeda dari penulis atau peneliti lainnya.
Menurut narasumber lain, Nurun Nahdliyah, Ketua Pengurus Cabang Fatayat NU Ponorogo, buku ini bukan hanya relevan untuk saat ini, melainkan perlu dan wajib dibaca oleh warga NU, baik yang aktif di partai politik, organisasi NU sendiri termasuk badan otonom-otonomnya. Sebab, selain dapat menjadi panduan dalam mengurus organisasi NU, juga memberikan dasar pegangan dalam berpikir dan bertindak secara etika yang ada dalam ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) ala NU.
Lebih lanjut, Nurun di sisi lain juga memberi komentar bahwa buku ini perlu isu perempuan atau politisi dari Fatayat NU atau Muslimat NU juga perlu dimasukkan, baik kontribusinya ataupun konsistensinya ketika terjun dalam dunia politik. Masukan lainnya, sebagai kajian dokumen, perlu dilampirkan beberapa dokumen penting selama kurun 1994-1999, baik susunan pengurus PBNU, keputusan yang terkait etika politik NU ataupun lainnya. Karena, lampiran dokumen bisa memberikan kemudahan bagi para pembaca untuk melihat lebih detilnya.
Buku ini tidak hanya memotret kerangka teoritis saja dalam pembahasannya, tetapi juga ada kasus nyata dari para politisi NU yang ada selama ini. Sehingga nilai-nilai etika politik mereka dapat dijadikan ukuran, apakah sudah sesuai atau belum. Demikian catatan Makrum Kholil, seorang pembedah buku dari dosen IAIN Pekalongan.
Beberapa catatan di atas, seperti disampaikan penulis pada pengantar bedah buku ini, memang desain awalnya akan dimasukkan satu bagian khusus terkait praktik etika politik NU yang dimaksud dalam buku ini. Namun, karena satu dan lain hal, bagian itu urung dimasukkan. Melihat konteks beberapa kali Pemilihan Umum secara langsung, baik melalui Pilkada ataupun Pilpres, nampaknya harus dimasukkan dalam bagian buku ini, terlebih hasil Pilpres tahun 2019 kemarin yang mana Wakil Presiden RI tidak lain adalah Rais Am Syuriah PBNU. Demikian respon penulis.
Polemik Muktamar di Cipasung tahun 1994 yang disebutkan dalam buku ini juga merupakan bagian dari bagaimana etika politik dibangun oleh pengurus PBNU dan warga NU yang tidak menerima hasil Muktamarnya dengan mendirikan pengurus NU tandingan, KPPNU (Koordinasi Pimpinan Pusat NU). Dari polemic tersebut, setidaknya, ada tiga prinsip dalam etika politik NU dalam menyelesaikan masalah khususnya dalam wilayah internalnya.
Ketiga prinsip tersebut adalah demokrasi, legitimasi, dan keadilan sesuai dengan Aswaja NU yang tertuang pada prinsip-prinsip mabadi’ khoiru ummah.
Pada akhir bedah buku, saya menegaskan bahwa etika politik ala NU ini bukan semata-mata untuk para politisi saja, tetapi juga lebih penting untuk organisasi NU melalui regulasi yang dibuat agar mampu diterapkan secara konsisten, terutama terkait dengan khittah NU tahun 1926.
Sebagaimana sejarah berdirinya, NU yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari bukan sekadar untuk merespon situasi politik, ekonomi, atau budaya lokal di Indonesia, tetapi juga untuk peradaban Islam yang rahmatan lil alamin.
Adanya Komisi Hijaz yang diperintahkan Mbah yai Hasyim Asyari berangkat ke Arab Saudi untuk menyampaikan pendapat ulama kalangan pesantren terkait pemahaman dan praktik keagamaan sepeti ziarah kubur, misalnya. Komisi inilah yang kemudian menjadi tonggak dan berdirinya organisasi NU. Perjuangannya yang ditemuh tidak hanya pada level lokal ataupu nasional. tetapi internasional.
Bagi NU, politik bukan semata pemikiran atau tindakan sesaat yang pragmatis dan praktik kepentingan kekuasaan saja, tetapi lebih jauh dari itu, ia menyangkut kemaslahatan manusia, dan kebangsaan. Wallahul musta’aan.. [AA]